Recent Comments

Merenungi Sebuah Arti Kehidupan 22 September 2009

Semestinya aku semakin tegar... Dengan susah hidup yang di kadokan padaku.

Misteri Hidupku wawan si kiyai mbeling 21 Oktober 2010

Wahai Alam Semesta…., Jagad Raya…, Bapa Angkasa…., Bumi Pertiwi.

Holiday in Sarangan 12 Juni 2012

Berjalan berteman bayangan ragawi

Anak Perantauan 30 Juni 2012

Aku seorang anak perantauan.

Mawar Merahku 21 Desember 2014

Ini adalah jawaban tentang semua pertanyaanmu.

Saturday, 1 April 2017

PENYITAAN

PENYITAAN 
 Esensi fundamental sebagai landasan penerapan “sita” atau “penyitaan”yang perlu diperhatikan paling tidak ada dua tindakan, yaitu “tindakan hukum eksepsional” dan “tindakan perampasan”. Dalam hal “penyitaan” merupakan suatu “tindakan hukum eksepsional”, berarti penyitaan merupakan tindakan hukum yang diambil oleh pengadilan mendahului pemeriksaan pokok.
Istilah “penyitaan” berasal dari terminologi Beslag (bahasa Belanda), dan istilah ini (beslag) juga lazim dipakai dalam bahasa indonesia, namun istilah bakunya ialah kata “sita” atau “penyitaan”. Beberapa pengertian penyitaan yaitu:
(1) tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat selama tindakan paksa berada ke dalam keadaan penjagaan;
(2) tindakan paksa penjagaan (custody) itu diberitahukan secara resmi (official) berdasarkan permintaan pengadilan atau hakim; dan
 (3) barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas keputusan hutang debitur atau tergugat dengan jalan menjual lelang (exsekutorial verkoop) barang yang disita tersebut.

Tindakan sita jaminan merupakan upaya hukum dan tindakan hukum“pengecualian”. Bahwa tidak selalu proses pemeriksaan perkara harus diikuti dengan tindakan sita jaminan dan sebagai upaya untuk perkara atau mendahului putusan pengadilan. Seringkali penyitaan dilakukan pada saat proses pemeriksaan perkara sedang berjalan. Dengan demikian seolah-olah pengadilan telah menghukum tergugat lebih dulu, sebelum pengadilan sendiri menjatuhkan putusan.

Tindakan penyitaan membenarkan putusan yang belum dijatuhkan. Tegasnya, sebelum pengadilan menyatakan pihak tergugat bersalah berdasarkan putusan, tergugat sudah dijatuhi hukuman berupa penyitaan harta sengketa atau harta kekayaan tergugat. Itu sebabnya, tindakan penyitaan merupakan tindakan hukum yang sangat ekspensional. Pengabulan permohonan penyitaan merupakan tindakan hukum pengecualian, yang penerapannya mesti dilakukan pengadilan dengan segala pertimbangan yang hati-hati sekali.

Tindakan penyitaan harus didukung fakta-fakta yang kuat dan mendasar. Karena itu tindakan penyitaan tidak boleh diterapkan secara serampangan. Jangan sampai terjadi misalnya penyitaan telah diletakkan atas harta kekayaan tergugat, tetapi gugatanternyata ditolak oleh pengadilan.

Kebijakan mengabulkan “sita jaminan”, sejak semula sebaiknya sudah dilandasi oleh bukti-bukti yang kuat tentang akan dikabulkannya gugatan penggugat. Oleh karena penjatuhan sita (beslag) seolah-olah merupakan pernyataan kesalahan tergugat sebelum putusan dijatuhkan, dengan sendirinya tindakan penyitaan menimbulkan berbagai dampak yang harus dipikul tergugat, antara lain dari segi kejiwaan. Dengan adanya penyitaan maka tentunya telah menempatkan tergugat dalam posisi keresahan dan kehilangan harga diri. Karena di dalam proses persidangan sedang berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan belum tentu akan menghukum dan menyalahkan tergugat. Namun dengan adanya penyitaan tersebut, kepercayaan masyarakat terhadap tergugat sudah mulai hilang dan luntur. Itu artinya pengadilan berdampak psikologis.

Dengan memperhatikan akibat-akibat negatif seperti ini, para hakim harus dituntut untuk teliti di dalam menjalankan permohonan sita. Hakim harus menyadari bahwa tindakan penyitaan (sita) tersebut dapat bergerak sangat eksepsional, dan sitamemaksakan kebenaran gugatan, dimana sebelum putusan dijatuhkan kepada tergugat atau sebelum putusan untuk menghukumnya belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrach), tetapi tergugat telah dihukum dan dinyatakan bersalah dengan jalan menyita harta kekayaannya. Menjamin hak-hak penggugat, andaikata gugatan penggugat dikabulkan karena dimenangkan, maka akan lebih pasti bahwa putusannya itu dapat dilaksanakan dan ia dapat menikmati kemenangannya tersebut. Oleh karena alasan yang eksepsional itulah, maka penerapannya haruslah:
(a) secara bijaksana Majelis Hakim (Pengadilan) mempertimbangkan secara hati-hati disertai dasar alas an yang kuat serta didukung pula oleh fakta-fakta yang mendasar; dan
(b) kebijaksanaan mengabulkan sita jaminan, sejak semula didasarkanoleh adanya bukti yang kuat tentang akan dikabulkannya gugatan penggugat.
Dari segi pelaksanaannya, penyitaan sifatnya terbuka yang umum. Dalam pelaksanaannya:
(1) penyitaan secara fisik dilakukan ditengah-tengah kehidupan masyarakat sekitarnya;
(2) secara resmi disaksikan oleh dua orang saksi maupun oleh kepala desa namun bisa pula disaksikan oleh masyarakat luas;
(3) administratif justisial, dimana penyitaan barang tertentu harus diumumkan dalam buku register kantor yang bersangkutan yang sesuai dengan asas publisitas.

Dengan demikian jelas bahwa tindakan penyitaan berdampak terdapat psikologis yang sangat merugikan nama baik atau kredibilitas seseorang baik sebagai pribadi, apalagi sebagai pelaku bisnis.

Tindakan penyitaan dapat meruntuhkan kepercayaan orang atas bonafilitas korporasi dan bisnis yang dijalankan. Pengaruh buruk tindakan penyitaan dari segi psikologis bukan hanya ditanggung dan menimpa diri pribadi dan bisnis tersita, tetapi berdampak luas kepada keluarga dalam pergaulan sosial-kemasyaraakatan.

Pada hakikatnya tindakan penyitaan merupakan perintah perampasan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat. Perintah perampasan itu dilakukan oleh pengadilan dalam surat penetapan berdasarkan permohonan penggugat. Perampasan harta tergugat tersebut adakalanya bersifat permanen dan juga temporer (sementara)

Manakala tindakan penyitaan dimaknai sebagai tindakan perampasan berdasarkan perintah hakim, makna perampasan dalam penyitaan tidak boleh diartikan secarasempit dan bersifat mutlak. Karena dengan mengartikannya secara sempit dan mutlak akan dapat menimbulkan penyalahgunaan lembaga sita jaminan.

Penyalah-gunaan ini terus terjadi dalam praktek sebagai akibat dari kelemahan menafsirkan arti “sita jaminan” sebagai perampasan yang mutlak. Tidak demikian halnya bahwa sita atau penyitaan sebagai tindakan-tindakan perampasan harta sengketa atau harta kekayaan tergugat bukan bersifat mutlak terlepas dari hak dan penguasaan serta pengusahaan barang yang disita dari tangan tergugat. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesalahan penafsiran maupun penyalahgunaannya maka perlu diketahui acuan yang tepat dan proposional untuk memberlakukan “barang sitaan”. Acuan yang mesti dipedomani terhadap perlakuan barang sitaan terutama bagi hakim adalah:

a. Sita semata-mata hanya sebagai jaminan. Istilah, maksud dan esensi jaminan,harta yang disita ditunjukkan untuk menjamin gugatan tergugat, agar gugatan itu tidak ilusioner.
b. Hak atas benda sitaan tetap dimiliki tergugat. Sekalipun barang yang disita dirampas atas perintah hakim, hak milik atas barang tersebut masih tetap berada di tangan tergugat sampai putusan dieksekusi. Keliru sekali anggapan sementara pihak-pihak maupun hakim, yang berpendapat sita bersifat melepaskan hak milik tergugat atas barang yang disita sejak tanggal berita acara sita dibuat.
 c. Penguasaan benda sitaan tetap dipegang tergugat.
 Sejalan dengan acuan yang menegaskan hak milik atas benda sitaan tidak tanggal (lepas) dari kekuasaan tergugat, maka penguasaan atas benda sitaan tetap berada ditangan tergugat. Maka sungguh keliru praktik hukum yang mengabsahkan pelimpahan benda sitaan berpindah ke tangan penggugat. Penerapan dan praktek hukum yang seperti itu, jelas bertentangan Pasal 197 ayat 9 HIR atau Pasal 212 Rbg.

Penyitaan bisa bersifat permanen, apabila penyitaan kelak dilanjutkan dengan perintah penyerahan kepada Penggugat berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau apabila penyitaan dilanjutkan kelak dengan penjualan lelang untuk melunasi pembayaran hutang tergugat kepada penggugat.

Penyitaan yang dilakukan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat dapat dinyatakan bersifat temporer apabila hakim memerintahkan pengangkatan sita. Perintah pengangkatan sita jaminan yang seperti ini terjadi berdasarkan surat penetapan pada saat proses persidangan mulai berlangsung, dan bisa juga dilakukan hakim sekaligus pada saat menjatuhkan putusan, apabila gugatan penggugat ditolak. Pasal ini memberikan kewenangan kepada hakim atau juru sita untuk menyerahkan penjagaan, penguasaan, dan pengusahaan barang yang disita ditangan penggugat atau dibawah penjagaan pengadilan. Asset Recovery merupakan hak milik, atau barang yang disita dapat dieksekusi melalui penjualan lelang, jika perkara yang sengketakan merupakan perselisihan hutang-piutang atau tuntutnan ganti rugi berdasarkan Toratau Wanprestasi.

Barang yang menjadi objek sitaan dapat langsung menjadi objek eksekusi, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 214 Rbg, yang menegaskan bahwa setiap barang yang disita dilarang diperjualbelikan atau dipindahkan tergugat kepada pihak ketiga atau pihak lain. Dalam hal ini, perbuatan jual-beli merupakan salah satu perbuatan yang dilarang, dimana jual-beli akan batal demi hukum, apabila terlebih dahulu telah didaftarkan dan diumumkan. Dalam kasus seperti ini, sita itu masih tetap menjangkau pihak ketiga atau pihak lain yang ingin memiliki harta sitaan tersebut, sehingga eksekusi dapat dilaksanakan dan tanpa halangan.

Namun dalam hal ini, penggugat harus menjelaskan secara terperinci dan menunjukkan identitas barang yang hendak disita pada saat permohonan sita diajukan pada Ketua Majelis guna menjaga objek eksekusi yang sudah pasti tadi benar-benar ada dan sesuai data di lapangan. Misalnya, penggugat harus menjelaskan letak, ukuran dan batasan-batasannya.

Lebih lanjut adalah penegasan MA memberi kepastian atas objek eksekusi yang apabila telah berketentuan hukum tetap, kemenangan atas penggugat dapat langsung dijamin dengan pasti terhadap adanya barang sitaan tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa tujuan pokok dari tindakan penyitaan (sita) adalah:
(1) untuk melindungi kepentingan penggugat dari itikad buruk tergugat sehingga gugatan menjadi tidak hampa (ilusioner), pada saat putusan setelah berkekuatan hukum tetap; dan
(2) memberi jaminan kepastian hukum bagi Penggugat terhadap kepastian terhadap objek eksekusi, apabila keputusan telah berkekuatan hukum tetap.

Tindakan penyitaan (sita) tidaklah mungkin dapat dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat yang telah ada dan berlaku sesuai peraturan perundang-undangan. Namun kecukupan syarat-syarat tidaklah cukup dan sempurna apabila tidak dibarengi dengan adanya alasan-alasan penyitaan. Pertama-tama syarat penyitaan harus melalui adanya permohonan sita kepada hakim.

Hakim tentunya akan mempelajari permohonan sita tersebut sesuai dengan tata cara pengajuan permohonan yang berlaku. Syarat penyitaan berdasarkan permohonan sita merupakan hal yang mendasar, sebab hakim tidaklah akan menjatuhkan sita apabila tidak ada inisiatif dari pengugat yang mengajukan permohonan sita. Sita berdasarkan permohonan diajukan dalam surat gugatan. Biasanya, dalam suatu permohonan sita diajukan bersama-sama di dalam surat gugatan.

 Bentuk dan tata cara pengguna permohonan sita jaminan yang seperti ini dalam praktiknya lazim dijumpai. Penggugat mengajukan permohonan sita secara tertulis dalam bentuk surat gugatan, sekaligus bersamaan dengan pengajuan gugatan pokok.

Pengajuan permohonan sita dalam bentuk ini tidak dapat dipisahkan dari dalil gugatan pokok. Apabila permohonan sita diajukan Kepastian objek eksekusi atas barang sitaan semakin sempurna sesuai dengan penegasan MA yang menyatakan, bila putusan telah berkekuatan hukum tetap maka barang yang disita demi hukum langsung menjadi sita eksekusi. bersamaan di dalam gugatan, perumusan permohonan sita di dalam surat gugatan biasanya mengikuti pedoman yang ada.

 Pertama, gugatan sita dirumuskan setelah uraian “posita” atau“dalil gugat”. Dengan perumusan dalil gugat itulah ditentukan layak atau tidaknya diajukan permohonan sita, karena dari perumusan dalil gugat beserta penjelasan mengenai uraian fakta dan peristiwa yang mendukung dalil gugat, akan lebih tepat dan lebih mudah dirumuskan permohonan sita serta alasan-alsan kepentingan penyitaan.

Kedua, permintaan pernyataan sah biasanya diajukan pada “petitum kedua”. Biasanya setelah diuraikan perumusan permohonan sita pada akhir “posita gugat”, permohonan sita itu dipertegas lagi dalam “petitum gugat”, yang berisi permintaan kepada pengadilan supaya sita yang diletakkan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat, dinyatakan sah dan berharga.

Namun ada kalanya permohonan sita juga diajukan secara terpisah dari pokok perkara. Dalam bentuk permohonan seperti ini, penggugat membuatnya atau menyiapkannya dalam bentuk tersendiri secara terpisah darigugatan pokok perkara. Penggugat dapat mengajukan permohonan sita dalam surat yang lain, bahkan dimungkinkan dan dibolehkan pengajuan permohonan sita tersendiri secara lisan.

Satu hal penting yang harus diperhatikan dalam hal pengajuan sita adalah tenggang waktu pengajuan sita, sampai batas waktu kapan permohonan sita dapat diajukan dan kepada instansi pengadilan mana saja pengajuan sita jaminan yang dibenarkan oleh hukum.

Penentuan tenggang waktu pengajuan permohonan sita diatur dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg. Menurut ketentuan perundang- undangan yang berlaku, pengajuan permohonan sita dapat dilakukan:
1) Selama putusan belum dijatuhkan atau selama belum berkekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 261 ayat 1 Rbg, ketentuan tenggang waktu ini yang dibenarkan karena hukum yaitu selama putusan belum dijatuhkan atau selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi selama putusan perkara belum diputus oleh hakim atau selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, masih terbuka hak dan kesempatan untuk mengajukan permohonan sita.
2) Sejak mulai berlangsung pemeriksaan perkara di sidang pengadilan negeri sampai putusan dijatuhkan. Dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg ada ketentuan yang berbunyi “selama putusan belum dijatuhkan”. Makna dan penafsiran kalimat tersebut Namun di dalam praktiknya, bentuk permohonan sita tersendiri secara lisan jarang terjadi. Tetapi pada hakekatnya, kelangkaan praktek itu bukan berarti dapat melenyapkan hak penggugat untuk mengajukan permohonan sita secara lisan.
3) Atau selama putusan belum dapat dieksekusi. Dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg juga memuat ketentuan yang berbunyi “selama putusan belum dapat dieksekusi(dilaksanakan)”. Selama putusan belum dapat dilaksanakan mengandung arti yuridis selama putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Berdasarkan ketentuan di atas jelas bahwa permohonan sita dapat dimohonkan ke pengadilan apabila putusan belum dapat dieksekusi, karena putusan tersebut masih belum berkekuatan hukum tetap (inkrach), yang dapat masih dapat dilakukan upaya hukum banding maupun dikasasi. Dalam hubungan ini, kendati undang-undang secara tegas memberi hak dan kewenangan kepada hakim untuk menyita hartake kayaan atau harta terpekara milik tergugat sesuai dengan Pasal 261 Rbg jo. Pasal 206 Rbg, tetapi hakim harus teliti dan cermat didalam pengabulan terhadap permohonan sita. Ini karena sita sangat eksepsional sekali sifatnya. Permohonan sita yang telah dimohonkan selayaknya disempurnakan dengan adanya alasan sita. Sangat mustahil sekali hakim mau mengabulkan sita apabila tidak dibarengi dengan suatu alasan sita yang relevan dan logis, serta kuat. Mengingat sangat eksepsionalnya sifat tindakan penyitaan (sita) ini, maka hakim harus benar-benar mengamati, memperhatikan, serta menimbang alasan sita tersebut dengan cermat dan teliti. Jangansampai permohonan sita itu dikabulkan tanpa mengkaji pengabulan sita dengan alasan yang dibenarkan oleh hukum.

Sebelum permohonan sita dikabulkan hakim, hakim berhak dan berwewenang memeriksa fakta-fakta tentang adanya dugaan atau persangkaan berupa petunjuk-petunjuk pelanggaran hokum (misalnya penggelapan) yang hendak dilakukan tergugat atas barang-barang yang menjadi objek sengketa.

Apabila alasan sita memang telah sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dan telah memenuhi unsur persangkaan hakim bahwa perlu dilakukan sita, maka permohonan sita dapat dikabulkan. Sebaliknya apabila alasan permohonan sita tidak sesuai dengan fakta-fakta, aturan-aturan, dan unsur-unsur penilaian persangkaan hakim, maka sewajarnya permohonan sita tersebut ditolak. Hal ini ditujukan untuk melindungi hak dari tergugat. Walaupun esensi atau alasan utama sita terletak pada “tergugat akan menggelapkan barang yang menjadi objek perkara”, namun perlu diperhatikan pula unsur sita jaminan jangan sampai terlalu merugikan pihak tergugat. Dari ketentuan Pasal 261 ayat 1 Rbg dapat kita lihat tentang batas pengajuan tenggang waktu sita. Namun terkait dengan masalah kewenangan untuk memerintahkan pelaksanaan sita, masih ada silang pendapat di antara praktisi hukum. Pendapat pertama, mutlak menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Menurut pendukung pendapat ini, hanyalah Pengadilan Negeri yang memmpunyai kewenangan atas sita. Di dalam undang-undang tidak ada kewenangan yang diberikan kepada Pengadilan Tinggi (PT) sebagai instansitingkat banding.

Sehubungan dengan pendapat ini, telah dirinci aturan penerapan penyitaan sebagai berikut:
a) Apabila Pengadilan Negeri (PN) menolak sita, maka Pengadilan Tinggi (PT) tidak berwewenang memerintahkan PN untuk melakukan sita, kecuali apabila PN mencabut permohonan sita, maka PT berwewenang penuh untuk mengabulkan sita dengan cara Universitas Sumatera Utaramembatalkan putusan PN.
b) Apabila penggugat menganggap perlu dilakukan penyitaan, sedangkan perkara sudah pada tingkat banding, maka permohonan tetap diajukan kepada PN, karena PN berwewenang penuh memutus pengabulan atau permohonan sita. Pendapat kedua, Pengadilan Tinggi (PT) berwewenang memerintah sita.

Menurut Prof. Subekti, Permohonan penyitaan dapat diajukan kepada Pengadilan Tinggi (PT) selama pokok perkaranya belum diputus oleh pengadilan tingkatbanding, dengan alasan yang berpijak pada Pasal 261 Rbg karena di dalamnya terdapat kalimat: “Sebelumputusan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Kalimat tersebut” menunjukan “bahwa permohonan sita dapat juga ditujukan kepada PT selama pokok perkaranya belum diputus dalam tingkat banding”. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa permohonan sita hanya boleh dikabulkan dan diletakan terhadap barang-barang yang ditunjuk penggugat. Penunjukan ini diwajibkan terhadap barang yang ditunjuk secara jelas dan pasti, baik mengenai sifat, letak, ukuran yangberkaitan dengan identitas barang.

Jadi, kewajiban penggugat sehubungan dengan penunjukan barang yang diminta untukdisita mengandung unsur:
(1) menjelaskan letak, sifat, dan ukuran barang;
 (2) mengemukakan surat-surat yang berkenaan dengan identitas barang (bukti surat barang); dan
(3) penegasan positif status barang adalah milik tergugat.

Pada diri hakim tidak ada kewajiban hukum untuk mencari dan menemukan identitas atau rincian barang yang menjadi objek sita. Hal ini adalah mutlak kewajiban penggugat. Oleh karena itu, sangat mustahil bagi penggugat memintahakim mencari dan menemukan identitas barang yang hendak disita. Oleh karena tindakan penyitaan (sita) adalah untuk kepentingan penggugat maka si penggugat yang mesti menyebut identitasnya secara terang dan pasti.

Di dalam pengajuan gugatan, penggugat harus dapat menunjukan kepada hakim tentang adanya relevansi dan urgensi penyitaan dilakukan dalam perkara yang bersangkutan. Bila ditinjau dari ketentuan Pasal 261 Rbg maupun Pasal 720 Rv, alasan-alasan pokok permintaansita adalah, sebagai berikut: Namun di antara beberapa unsur kewajiban diatas, ada yang berpendapat tidak mutlak penggugat harus dapat menunjukan atau mengajukan surat identitas atau surat bukti barang.Menurut praktek yang sudah ada, dianggap cukup bila penggugat telah mampu menjelaskan unsur, sifat , letak, dan ukurannya, ditambah dengan unsur penegasan yang positif bahwa barang itu milik tergugat atau setidak- tidaknya dalam kekuasan tergugat.Intinya adalah penggugat tidak boleh menyebutkan barang objek sita secara umum, meskipun Pasal 1311 KUH Perdata menegaskan segala harta kekayaan debitur menjadi tanggungan untuk membayar utangnya.
a. Adanya kekhawatiran atau persangkaan bahwa tergugat berusaha mencari akal guna menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, dimana dilakukan selama proses pemeriksaan perkara berlangsung.
 b. Kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan mempunyai sifat yang objektif, dimana: 1) Penggugat harus mampu menunjukan fakta-fakta tentang adanya langkah-langkah tergugat untuk menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, selama proses pemeriksaan perkara berlangsung.
2) Sekurangkurangnya, penggugat dapat menunjukan adanya indikasi objektif tentang adanya upaya untuk menghilangkan atau mengasingkan barang-barangnya guna menghindari isi gugatan penggugat.
3) Sesuai dengan pendapat Prof. Supomo yang menjelaskan dalam peradilan perdata tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum perdata.
Hakim harus mampu melihat bahwa seandainya sita tidak diajukan akan menimbulkan kerugian dari pihak penggugat. Hal tersebut di atas harus diperkuat dengan eratnya isi gugatan dengan penyitaan, yang apabila penyitaan tidak dilakukan maka timbul kerugian dari pihak penggugat. Dengan demikian, penggugat tidak dibenarkan mendasarkan kekhawatiran dan persangkaan secara pribadi saja terhadap tergugat untuk mengajukan sita. Berdasarkan Pasal 261 Rbg atau Pasal720 Rv, alasan dapat dikatakan objektif apabila dilengkapi dengan fakta-fakta atau petunjuk-petunjuk yang nyata. Hal ini diharuskan karena hakim dapat menolak permohonan sita apabila alasan sita tidak kuat. Karenamenurut undang- undang, yang berhak menilai alasan sita adalah hakim. Jadialasan sita harus dapat benar-benar meyakinkan hakim. Semua alasan-alasan yang diangkat oleh penggugat pada akhirnya untuk kepentingan tergugat sendiri agar haknya terjamin sekiranya gugatannya dikabulkan nanti, dan telah berkekuatan hukum tetap untuk dilaksanakan.

Sunday, 15 January 2017

CONTOH SURAT KUASA


SURAT KUASA
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Mujiono
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
No. KTP : 47280364081378
Alamat : Jl.
Basuki Rahmat No. 99, Madiun
Dengan ini memberi kuasa kepada :
Wawan Heri Nuryanto, SH, berkantor di Jl. Patimura No. 334, Madiun
————————————————–KHUSUS—————————————————–
Untuk dan atas nama pemberi kuasa mewakili sebagai tergugat, mengajukan gugatan
kepada Sulamun yang bertempat di Pengadilan negeri Cibinong mengenai Hutang Piutang
Untuk menghadap dan menghadiri semua persidangan di Pengadilan negeri Cibinong dengan menghadap instansi-instansi, jawatan-jawatan, hakim-hakim, pejabat-pejabat, pembesar-pembesar, menerima, mengajukan kesimpulan-kesimpulan (konklusi-konklusi) meminta sitaan (sita jaminan/sita revindicatoir), serta mengajukan atau menolak saksi-saksi, menerima atau menolak keterangan dari saksi-saksi, menerima atau memberikan segala keterangan yang diperlukan, dapat mengadakan perdamaian dengan syarat-syarat yang di anggap baik oleh yang memberi kuasa, menerima uang pembayaran dan memberikan kwintansi sebagai tanda terima uang, meminta penetapan-penetapan, putusan, pelaksanaan putusan (eksekusi), melakukan peneguran-peneguran, dapat mengambil segala tindakan yang penting, perlu dan berguna yang berhubungan dengan menjalankan perkara, serta dapat mengerjakan segala sesuatu pekerjaan yang umumnya dapat dikerjakan oleh seorang kuasa/wakil guna kepentingan tersebut di atas, juga untuk mengajukan permohonan banding dan kasasi.

Kuasa ini diberikan dengan upah (honorarium) dan hak retensi serta dengan hak untuk melimpahkan (subtitusi) baik sebagian maupun seluruhnya yang dikuasakan ini pada orang lain.
Maduin 3 Januari 2017

Yang menerima kuasa                           Yang member kuasa


(………………………)                           ( …………………….)




Saturday, 14 January 2017

CONTOH MEMBUAT SURAT GUGATAN


SURAT GUGATAN

 Hal  : Gugatan Perdata                                                                          Tuban,   Januari 2017
Lampiran : Surat Kuasa          

K e p a d a Yth: 
Ketua Pengadilan Negeri Tuban
Di Tuban
           
            Dengan Hormat,
Kami yang bertanda tangan di bawah ini ;
Nama                : Wawan Heri Nuryanto,S.H., Advokat.
Alamat              : berkantor di Jalan                 No.         Tuban,
Telp                   : (031)1234567
Berdasarkan surat kuasa tertanggal 02 Januari 2017 ,terlampir , bertindak sebagai kuasa hukum  untuk dan atas
Nama               : Ny. Melany
Pekerjaan        : Pegawai Negeri Sipil,  
Alamat             : Jalan Basuki Rahmat no. 45 Tuban
Dalam hal ini telah memilih tempat kediaman hukum (domisili) di kantor kuasa hukumnya tersebut hendak menandatangani dan mengajukan surat gugatan, selanjutnya akan disebut sebagai Penggugat.
Dengan ini penggugat hendak mengajukan gugatan terhadap :
Nama               : Tn. Wardana,
Pekerjaan         : Wiraswasta
Alamat            : Jalan Patimura No. 22 Tuban
Yang selanjutnya disebut sebagai Tergugat.

Adapun mengenai duduk persoalannya adalah sebagai berikut :
1.      Bahwa pada tanggal 12 Mei 2012 telah dilakukannya perjanjian penjualan tanah dengan luas tanah 800 m2  letak tanah di Kec. Cinta Damai Kab. Tuban seharga Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) oleh Penggugat kepada Tergugat . Dimana penggugat telah menyerahkan surat kepemilikan tanah kepada Tergugat dan Tergugat telah berjanji akan membayar sesuai dengan perjajian yang telah disepakati.

2.      Bahwa dalam perjanjian tersebut,Tergugat telah berjanji akan membayar Rp.50.000.000,-(lima puluh juta rupiah) kepada penggugat selambat-lambatnya tanggal 15 Oktober  2016.

3.      Bahwa ternyata sampai batas waktu yang telah ditentukan di atas,Tergugat hanya membayar Rp.40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) kepada Penggugat.

4.      Bahwa tergugat telah melakukan ingkar janji (wanprestasi) yang merugikan penggugat.

5.      Bahwa atas kelalaian tergugat tersebut, oleh penggugat telah dilakukan teguran-teguran secara lisan melalui telepon maupun menemui langsung tergugat untuk segera membayar sisa uang pembayaran tanah sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) lagi terhadap penggugat, akan tetapi Tergugat tidak mengindahkan dan selalu menghindar untuk bertemu dan beralasan akan segera membayarnya.

6.      Bahwa atas kelalaian tersebut, penggugat menderita kerugian dan wajar penggugat meminta agar tergugat membayar kerugian yang ditibulkan  akibat perkara ini dan juga segera membayar sisa uang tanah yang belum dibayar kepada penggugat.

7.      Bahwa penggugat mempunyai sangka yang beralasan terhadap iktikad buruk tergugat untuk mengalihkan, memindahkan atau menjual lagi tanah tersebut kepada pihak lain. Mohon terlebih dahulu agar Pengadilan Negeri Lubuk Pakam berkenan meletakkan sita jaminan (conservatoir beslag ) terhadap tanah tersebut sesuai pasal 227 HIR.
Maka berdasarkan segala apa yang terurai di atas,Penggugat mohon dengan hormat sudilah kiranya Pengadilan Negeri Lubuk Pakam berkenan memeriksa dan memutuskan : 

Primair :
1.      Mengabulkan keseluruhan gugatan penggugat
2.      Menyatakan sah dan berharga sita jaminan tersebut diatas sesuai pasal 227 HIR.
3.      Menyatakan sah perjanjian jual beli tanah tersebut
4.      Menyatakan tergugat telah ingkar janji ( Wanprestasi )
5.      Menyatakan tergugat harus mengembalikan sisa Uang pembelian tanah dan uang kerugian yang dialami penggugat secara penuh sebesar Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) sesuai pasal 1243 BW.
6.      Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara ini.
7.      Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu (uitVoerbaar bij voerraad) meskipun ada upaya hukum verzet atau banding.
Apabila Pengadilan Negeri Lubuk Pakam berpendapat lain : 

Subsidair :
Maka, dalam peradilan yang baik mohon keadilan yang seadil adilnya ( ex aequo et bono ).


                                                                                         Hormat Kuasa Hukum Penggugat
                                                                                           

                                                                                                Wawan Heri Nuryanto S.H.

Friday, 13 January 2017

KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI


KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI

Azas dalam pembuktian dibutuhkan bukti minumum yaitu :
1.  Alat bukti yang sah;
2.   Mencari kebenaran materiil (materil waarheid).
a.     Keterangan saksi;
-     Syarat : yang dilihat sendiri, didengar sendiri, dialami sendiri, serta menyebut alasan pengetahuan.
-     Diberikan di persidangan di bawah sumpah
-     Didukung oleh keterangan saksi lain / alat bukti lain (Unus testis Nulus testis).
 Keterangan saksi yang bukan alat bukti (Pasal 185 ayat 1 KUHAP) :
1.  Testimonium de auditu
2.  Pendapat, pikiran, rekaan – MARI 15 Maret 1984 No. PK/Pid/1983.
3.  Tanpa sumpah – dilluar persidangan
4.  Hubungan keluarga, kecuali ybs menghendakinya dengan PU dan terdakwa setuju mereka boleh didengar dengan sumpah Psl 168 KUHAP.
5.  Anak-anak dibawah 15  tahun, belum  pernah  kawin orang sakit ingatan (Psl 171 KUHAP)
-     Dapat dipakai sebagai penguat keyakinan Hakim
-     Dapat dipakai sebagai petunjuk
-     Keterangan saksi yang disampaikan di sidang pengadilan mempunyai kekuatan pembuktianbebas, jadi tidak sempurna (Volledig Bewijskracht) dan menentukan (Beslissend) tergantung penilaian Hakim.
 Keterangan ahli
Alat bukti baru dalam Hukum Pembuktian di Indonesia.
Ada 2 (dua) macam ahli :
1.  Ahli Forensik/Visum Et Repertum dapat merupakan alat bukti surat
2. Ahli lainnya
-       Diberikan di depan penyidik/PU
-       Ahli mempunyai keahlian khusus untuk menjelaskan tentang pelaku dan diberikan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya.
-       Diberikan di Persidangan
-       Kekuatan pembuktian bebas : tidak mengikat, dan tidak menentukan.
Surat
-       Surat dalam bentuk resmi dibuat oleh pejabat umum
-       Dibentuk menurut ketentuan UU oleh pejabat tertentu di ;ingkup tugasnya
-       Surat keterangan ahli
-       Surat lain yang ada hubungannya dengan isi alat bukti lain
-       Kekuatan pembuktian bersifat bebas
Keterangan terdakwa
-       Menggantikan  pengakuan terdakwa yang merupakam Regina Probationis.
-       Keterangan terdakwa bisa :
·        Berisi pengakuan
·        Keterangan tentang pengingkaran
-       Syarat keterangan terdakwa :
·        Diberikan di persidangan
·        Pernyataan tentang apa yang diperbuat
·        Pernyataan tentang apa yang diketahui dan dialaminya sendiri
·        Hanya berlaku bagi dirinya sendiri
-       Keterangan terdakwa di luar sidang hanya dapat membantu menemukan bukti di sidang :
·        Diberikan kepada penyidik
·        Dibuatkan Berita Acara
·        Ditandatangani oleh penyidik dan terdakwa ( Psl 189 ayat (2) KUHAP )
BEBAN PEMBUKTIAN (ONUS PROBATIO)
Dalam perkara korupsi :
a.  Beban Pembuktian pada penuntut umum (beban pembuktian biasa) Penuntut umum yang mendakwa, PU yang diberi beban membuktikan berupa
-       Tindak pidana yang terjadi yang dirumuskan dalam dakwaan yang berisi semua unsur tindak pidana (bestandelen)
-       Bahwa terdakwalah yang bersalah atas tindak pidana yang terjadi
Dengan menggunakan alat-alat bukti sesuai UU :
·        Alat bukti KUHAP dan
·        Alat bukti petunjuk (pasal 26A UUPTPK)
b.  Beban Pembuktian Terbalik (psl. 37 UUPTPK)  – Omkering van Bewijslast.
-       Delik suap, menerima gratifikasi dengan nilai Rp.10 juta ke atas – beban pembuktian pada terdakwa 9pasal 12b)
Dapat menentukan putusan bebas karena :
·        tidak terbukti dakwaan
·        keyakinan Hakim tidak menjadi dasar (pasal 37 dan penjelasannya)
·        tidak jelas apakah PU dapat menggagalkan bukti-bukti yang dikemukakan terdakwa sebagaimana pada putusan bebas pembuktian biasa.
·        Terhadap harta milik yang belum didakwakan (pasal 38b) PU pada pembacaan tuntutan menuntut juga perampasan benda-benda yang tidak didakwa. Terdakwa wajib membuktikan bahwa benda-benda tersebut bukan merupakan hasil korupsi.
Beban Pembuktian Terbalik Terbatas/Berimbang Terbalik (diatur dalam psl 37a UUPTPK)
-       Beban pembuktian ada pada terdakwa.
·        dalam hal kekayaannya tidak berimbang dengan penjelasan / sumber perngadaan kekayaannya
·        yang diduga ada hubungannya dengan perkara yang didakwakan kepadanya.
-       Disamping itu beban pembuktian ada pada PU pada perkara pokok yang diatur dalam pasal 2,3,4,13,14,15,16 dan pasal 5 s/d pasal 12.
-       Ketidakberhasilan terdakwa membuktikan / memperkuat bukti pada TPK pokok merupakan alat bukti tambahan.

Jangan Lelah Untuk Menjadi Baik



KENAPA ORANG BAIK SERING TERSAKITI...?
Mungkin. Karena orang baik selalu mendahulukan orang lain.
Dalam semesta kebahagiaannya, ia tidak menyediakan untuk dirinya sendiri, kecuali hanya sedikit.

KENAPA ORANG BAIK SERING TERTIPU...?
Mungkin. Karena orang baik selalu memandang orang lain tulus seperti dirinya. Ia tidak menyisakan sedikitpun prasangka bahwa orang yang ia pandang penyayang mampu mengkhianatinya

KENAPA ORANG BAIK SERING DI HINA...?
Mungkin. Karena orang baik tak pernah diberi kesempatan membela dirinya. Ia hanya harus menerima, meski bukan ia yang memulai perkara.

KENAPA ORANG BAIK SERING MENETESKAN AIR MATA...?
Mungkin. Karena orang baik tidak ingin membagi kesedihan. Ia terbiasa mengobati sendiri lukanya, 
Dan percaya bahwa suatu masa Allah akan mengganti kesedihannya dengan kebahagiaan.

TAPI,

KENAPA ORANG BAIK TAK PERNAH MEMBENCI YANG MELUKAINYA...?
Mungkin. Karena orang baik selalu memandang bahwa di atas semua, Allah-lah hakikatnya. 
Jika Allah yang mengarahkan gerak gerik hidupnya, bagaiman ia akan mendebat kehendak-Nya.
Itulah sebabnya orang orang baik tidak memiliki dendam dalam kehidupannya.
Semoga Allah terus memudahkan & menguatkan kita semua dan anak keturunan kita, menjadi orang orang yang baik. 
Yang terus tekun belajar berbagi kebaikan dan mencoba menyinari semesta disekitar walaupun baru mampu dengan cahaya yang kecil sekalipun.

Aamiin Ya Arhamar Rahimin.

Friday, 6 May 2016

PENANGKAPAN




Pada Pasal 1 butir 20 dijelaskan, “Penangkapan adalah suatu tindakan Penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Dari pasal tersebut, pengertian “PENANGKAPAN” tiada lain daripada “pengekangan sementara waktu ”kebebasan tersangka/terdakwa", guna kepentingan penyidikan atau penuntutan. Akan tetapi harus dilakukan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Untuk itu KUHAP dalam Bab V Bagian Kesatu, Pasal 16 sampai dengan Pasal !9 telah mengatur ketentuan tata cara tindakan “penangkapan”.




Di dalam Pasal 17 KUHAP disebutkan tentang alasan “penangkapan” yaitu :

          1. Seorang tersangka diduga keras melakukan tindak pidana ;

          2. Dan dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.

Yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” menurut penjelasan Pasal 17 KUHAP yaitu bukti permulaan “untuk menduga” adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Selanjutnya penjelasan Pasal 17 KUHAP menyatakan : “Pasal ini menunjukkan bahwa perintah Penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana”.



Kita percaya, jika Pasal 17 ini dijadikan landasan oleh penyidik dengan sungguh-sungguh, maka dapat diharapkan suasana penegakan hukum yang lebih obyektif. Tangan-tangan penyidik tidak lagi seringan itu saat melakukan penangkapan. Sebab jika ditelaah pengertian bukti permulaan yang cukup, pengertiannya hamper serupa dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 183, yakni harus berdasarkan prinsip “batas minimal pembuktian” yang terdiri sekurang-kurangnya dua alat bukti, bisa terdiri dari dua orang saksi atau satu saksi ditambah alat bukti lain. Dengan pembahasan yang lebih ketat daripada yang dulu diatur dalam HIR, suasana penyidikan tidak lagi main tangkap dulu, baru nanti dipikirkan pembuktian. Metode kerja Penyidik menurut KUHAP harus dibalik, lakukan penyelidikan yang cermat dengan tehnik dan taktis investigasi yang mampu mengumpulkan bukti. Setelah cukup bukti, baru dilakukan pemeriksaan penyidikan  atau penangkapan dan penahanan.

Syarat lain untuk melakukan penangkapan adalah harus didasarkan untuk kepentingan “penyelidikan” atau “penyidikan” sebagimana diatur dalam Pasal 16 KUHAP. Oleh Karena itu “penangkapan” juga dimaksudkan untuk kepentingan “penyelidikan”, mesti tetap ditegakkan prinsip : harus ada dugaan keras terhadap tersangka sebagai pelaku tindak pidananya, serta harus didahului dengan adanya bukti permulaan yang cukup. Juga penting untuk diingat, supaya alasan untuk kepentingan penyelidikan dan kepentingan penyidikan jangan diselewengkan untuk maksud lain di luar kepentingan penyelidikan dan penyidikan