Recent Comments

Merenungi Sebuah Arti Kehidupan 22 September 2009

Semestinya aku semakin tegar... Dengan susah hidup yang di kadokan padaku.

Misteri Hidupku wawan si kiyai mbeling 21 Oktober 2010

Wahai Alam Semesta…., Jagad Raya…, Bapa Angkasa…., Bumi Pertiwi.

Holiday in Sarangan 12 Juni 2012

Berjalan berteman bayangan ragawi

Anak Perantauan 30 Juni 2012

Aku seorang anak perantauan.

Mawar Merahku 21 Desember 2014

Ini adalah jawaban tentang semua pertanyaanmu.

Friday, 6 May 2016

PENANGKAPAN




Pada Pasal 1 butir 20 dijelaskan, “Penangkapan adalah suatu tindakan Penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Dari pasal tersebut, pengertian “PENANGKAPAN” tiada lain daripada “pengekangan sementara waktu ”kebebasan tersangka/terdakwa", guna kepentingan penyidikan atau penuntutan. Akan tetapi harus dilakukan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Untuk itu KUHAP dalam Bab V Bagian Kesatu, Pasal 16 sampai dengan Pasal !9 telah mengatur ketentuan tata cara tindakan “penangkapan”.




Di dalam Pasal 17 KUHAP disebutkan tentang alasan “penangkapan” yaitu :

          1. Seorang tersangka diduga keras melakukan tindak pidana ;

          2. Dan dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.

Yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” menurut penjelasan Pasal 17 KUHAP yaitu bukti permulaan “untuk menduga” adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Selanjutnya penjelasan Pasal 17 KUHAP menyatakan : “Pasal ini menunjukkan bahwa perintah Penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana”.



Kita percaya, jika Pasal 17 ini dijadikan landasan oleh penyidik dengan sungguh-sungguh, maka dapat diharapkan suasana penegakan hukum yang lebih obyektif. Tangan-tangan penyidik tidak lagi seringan itu saat melakukan penangkapan. Sebab jika ditelaah pengertian bukti permulaan yang cukup, pengertiannya hamper serupa dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 183, yakni harus berdasarkan prinsip “batas minimal pembuktian” yang terdiri sekurang-kurangnya dua alat bukti, bisa terdiri dari dua orang saksi atau satu saksi ditambah alat bukti lain. Dengan pembahasan yang lebih ketat daripada yang dulu diatur dalam HIR, suasana penyidikan tidak lagi main tangkap dulu, baru nanti dipikirkan pembuktian. Metode kerja Penyidik menurut KUHAP harus dibalik, lakukan penyelidikan yang cermat dengan tehnik dan taktis investigasi yang mampu mengumpulkan bukti. Setelah cukup bukti, baru dilakukan pemeriksaan penyidikan  atau penangkapan dan penahanan.

Syarat lain untuk melakukan penangkapan adalah harus didasarkan untuk kepentingan “penyelidikan” atau “penyidikan” sebagimana diatur dalam Pasal 16 KUHAP. Oleh Karena itu “penangkapan” juga dimaksudkan untuk kepentingan “penyelidikan”, mesti tetap ditegakkan prinsip : harus ada dugaan keras terhadap tersangka sebagai pelaku tindak pidananya, serta harus didahului dengan adanya bukti permulaan yang cukup. Juga penting untuk diingat, supaya alasan untuk kepentingan penyelidikan dan kepentingan penyidikan jangan diselewengkan untuk maksud lain di luar kepentingan penyelidikan dan penyidikan

Mengobati Rasa Gelisah


Ketika kita sedang merasa gelisah resah sempit terhimpit

Titik paling nyaman adalah ketika diatas sajadah..

Berbicara tanpa ada yang tersembunyi,

Lalu sujud meminta ampunan dan petunjuk..

Saat itu pula Allah sedang memeluk kita erat..

dan berkata

"sabarlah sayang,,aku percaya kamu mampu,tidak ada ujian yang ada diluar batas mampumu,sesungguhnya banyak yang lebih berat dari ini,dan kamu adalah orang yang beruntung"

Subhanallah

Allahumma, la ilaha illa anta. Subhanaka, inni kuntu minazzhalimin
“ya Allah, tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sungguh aku ini termasuk orang-orang yang zalim”

Berhentilah mengeluh,dan bersyukurlah


Jadilah Sebaik Yang Kau Bisa


KENAPA ORANG BAIK SERING TERSAKITI?

Mungkin karena orang baik selalu mendahulukan orang lain. Dalam semesta kebahagiaannya, ia tidak menyediakan untuk dirinya sendiri, kecuali hanya sedikit.

KENAPA ORANG BAIK SERING TERTIPU?

Mungkin karena orang baik selalu memandang orang lain tulus seperti dirinya. Ia tidak menyisakan sedikitpun prasangka bahwa orang yang ia pandang penyayang mampu mengkhianatinya

KENAPA ORANG BAIK SERING DI HINA?

Mungkin karena orang baik tak pernah diberi kesempatan membela dirinya. Ia hanya harus menerima, meski bukan ia yang memulai perkara.

KENAPA ORANG BAIK SERING MENETESKAN AIR MATA?

Mungkin karena orang baik tidak ingin membagi kesedihan. Ia terbiasa mengobati sendiri lukanya, Dan percaya bahwa suatu masa Allah akan mengganti kesedihannya dengan kebahagiaan.

TAPI,

KENAPA ORANG BAIK TAK PERNAH MEMBENCI YANG MELUKAINYA?

Mungkin karena orang baik selalu memandang bahwa di atas semua, Allah-lah hakikatnya. Jika Allah yang mengarahkan gerak gerik hidupnya, bagaiman ia akan mendebat kehendak-Nya.
Itulah sebabnya orang orang baik tidak memiliki dendam dalam kehidupannya.
Semoga Allah terus memudahkan & menguatkan kita semua dan anak keturunan kita, menjadi orang orang yang baik. Yang terus tekun belajar berbagi kebaikan dan mencoba menyinari semesta disekitar walaupun baru mampu dengan cahaya yang kecil sekalipun.

FILSAFAT TIONGHOA


FILSAFAT TIONGHOA

Gunung memiliki ketinggian masing-masing
Air memiliki kedalaman masing-masing
Tidaklah perlu saling membandingkan, karena setiap orang juga punya kelebihan masing-masing.
Angin memiliki sifat yg bebas,
Awan memiliki kelembutan Tidaklah perlu kita meniru, setiap orang juga memiliki sifat masing-masing.

=>Raihlah apa yg kita anggap bisa membawa kebahagiaan
=>Jagalah apa yg kita anggap pantas.
=>Hargailah apa yg kita anggap suatu keberuntungan
=>Ikuti kata hati, agar tidak ada penyesalan dalam hidup.

Manusia punya 1 jalan :
=>Jalanilah jalan sendiri

Manusia punya 2 mustika : Tubuh sehat
=>Suasana hati baik

Manusia punya 4 penderitaan hidup :
=>tidak melihat kebenaran,
=>tidak bisa merelakan,
=>tidak mau kalah,
=>tidak bersedia melepaskan.

Manusia punya 5 kalimat hidup :
=>walau susah tetap berusaha,
=>walau sudah baik, tetap harus bersahaja,
=>walau serba kurang juga harus percaya diri,
=>walau berkelebihan juga harus hemat,
=>walau kedinginan, hati harus tetap hangat.

Manusia punya 6 kekayaan hidup :
=>tubuh
=>pengetahuan
=>impian
=>keyakinan
=>percaya diri
=>tekad juang

Saat kita menanam padi, rumput ikut tumbuh, tapi saat kita menanam rumput tidak pernah tumbuh padi.
Dalam melakukan kebaikan, kadang-kadang hal yg buruk turut menyertai.
Tapi saat melakukan keburukan, tidak ada kebaikan bersamanya.
Kembangkan terus perbuatan baik dan kebajikan dalam kehidupan kita

Tuesday, 3 May 2016

Ngalamatake kedut


Ngalamat kedut

Lamun keduten :

1. Sarnaduning awak kabeh, arep ndeleng kaendahan.
2. Sirah, arep oleh dahulate ratu.
3. Embun - embunan, arep dadi mantri.
4. Bathuk tengen, arep oleh arta.
5. Bathuk kiwa, arep nemu suka.
6. Alis tengen, arep olih arta.
7. Alis kiwa, arep ketemu kekasihe.
8. Tlapukan mripat tengen nduwur, arep oleh arta.
9. Tlapukan mripat tengen ngisor, arep nemu kasusahan.
10. Tlapukan mripat kiwa ndhuwur, arep oleh kabecikan.
11. Tlapukan mripat kiwa ngisor, arep nangis.
12. Tadhahluh tengen, arep nangis.
13. Tadhahluh kiwa, luwar saka prihatin.
14. Papadoning mripat tengen, arep ninggali kekasihe.
15. Papadoning mripat kiwa, arep kasusahan.
16. Wrejilane mripat tengen, arep nangisi wong mati.
17. Wrejilane mripat kiwa, arep ninggali wong saka desa.
18. Pipi tengen, arep dipanggawe wong.
19. Pipi kiwa, arep ketemu kekasihe.
20. Irung sisih tengen, arep oleh arta kalal.
21. Irung sisih kiwa, arep ketemu kakasihe.
22. Lambe tengen nduwur, arep oleh srama ( pangan ).
23. Lambe tengen ngisor, arep kepenak awake.
24. Lambe kiwa nduwur, arep rasan karo sanake.
25. Lambe kiwa ngisor, arep oleh pegaweyan becik.
26. Tengah lambe nduwur, arep tukaran.
27. Tengah lambe ngisor, arep mangan enak.
28. Kuping tengen, arep ketemu sanake.
29. Kuping kiwa, arep nemu ujar becik.
30. Janggut tengen, arep dimumule wong agung.
31. Janggut kiwa, arep ketemu wong agung diparingi pegaweyan.
32. Gulu tengen, arep lara epeh.
33. Gulu kiwa, arep lara nanging gelis waras.
34. Pundhak tengen, krabate nemu lara.
35. Pundhak kiwa, arep dimumule wonng wadon.
36. Pundak kiwa tengen, arep lara.
37. Bau tengen, arep tukaran.
38. Bau kiwa, arep lara.
39. Geger tengen, ana wong teka utang duit.
40. Geger kiwa, arep nemu kabegjan.
41. Ula - ula, arep lara utawa susah.
42. Dhadha tengen, arep ketemu kekasihe.
43. Dhadha kiwa, arep weruh wanita ayu banget.
44. Dhadha ing tengah, arep oleh kabegjan.
45. Susu tengen, arep oleh arta.
46. Susu kiwa, arep katekan mantri.
47. Weteng tengen, arep olih rejeki akeh.
48. Weteng kiwa, arep oleh arta akeh.
49. Puser ( wudel ), arep oleh kanugrahing Allah.
50. Kekempong tengen, arep oleh wanita.
51. Kekempong kiwa, arep duwe anak.
52. Atine, arep oleh arta.
53. Tangan tengen utawa kiwa, arep oleh arta.
54. Epek - epek tengen, arep oleh arta.
55. Epek - epek kiwa, arep oleh babathen saka dol tinuku.
56. Lengen tengen, arep oleh rejeki.
57. Lengen kiwa, arep oleh arta.
58. Sikut tengen, atine nemu ora kepenak.
59. Sikut kiwa, arep oleh duduka.
60. Driji manis tangan tengen, arep oleh arta.
61. Driji manis tangan kiwa, arep oleh wanita.
62. Jenthik tangan tengen, arep dipupu wong.
63. Jenthik tangan kiwa, arep tinampan dening wong.
64. Sela - selaning driji tangan tengen, arep oleh seneng.
65. Sela - selaning driji tangan kiwa, arep kiasihan wong gedhe.
66. Jempol tangan tengen, arep oleh bojo becik.
67. Jempol tangan kiwa, arep oleh jodho.
68. Panuding tangan kiwa, arep kawirangan.
69. Panuding tangan tengen, arep oleh pagaweyan.
70. Panunggul tangan tengen, arep lara.
71. Panunggul tangan kiwa, arep susah.
72. Lambung tengen, arep nemu susah.
73. Lambung kiwa, arep muring - muring.
74. Bangkekan tengen,arep oleh kabecikan.
75. Bangkekan kiwa, arep nduweni asih marang wong liya.
76. Purus tengen, arep jimak.
77. Purus kiwa, arep dadi pangulu.
78. Bokong tengen, arep ana wong kang teka.
79. Bokong kiwa, sihing Allah arep teka.
80. Yen kang kaduten wanita, bokong tengen utawa kiwa, wanita mau arep oleh guru laki ( bojo ).
81. Pupu tengen, arep lumaku utawa tetemon karo wong wadon.
82. Pupu kiwa, arep ana wong anggawa arta. Yen lara ana wong anggawa tatamba.
83. Cicingklok tengen, arep dimumule wong.
84. Cicingklok kiwa, arep oleh arta.
85. Wentis tengen, arep tukaran.
86. Wentis kiwa, arep ketemu sanake.
87. Gares tengen, arep lulungan.
88. Gares kiwa, arep diundang wong.
89. Dlamakan tengen, arep nemu serik.
90. Dlamakann kiwa, arep diundang wong.
91. Sela - selaning driji sikil tengen, arep oleh gawe.
92. Sela - selaninh driji sikil kiwa, arep oleh jodho.
93. Sikil tengen utawa kiwa, arep oleh arta utawa karawuhan priyayi.
94. Wawadine, duwe karep ora bisa kawetu.
95. Jubur, nemu lara.
96. Gorokan tengen, arep nemu bebaya.
97. Gorokan kiwa, arep nemu kasusahan gedhe.
98. Githok tengen, arep nemu untung.
99. Githok kiwa, arep weweh.
100. Pagelangan tangan kiwa, arep kinasihan wong agung.
101. Pagelangan tangan kiwa, arep oleh wahyu becik.

Tentukan Saja Pilihan Dan Jangan Pernah Menyesalinya


Titik Akhir


Di balik titik temu ada rahasia semesta dalam andil menyatukan kita. Tapi untuk menjadi satu,ada dua yang harus melebur dari kekerasan hati yang masih belum mau membaur. disitulah kita terbentur dengan kemauan kita yang masih simpang siur melewati batas suatu jalur.

Dan entah siapa korban dari berakirnya cerita ini..!

Disatu sisi ada aku dan ketetapanku. Ingin jadikan kita yang tak hanya cerita biasa,namun cerita sepanjang massa. Di sisi lain ada kamu yang juga dengan ketetapanmu. Membiarkan dirimu ikuti alur. Beberapa persimpangan kita lewati,beberapa keputusan besar kita ambil;tak jarang mengorbankan ego hati. dan kini sampailah kita pada titik ini. Persimpangan yang lain,Tanda tanya besar yang lain.

Ada beberapa hal yang tiba-tiba berubah menjadi kegaduhan tak terfahami,dan tak lagi membawa kecocokan. Seperti sudah lelah mengalah,kita tak mampu bersepakat untuk memilih arah dan hanya ada jalan tengah yaitu BERPISAH.

Tapi ya sudahlah, aku sangat bahagia memiliki kenangan besamamu begitu juga dengan perpisahan ini aku cukup bahagia dengan jalan yang sekarang. Semoga kebahagiaan akan selalu menyertai jalanmu,dan juga jalanku.. Amiiiin




Terimakasih Atas Semuanya

Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan


uang pengganti sebagai pidana tambahan



kedudukan uang pengganti sebagai pidana tambahan dalam perkara pidana korupsi.

a.Uang Pengganti sebagai Pidana tambahan.

Pasal 18 Undang-undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut :
               
  1. Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP, sebagai pidana tambahan :
a.       Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b.      Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c.       Penutup seluruhnya atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
d.      Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

  1. ketika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
3.       Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dari Undang-Undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Korupsi telah menjadi kejahatan yang dianggap merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi sudah masuk dalam kategori membahayakan. Korupsi di Indonesia merupakan persoalan bangsa yang bersifat recurrent dan darurat yang telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam rentang waktu relatif lama sehingga pengadilan khusus korupsi diharapkan dapat membantu menyelesaikan sejumlah kejahatan korupsi masa lalu agar mengembalikan harta kekayaan negara yang hilang.
Undang-undang RI No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dilengkupi UU RI No. 31 tahun 1999 Beserta Penyelesayan, Citra Umbara Bandung 2002, hal. 719 pidana korupsi.”    Untuk dapat menentukan dan membuktikan berapa sebenarnya jumlah harta benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana korupsi jangan hanya ditafsirkan harta benda yang masih dikuasai oleh terpidana pada saat jatuhnya putusan pengadilan tetapi juga harta benda hasil korupsi yang pada waktu pembacaan  putusan sudah dialihkan terdakwa kepada orang lain.
Pada prakteknya, putusan pidana pembayaran uang pengganti bervariasi besarannya yang dapat disebabkan beberapa faktor antara lain seperti hakim memiliki perhitungan tersendiri, sebagian hasil korupsi sudah dikembalikan atau tindak pidana korupsi dilakukan oleh lebih dari satu orang sehingga pidana pembayaran uang pengganti dibebankan bersama-sama.
Kendala dalam penjatuhan pembayaran uang pengganti dalam rangka penyelesaian keuangan negara pernah diungkapkan (Prof. Ramelan)  adalah:
  1. Kasus korupsi dapat diungkapkan setelah berjalan dalam kurun waktu yang lama sehingga sulit untuk menelusuri uang atau hasil kekayaan yang diperoleh dari korupsi.
  2. Dengan berbagai upaya pelaku korupsi telah menghabiskan uang hasil korupsi atau mempergunakan/mengalihkan dalam bentuk lain termasuk mengatasnamakan nama orang lain yang sulit terjangkau hukum.
  3. Dalam pembayaran pidana uang pengganti, si terpidana banyak yang tidak sanggup membayar.
  4. Dasarnya pihak ketiga yang menggugat pemerintah atas barang bukti yang disita dalam rangka pemenuhan pembayaran uang pengganti.
Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada tahap kebijakan legislasi, perumusan ketentuan sanksinya banyak dipengaruhi oleh konsep atau rancangan undang-undang yang diajukan ke legislatif. Menurut Barda NawawiArief, “strategi kebijakan pemidanaan dalam kejahatan-kejahatan yang berdimensi baru harus memperhatikan hakekat permasalahannya. Bila hakekat permasalahannya lebih dekat dengan masalah-masalah di bidang hukum perekonomian dan perdagangan, maka lebih diutamakan penggunaan pidana denda atau semacamnya”.
Penetapan sanksi hukum pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan rasional. Bila berdasar pada konsep rasional ini, maka kebijakan penetapan sanksi dalam pidana tidak terlepas dari penetapan tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan kriminal secara keseluruhan, yakni perlindungan masyarakat. Disebabkan pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu, maka haruslah dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tujuan umum tersebut. Kemudian, berorientasi dari tujuan itu untuk menetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan dilakukan.
Tujuan adanya pidana uang pengganti adalah untuk memidana seberat mungkin para koruptor agar mereka jera dan untuk menakuti orang lain agar tidak melakukan korupsi.
Tujuan lainnya adalah untuk mengembalikan uang negara yang melayang akibat suatu perbuatan korupsi. Pemikiran ini sejalan dengan definisi tindak pidana korupsi. Menurut UU, salah satu unsur tipikor adalah adanya tindakan yang merugikan negara. Dengan adanya unsur ini, maka setiap terjadi suatu korupsi pasti akan menimbulkan kerugian pada keuangan negara. Merupakan suatu hal yang wajar apabila pemerintah kemudian menerapkan suatu kebijakan yang tertuang dalam UU dalam mengupayakan kembalinya uang negara yang hilang akibat tipikor.
Sudah jelas bahwa korupsi mengakibatkan pelaku memperoleh keuntungan finansial dan sebaliknya negara menderita kerugian secara finansial. Akibat kerugian yang ditanggung negara pada akhirnya berdampak pada berbagai hal. Bahkan korupsi telah mengakibatkan kemiskinan, sehingga pelaku korupsi harus dikenakan pidana pembayaran uang pengganti. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara dan perekonomian negara juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.
Penjatuhan pidana tambahan dapat dilihat dalam arti sempit maupun luas.
  1. Dalam arti sempit, penjatuhan pidana berarti kewenangan menjatuhkan pidana menurut undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim).
  2. Dilihat dalam arti luas, penjatuhan pidana merupakan suatu mata rantai tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan sampai pada putusan pidana yang dijatuhkan pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana. Seperti pidana lainnya, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dicantumkan dalam putusan hakim.
Akan tetapi kontras dengan beban mulia yang diembannya, ternyata pengaturan mengenai pidana uang pengganti justru tidak jelas. Baik UU No. 3 tahun 1971 yang hanya mengatur mengenai uang pengganti dalam satu pasal yakni pasal 34huruf c maupun undang-undang penggantinya UU No. 31 Tahun 1999 serta perubahannya UU No. 20 Tahun 2001 pada pasal 18. Minimnya pengaturan mengenai uang pengganti mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan. Salah satunya adalah dalam menentukan berapa jumlah pidana uang pengganti yang dapat dikenakan kepada terdakwa. Pasal 34 huruf c UU No. 3/1971 dan pasal 18 ayat (1) huruf b hanya menetapkan rumusan sederhana mengenai besarnya uang pengganti yaitu sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi, maka dapat ditafsirkan besarnya uang pengganti dapat dihitung berdasarkan nilai harta si terdakwa yang diperoleh dari tindak pidana korupsi yang didakwakan. Maka untuk menentukan besarnya uang pengganti, pertama-tama hakim harus secara cermat memilah-milah bagian mana dari keseluruhan harta terdakwa yang berasal dari tindak pidana korupsi yang didakwakan kepadanya dan mana yang bukan. Setelah dilakukan pemilahan, hakim kemudian baru dapat melakukan perhitungan berapa besaran uang pengganti yangakan dibebankan.
Prakteknya, dengan konsep ini hakim pasti akan menemui kesulitan dalam menentukan besaran uang pengganti. Pertama, hakim akan sulit memilah-milah mana aset yang berasal adri korupsi dan mana yang bukan, karena pada perkembangannya kompleksitas suatu tindak pidana korupsi semakin meningkat. Selain itu, untuk melakukan hal ini jelas butuh keahlian khusus serta data dan informasi yang lengkap.
Belum lagi kalau kita bicara soal waktu yang tentunya tidak sebentar, apalagi jika
harta yang akan dihitung berada di luar negeri sehingga membutuhkan birokrasi diplomatik yang pasti sangat rumit dan memakan waktu.
Kedua, perhitungan besaran uang pengganti akan sulit dilakukan apabila aset terdakwa yang akan dinilai ternyata telah dikonversi dalam bentuk aset yang berdasarkan sifatnya mempunyai nilai yang fluktuatif, yang nilainya terus berubah.  Salah seorang pejabat Kejagung, Yoseph Suardi Sabda saat itu menjabat sebagai Direktur Perdata mengatakan pengaturan rumusan jumlah uang pengganti dalam UU Korupsi yang berlaku saat ini sangat membingungkan. Disebutkan lebih baik menggunakan pemahaman bahwa uang pengganti disamakan saja dengan kerugian negara yang ditimbulkan. Dengan menetapkan besaran uang pengganti sama dengan jumlah kerugian negara maka sisi positifnya adalah menghindari kerepotan hakim dalam memilah dan menghitung aset terpidana karena besarnya sudah jelas serta memudahkan pengembalian keuangan negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi.
Memang ada kesan akan menimbulkan ketidakadilan bagi terdakwa karena harta bendanya yang diperoleh dari korupsi belum tentu sama banyak dengan kerugiannegara yang timbul. Apalagi dalam hal terjadi penyertaan, akan sangat membingungkan menentukan berapa harta masing-masing terdakwa yang diperoleh dari korupsi.
Ada dua model pembebanan yang selama ini diterapkan oleh hakim dalam memutus perkara korupsi yang berupa penyertaan. Model pertama adalah pembebanan tanggung renteng, sedangkan yang kedua model pembebanan secara proporsional. Menurut model pertama, tiap-tiap dari mereka memiliki kewajiban untuk memenuhi hukuman tersebut. Dimana menurut konsep keperdataan, apabila salah satu dari terdakwa telah melunasi sejumlah uang pengganti maka otomatis kewajiban terdakwa lain gugur secara otomatis.
Model kedua, pembebasan secara proporsional adalah pembebanan pidana uang pengganti dimana majelis hakim dalam amarnya secara definatif menentukan berapa besar beban masing-masing terdakwa. Penentuan jumlah uang pengganti tersebut didasarkan pada penafsiran hakim atas kontribusi masing-masing terdakwa dalam tindak pidana korupsi terkait.
Mengenai penentuan pidana pembayaran uang pengganti berpedoman pada Surat Jaksa Agung No. B-28/A/Ft.1/05/2009 tanggal 11 Mei 2009, mengenai petunjuk kepada jaksa penuntut umum dalam membuat surat tuntutan yang salah satu diantara petunjuk adalah mengenai pidana pembayaran uang pengganti yaitu:
  1. Kewajiban membayar uang pengganti sedapat mungkin langsung ditujukan kepada instansi yang dirugikan sebagai akibat dari tindak pidana korupsi. Amar surat tuntutan: ‘membayar uang pengganti kepada negara (institusi yang dirugikan) sebesar.......dst.
  2. Untuk memberikan rasa keadilan kepada terpidana yang membayar uang pengganti tetapi hanya sebagian dari pidana dalam putusan, maka didalam amar tuntutan supaya ditambahkan klausul: “apabila terdakwa/terpidana membayar uang pengganti, maka jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti.
  3. Terhadap kewajiban pembayaran uang pengganti yang terdakwanya lebih dari satu orang supaya di dalam amar tuntutan disebutkan secara jelas dan pasti jumlah kepada masing-masing terdakwa dan tidak boleh disebutkan secara tanggung renteng karena tidak akan memberikan kepastian hukum dan menimbulkan kesulitan dalam eksekusi. Kesulitan eksekusi yang terjadi baik menyangkut jumlah uang pengganti yang harus dibayar oleh masing-masing terdakwa/terpidana maupun terhadap terpidana yang tidak membayar (atau membayar sebagian) uang pengganti sehingga harus menjalani hukuman badan sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti tersebut.
  4. Apabila tidak diketahui secara pasti jumlah yang diperoleh dari tindak pidana korupsi oleh masing-masing terdakwa/terpidana, maka salah satu cara yang dapat dipedomani untuk menentukan besarnya uang pengganti yang akan digunakan kepada masing-masing terpidana/terdakwa adalah menggunakan kualifikasi turut serta dalam pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP.
  5. Untuk pelaksanaan petunjuk penentuan besaran uang pengganti supaya dilaksanakan secara tertib dengan administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan disertai bukti-bukti yang akurat yang dapat dipergunakan sebagai bahan pelaporan hasil penyelamatan kerugian keuangan negara oleh Kejaksaan Agung.

Mengenai Penahanan dan Sahnya Surat Panggilan Tersangka




    1.  Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (2) UU No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) , surat penahanan sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut :
-         Identitas tersangka atau terdakwa;
-         Alasan penahanan;
-         Uraian singkat perkara;
-         Kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan;
-         Tempat ditahan.

Selain itu, tembusan dari surat perintah penahanan itu harus diberikan kepada keluarganya (lihat Pasal 21 ayat (3) KUHAP).

2. Untuk menetapkan tersangka, pihak penyidik harus menerbitkan Surat Perintah Dimulai Penyidikan sebagai pemberitahuan kepada Jaksa yang kemudian dilanjutkan proses penyidikan untuk memperoleh nama-nama yang dijadikan tersangka (lihat Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana). Setelah itu, penyidik memanggil tersangka (serta saksi-saksi) untuk diperiksa. 

Surat panggilan tersangka diatur dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. Dalam penjelasan Pasal 112 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa surat panggilan yang sah adalah surat panggilan yang ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang.

Dari ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pemanggilan seorang tersangka atau saksi harus memenuhi kedua syarat di atas yaitu:
-         Dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas. Dalam praktiknya, “alasan pemanggilan yang jelas” berarti surat panggilan disertai dengan uraian singkat mengenai perkara beserta pasal-pasal yang disangkakan; dan
-         Dipanggil dengan surat panggilan yang sah (ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang).

Jadi, yang menentukan keabsahan surat panggilan tersangka adalah adanya tanda tangan dari penyidik yang berwenang dalam surat panggilan tersebut. Sedangkan, tidak dicantumkannya pasal-pasal yang dilanggar/disangkakan, maka hal tersebut tidak membuat surat panggilan tersebut menjadi tidak sah. 

LAPORAN atau PENGADUAN POLISI


Laporan adalah Pemberitahuan yang disampaikan seorang karena hak/kewajiban berdasar undang-undang kepada pejabat berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi peristiwa pidana (Pasal 1 butir 24 KUHAP). Berbeda dengan pengaduan, pemberitahuan laporan bersifat umum, meliputi seluruh jenis tindak pidana yang diberitahukan, sehingga laporan bisa dilakukan oleh semua orang yang mengalami, melihat dan mendengar suatu peristiwa pidana, dan tidak dapat dicabut kembali oleh si pelapor. Walaupun jika pada akhirnya terjadi perdamaian antara pelapor dan terlapor sebelum tahap persidangan, penegak hukum tetap bisa meneruskan pemeriksaan hingga persidangan.   
Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan Tindak Pidana (“TP”) aduan yang merugikannya (Pasal 1 butir 25 KUHAP).  Pengaduan yang bersifat khusus, hanya bisa dilakukan oleh pihak tertentu yang berkepentingan, sehingga dapat dicabut sebelum sampai ke persidangan, apabila terjadi perdamaian antara pengadu dan teradu. Jika terjadi pencabutan pengaduan, maka perkara tidak dapat diproses lagi.
Adakah aturan dalam KUHAP mengenai batas waktu untuk menindaklanjuti laporan tersebut ?
Jawabannya adalah tidak ada.  Akan tetapi, terdapat Peraturan Kapolri No. 12 Tahun  2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan POLRI (“Perkap No. 12 Tahun 2009”), yang mengatur mengenai batas waktu pemeriksaan dan penyelesaian perkara, sebagai berikut :
1.   Pertama kali terkait batas waktu menyerahkan Laporan yang dibuat di Sentra Pelayanan Kepolisian, yakni.
Pasal 11
(1) Laporan Polisi yang dibuat di SPK WAJIB segera diserahkan dan harus sudah diterima oleh Pejabat Reserse yang berwenang  untuk mendistribusikan  laporan paling lambat 1 (satu) hari setelah Laporan Polisi dibuat. 
(2)  Laporan Polisi yang telah diterima oleh pejabat reserse yang berwenang
(3)  Laporan Polisi sebagaimana dimaksud, selanjutnya HARUS sudah disalurkan keapda penyidik yang ditunjuk untuk melaksanakan penyidikan perkara paling lambat 3 (tiga) haris sejak Laporan Polisi dibuat.
       Pasal 18 :
       Terhadap perkara yang merupakan sengketa antara pihak yang saling melapor kepada kantor polisi yang berbeda, penanganan perkaranya dilaksanakan oleh kesatuan yang lebih tinggi atau kesatuan yang dinilai paling tepat dengan mempertimbangkan aspek efektivitas dan efisiensi.
2.    Proses berikutnya setelah laporan adalah kegiatan penyelidikan dan batas waktu melaporkan hasil penyelidikan, yang diatur dalam Pasal 26 Perkap No. 12 Tahun 2009, sebagai berikut : 
(1)  Penyelidik yang melakukan kegiatan penyelidikan wajib melaporkan hasil penyelidikan secara lisan atau tertulis kepada atasan yang memberi perintah pada kesempatan  pertama.
 (2)      Hasil penyelidikan secara tertulis dilaporkan dalam bentuk LHP paling lambat 2(dua) hari setelah berakhirnya masa penyelidikan kepada pejabat yang memberikan perintah.
3.    Proses setelah laporan hasil penyelidikan adalah melakukan tindakan penyidikan.  Pasal 33 dan Pasal 34 Perkap No. 12 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Setiap tindakan penyidikan wajib dilengkapi surat perintah Penyidikan.  Penyidik yang telah mulai melakukan tindakan penyidikan wajib membuat SPDP.”
4.    Perkap No. 12 Tahun 2009 selanjutnya mengatur mengenai batas waktu penyelenggaraan penyidikan sebagai berikut : 
Pasal 31
(2) Batas waktu penyelesaian perkara dihitung sejak diterimanya Surat Perintah Penyidikan meliputi:
a.    120 hari untuk penyidikan perkara sangat sulit
b.    90 hari untuk penyidikan perkara sulit
c.    60 hari untuk penyidikan perkara sedang
d.    30 hari untuk penyidikan perkara mudah
 (3) Dalam menentukan tingkat kesulitan penyidikan, ditentukan oleh pejabat yang berwenang menerbitkan Surat Perintah Penyidikan. 
 (4) Penentuan tingkat kesulitan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) selambatnya 3 (tiga) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.
 Pasal 32 : 
(1) Dalam hal batas waktu penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 penyidikan belum dapat diselesaikan oleh penyidik, maka dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyidikan kepada pejabat yang memberi perintah melalui pengawas penyidik.
5.    Dalam hal kepolisian tidak menindaklanjuti laporan, atau jika ada ketidakpuasan atas hasil penyidikan, maka Pelapor atau saksi dapat mengajukan surat pengaduan atas hal tersebut kepada atasan Penyelidik atau Penyidik atau badan pengawas penyidikan, agar dilakukan koreksi atau pengarahan oleh atasan penyelidik/penyidik yang bersangkutan.
Dalam rancah hukum pidana, daluwarsa diatur untuk pengaduan, penuntutan, menjalankan pidana dan upaya hukum lainnya, tetapi tidak diatur daluwarsa untuk menindaklanjuti laporan. Menurut Pasal 74 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), masa daluwarsa mengajukan pengaduan ke kepolisian adalah:
1.    Enam (6) bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan itu, bila ia berada di Indonesia;
2.    Sembilan (9) bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan itu dilakukan, bila ia berada di luar neger

PROSES PENYIDIKAN



PROSES PENYIDIKAN 
I.               Pendahuluan
Upaya penyidikan ini mengacu pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) Lembaran Negara Tahun 1981 No. 3209 yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981, dengan diundangkan KUHAP ini  mengakibatkan perubahan fundamental di dalam sistem peradilan pidana, dengan perubahan fundamental ini mengakibatkan pula perubahan di dalam sistem penyidikan.
Penyidik sebagai terdepan dalam pelaksanaan penegakkan hukum senantiasa diperlukan dalam memperhitungkan akan terjadinya persoalan-persoalan yang tidak dapat dihindari, ketika berlakunya hukum acara sebelum KUHAP ini berlaku. KUHAP merupakan  hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bersifat unifikasi dan kodifikasi yang bertujuan untuk kepentingan nasional, ini adalah merupakan realisasi Eropa kontinental seperti Jerman, Perancis dan Belanda atau negara-negara lain seperti Jepang, yang membedaknnya hanya keadaan dalam menetapkan bentuk juridisnya dengan teknik perundang-undangan, dan tidak mengenai isinya, khususnya yang berkaitan dengan asas-asas Hukum Acara Pidana.
Lahirnya KUHAP diawali dari proses penyelidikan maupun penyidikan masih menggunakan HIR, perlakuan terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana dalam mencari bukti  dilakukan dengan cara-cara kekerasan, bahkan penyiksaan seseorang mengalami kriminalisasi. Hal ini dilakukan karena semata-mata untuk mengejar pengakuan, tidak didasarkan kepada pembuktian secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan atas kebenarannya. Tindakan ini dapat mengakibatkan cacat pisik dan mental terhadap pelaku tindak pidana, terjadi penyalahgunaan wewenang bahkan terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
Penyalahgunaan wewenang dalam menjalankan hukum pidana merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 3885, Pasal 1 ke 6 menyatakan bahwa: “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut haj asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.
Penegakkan hukum oleh aparat penegak hukum diharapkan tidak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran ini tidak terjadi manakali aparat penegak hukum memiliki pengetahuan tentang hukum, terampil dalam melakukan tugas secara profesional dan proporsional sesuai kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.
Aparat penegak hukum harus memahami norma-norma yang berlaku pada masing-masing bidang hukum, karena masing-masing bidang hukum mempunyai makna penormaan yang berbeda. Apabila aparat penegak hukum khususnya Kepolisian tidak memahami “domain” masing-masing bidang hukum, maka akan diperalat dan dimanfaatkan oleh pencari keadilan dengan jalan pintas untuk segera mendapatkan prestasi dengan melaporkan ke pihak Kepolisian. Sesuai tugas dan wewenangnya dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168,  menyatakan bahwa:
a.    memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b.    menegakan hukum; dan
c.     memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Sebagai pelayan masyarakat Polri tidak boleh menolak laporan atau pengaduan yang disampaikan kepadanya, semua permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat cenderung melaporkan ke kepolisian, tidak terkecuali permasalahan yang dilaporkan menyangkut peristiwa keperdataan maupun permasalahan lainnya. Masyarakat tidak mengerti dan memahami hukum, sehingga setiap permasalahan yang terjadi dilaporkan. Apakah masalah yang dihadapi masuk dalam lingkup hukum perdata atau hukum pidana, ia tetap melaporkan ke Kepolisian dengan harapan cepat  terselesaikan. Penegak hukum diharapkan dapat memahamai persoalan-persolan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, dalam kehidupan masyarakat tentu terdapat norma-norma yang berlaku berupa norma larangan (dwingend recht) seringkali dilanggar, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor lingkungan, ekonomi, keamanan dan geografis maupun karakter masyarakatnya. Sedangkan perkembangan dan kemajuan kejahatan saat ini dipengaruhi pula oleh perkembangan masyarakatnya. Dalam hubungan ini,  I.S. Susanto menulis, wajah kejahatan dipengaruhi oleh bentuk dan karakter masyarakatnya, artinya masyarakat industri akan memiliki wajah kejahatan yang berbeda dengan masyarakat agraris. Dengan kemajuan teknologi dewasa ini pola kehidupan masyarakat akan terpengaruh dan berkembang secara pesat, sehingga dampak yang muncul sangat mempengarui terhadap kondisi dan tatanan kehidupan masyarakat, secara perlahan tanpa disadari atau tidak, pola prilaku maupun pola pikir masyarakat ikut terpengaruh pula.
Dewasa ini perkembangan kejahatan semakin canggih, dengan modus maupun cara-cara dalam melakukan kejahatan semakin modern dengan meninggalkan pola-pola tradisional, pola-pola tradisional saat ini sudah tidak digunakan karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan situasi masyarakat dewasa ini, bahkan dalam kegiatan berinteraksi maupun pergaulan masyarakat sehari-hari dalam melakukan kegiatan cenderung mengikutinya.  Penyidik (polisi) sesuai tugas dan kewenangannya sebagai pelayan masyarakat dan aparat penegak hukum, senantiasa bertindak secara profesional dan proporsional, dan mampu memahami terhadap peraturan perundang-undangan yang ada serta  dalam melakukan proses penyelidikan maupun penyidikan terhadap suatu kasus yang diterimanya. Dalam melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus yang ditangani ternyata tidak ditemukan unsur-unsur pidananya, maka pihak Kepolisian khususnya penyidik dapat untuk menghentikan perkara, dengan mengeluarkan surat ketetapan berupa Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), hal tersebut di atur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
Penghentian penyidikan adalah merupakan salah satu kegiatan penyelesaian perkara yang dilakukan  apabila :
a)    Tidak terdapat cukup bukti;
b)    Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana;
c)    Demi hukum karena :
-      Tersangka meninggal dunia;
-      Tuntutan tindak pidana telah kadaluarsa;
-      Nebis en idem (tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan  hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap).

II.          Pembahasan

1.    Pemeriksaan
Pemeriksaan  adalah kegiatan untuk  mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikan tersangka, saksi  ahli  dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan di dalam  berita acara pemeriksaan.
Berita acara pemeriksaan (BAP) adalah catatan atau tulisan yang bersifat otentik, dibuat dalam bentuk  tertentu oleh penyidik atau penyidik pembantu atas kekuatan sumpah jabatan, diberi tanggal dan ditanda tangani oleh penyidik atau penyidik pembantu dan tersangka serta saksi/ahli yang diperiksa, memuat uraian tindak pidana yang mencangkup/memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan  dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, identitas penyidik/penyidik pembantu dan yang diperiksa, keterangan yang diperiksa.
Berita acara pemeriksaan (BAP) yang tertuang dalam berkas perkara (BP) sangat berperan penting dalam sistem peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), yaitu yang dikenal dengan Criminal Justis Sistem, Polri sebagai Penyidik, Jaksa Penuntut Umum sebagai Pebutut dan Hakim sebagai pemutus dalam Persidangan. Kita ketahui hasil berita acara pemeriksaan (BAP) yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh Penyidik, dapat dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum untuk mendakwa seseorang dalam proses peradilan yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Apabila hasil pemeriksaan yang dituangkan dalam berkas (BP) yang dibuat oleh Penyidik, maka dakwaan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pun akan mengalami kekliruan, termasuk vonis Hakim yang dijatuhkan terhadap seseorang palaku tindak pidana akan mengalami kesesatan.

2.    Syarat-Syarat Pemeriksaan
Pemeriksa selaku penyidik dalam melakukan pemeriksaan harus memiliki kewenangang untuk melakukan pemeriksaan dalam membuat berita acara pemeriksaan (BAP), memilki pengetahuan yang cukup tentang hukum pidana, hukum acara pidana dan perarturan perundang-undangan lainnya. Mempunyai pengetahuan yang cukup dan mahir dalam melaksanakan fungsi tehnis kepolisian di bidang reserse, mahir dalam taktik dan tehnik dalam melakukan pemeriksaan.
Memilki kepriabdian yang baik, percaya diri, sabar, tidak gampang terpengaruh, tekun, ulet dan memiliki kemapuan menilai dengan tepat dan bertindak secara cermat serta obyketif tanpa pilih kasih. Seorang penyidik selaku pemeriksa hendaknya melihat seseorang yang diperiksa, apakah seorang tersangka maupun seorang saksi dan ahli harus memiliki kemampuan untuk mempersiapkan rencana  pemeriksaan dengan baik efektif dan efesien.
Dalam melakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka, saksi dan ahli ditetapkan secara khusus tempat maupu sarana pemeriksaan, sehingga tujuan dari pemeriksaan dapat berjalan sesuai dengan harapan yaitu pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan.

3.    Pembuatan Berita Acara  Pemeriksaan
Dalam pembuatan berita acara pemeriksaan, terdapat  persyaratan yang harus dipenuhi yaitu, syarat formal dan materiil.
Pertama, syarat formal dibuat dalam bentuk tertentu dan tertulis  kata-kata Pro Justitia  atau untuk keadilan artinya bahwa format berita acara yang dibuat oleh penyidik atas dasar untuk keadilan, bukan untuk kepentingan lain. Kemudian setiap lembar dari produk itu ditanda tangani oleh penyidik  dan orang yang diperiksa, baik sebagai saksi, tersangka dan ahli.
Kedua, syarat materiil yaitu keseluruhan isi atau meteri menyangkut urang dari peristiwa tindak pidana yang terjadi dan dapat memenuhi unsur-unsur pasal yang dilanggar atau yang disangkakan kepada pelaku tindak pidana.

4.    Evaluasi
Evaluasi pembuatan berita acara pemeriksaan, senantiasa dilakukan dengan cara: tahap inventarisasi, tahap seleksi dan pengkajian. Hal ini dilakukan agar keterangan para saksi, ahli dapat dijadikan dasar dan memenuhi unsur-unsur pasal yang disangkakan kepada seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Selanjutnya dilakukan seleksi, siapa saja yang layak untuk dijadikan saksi untuk dimasukan dalam berkas perkara (BP), dan dilakukan pengkajian untuk menguji kebenaran dengan bukti-bukti serta petunjuk-petunjuk yang ada, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan tentang kebenaran dan dapat dipercaya tentang peristiwa pidana yang terjadi dan dapat menentukan pelaku tindak pidana.

5.   Pembuktian
a)    Arti Pembuktian
           Pembuktian adalah suatu proses untuk mencari kebenaran dalam menyelesaikan suatu sengketa atau perselisihan kepentingan, kepentingan-kepentingan tersebut dapat berhubungan dengan hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi dan hukum tata usaha negara. Pembuktian memegang peranan sangat penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan, apabila seseorang didakwa telah melakukan pelanggaran hukum dan hasil pembuktian “tidak cukup“ maka seorang terdakwa wajib dibebaskan, namun apabila dapat dibuktikan maka seorang terdakwa dinyatakan bersalah dan diberikan sanksi berupa hukuman badan atau denda.
          Pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, dengan bukti-bukti yang diajukan untuk mencari dan membuktikan kebenaran atau membuktikan kesalahan-kesalahan seseorang, dengan pembuktian yang telah diajukan dalam persidangan, maka seseorang dapat diketahui kesalahan-kesalahan disangkakan kepadanya sebagai dasar untuk menjatuhkan sanksi pidana.
           Dari dua pengertian tersebut, maka proses pembuktian merupakan inti dari penentuan salah atau  tidak seorang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana, dalam menjalani proses penyidikan atau  pemeriksaan sidang persidangan. Penentuan salah atau tidak seseorang tidak boleh hanya ditentukan oleh pendapat pribadi Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim, atau pada pengakuan tersangka/terdakwa, akan tetapi harus melalui proses pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan.
Menurut M. Yahya Harahap menyatakan bahwa, pembuktian adalah merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang, untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepadanya.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan. Dalam proses persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.
Dari uraian tersebut di atas arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana  sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981,  Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan penjelasannya termuat dalam tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209.

b)    Alat Bukti
Dalam Pasal 184 KUHAP menyatakan, bahwa macam- macam alat-alat bukti sebagai berikut :
Ayat (1) alat  bukti yang  sah :
a.    Keterangan saksi;
b.    Keterangan ahli;
c.     Surat;
d.    Petunjuak;
e.    Keterangan terdakwa.

Ayat (2) hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pengertian hal-hal secara umum adalah suatu hal yang secara umum diketahui tentang suatu hal atau keadaan yang biasa lazim terjadi dalam penilaian masyarakat, hal demikian yang sudah diketahui umum tidak perlu dibuktikan, yang diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP.  Macam-macam alat bukti dahulu di atur dalam pasal 295 HIR, yang terdiri dari  sebagai berikut:
a.    Keterangan saksi;
b.    Surat-surat;
c.     Pengakuan;
d.    Tanda-tanda (petunjuk).
Dalam pasal 184 KUHAP,  mengandung makna ketentuan yang membatasi hakim, penuntut umum, terdakwa, maupun penasehat hukum dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Tidak boleh sembarangan dalam menilai pembuktian dan terikat pada ketentuan maupun tata cara                                                                       penilian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Alat-alat bukti yang dipergunakan dalam persidangan maupun dalam mempertahankan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Pasal 184 KUHAP dapat dijelaskan sebagai berikut:

1)    Alat Bukti Keterangan Saksi.
Keterangan saksi adalah merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Syarat-syarat agar keterangan saksi dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagai berikut:
a.    Harus mengucapkan sumpah atau janji (pasal 160 ayat (3) KUHAP). Pada prinsipnya sumpah diucapkan sebelum memberi keterangan. Pasal 160 (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberi keterangan.
b.    Keterangan Saksi yang bernilai sebagai bukti. Berdasarkan pasal 1 angka 27, keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti ialah keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana :
1. Yang didengar sendiri oleh saksi;
2.Yang dilihat sendiri oleh saksi;
3. Yang dialami sendiri oleh saksi;
4. Menyebut alasan dari pengetahuannya.
c.      Testimonium de auditu (mendengar orang lain tidak bernilai sebagai alat bukti). Pendapat atau rekaan dari hasil pemikiran saksi bukan merupakan alat bukti dan tidak bernilai sebagai alat bukti. Kadangkala dalam praktek pemeriksaan pertanyaan penyidik kepada seorang saksi sudah dimulai dengan bagaimana pendapat saudara dan seterusnya, pertanyaan seperti itu jelas keliru karena saksi tidak boleh bependapat,  yang berpendapat adalah ahli.
d.    Keterangan saksi dalam penyidikan sebagai bahan dasar keterangan saksi di pengadilan. Keterangan saksi dalam  berita acara pemeriksaan pada saat penyidikan harus diulang dan dipertahankan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai keterangan saksi di sidang pengadilan. Tidak ada salahnya jika Jaksa Penuntut Umum membacakan kembali keterangan-keterangan saksi yang penting dan mendukung surat dakwaan  dalam berita acara pemeriksaan  dalam berkas perkara.
e.    Keterangan seorang saksi tidak cukup, tanpa didukung alat bukti yang lain, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan tersangka/terdakwa. Agar dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, maka keterangan satu orang saksi harus ditambah dengan alat bukti yang lain yaitu keterangan ahli, surat, pentunjuk atau keterangan terdakwa, dengan ketentuan antara alat bukti tersebut harus saling bersesuaian dan saling menguatkan. Keterangan satu orang saksi tanpa didukung oleh alat bukti yang lain, maka alat bukti tunggal tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menentukan kesalahan tersangka/terdakwa. (unus testis nullus testis). Timbul suatu pertanyaan bagaimana kalau saksi hanya dua orang saja, yang keterangannya saling bersesuaian dan menguatkan tanpa didukung oleh alat bukti keterangan ahli, surat petunjuk dan terdakwa menyangkal. Apakah dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah untuk menentukan kesalahan tersangka/ terdakwa. Dalam praktek, keterangan  dua orang saksi yang saling bersesuaian dan menguatkan, dapat diterima oleh hakim sebagai alat bukti untuk menentukan kesalahan terdakwa.

2)    Cara pembuktian keterangan saksi yang bernilai pembuktian :
-       Keterangan antara saksi satu dengan yang lainnya saling  bersesuaian dan menguatkan bukan bertentangan dan berdiri sendiri-sendiri.
-       Alasan saksi memberi keterangan, pada saat saksi memberi keterangan sesuatu peristiwa atau keadaan tertentu yang tidak pasti, seorang saksi dalam memberi keterangan tidak boleh ragu-ragu, keterangan saksi harus sungguh-sungguh yang dialami sendiri, dilihat sendiri atau didengar sendiri.
-       Latar belakang kehidupan saksi, untuk mengetahui latar belakang kehidupan saksi, perlu untuk mengetahui apakah ada pengaruh dengan faktor-faktor kepribadian misalnya suka bohong, pemabuk dan lain-lain terhadap keterangan yang berikan.
-       Pada saat penyidikan, keterangan saksi diberikan dengan mengucapkan sumpah, jika tidak hadir di sidang keterangannya dibacakan dan keterangan saksi tersebut mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah.
-       Keterangan saksi diberikan dengan mengucapkan sumpah.
Suatu kesaksian agar mempunyai kekuatan sebagai alat bukti, maka harus memenuhi  syarat  sebagai berikut, antara lain :      
a.    Syarat  obyektif :
-    idak boleh bersama-sama sebagai terdakwa;
-    tidak boleh ada hubungan keluarga;
-   mampu bertanggung jawab, yakni sudah berumur 15 tahun atau sudah pernah kawin dan tidak sakit ingatan.

b. Syarat  formal:
-    kesaksian harus diucapkan dalam sidang;
-    kesaksian tersebut harus diucapkan di bawah sumpah;
-     tidak dikenakan asas unus testis nulun testis.

c.    Syarat  subyektif/material:
-    saksi menerangkan apa yang ia lihat, ia ketahui, ia dengar dan ia alami  sendiri;
-    dasar-dasar atau alasan mengapa saksi tersebut melihat, mendengar dan mengalami sesuatu yang diterangkan tersebut.

3)    Alat Bukti Keterangan Ahli
Keterangan ahli adalah keterangan yan diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus, tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan yang di atur dalam asal 1 angka 28 KUHAP.
Dalam pasal 120 KUHAP bahwa, dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Ahli mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik, bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya  yang  sebaik-baiknya  kecuali  apabila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan menyimpan  rahasia  dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
Pasal 133 KUHAP, dalam hal penyidik untuk kepentingan   peradilan menangani seorang koban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Mayat dikirm kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Menurut Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE-003/J.A./2/1984, pemeriksaan ahli terhadap otentikasi tanda tangan dan tulisan yang akan digunakan sebagai alat bukti tentang suatu peristiwa pidana, telah disepakati oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonsia dan Kepala Kepolisian Rpublik Indonesia sebagai berikut:
a.    Untuk tindak pidana umum dan tindak pidana khusus  keterangan ahli otentikasi diberikan oleh Laboratorium  Kriminal Mabes Polri;
b.    Untuk tindak pidana militer, keterangan ahli otentikasi diberikan oleh Laboratorium Kriminal POM ABRI;
c.     Untuk perakara yang bersifat koneksitas dapat diberikan oleh salah satu  Laboratorium Kriminal berdasarkan kesepakatan  antara unsur penegak hukum yang duduk dalam team untuk perakara  koneksitas.                                                  
Pasal 179 KUHAP, setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Dalam memberikan keterangan dengan mengucapkan sumpah atau janji dan memberikan keterangan yang  sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Dari pengaturan tentang keterangan ahli tersebut dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut :
1.    Permintaan keterangan ahli dilakukan pada tahap penyidikan :
-       Penyidik meminta keterangan ahli dan untuk itu ahli membuat "Laporan hasil pemeriksaan" misalnya; Visum et Repertum, laporan Audit. Dibuat dengan mengingat sumpah waktu menerima jabatan atau pekerjaan.  Laporan ahli tertentu sudah mempunyai sifat dan nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
-       Laporan hasil pemeriksaan dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan Ahli.
2.    Keterangan ahli diberikan di sidang pengadilan.
Apabila dianggap perlu dan dikehendaki baik oleh hakim ketua sidang karena jabatan, maupun atas permintaan Jakasa Penuntut Umum, terdakwa atau penasihat hukum, dapat meminta pemeriksaan keterangan ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.
Bentuk keterangan ahli menurut tata cara ini berbentuk "keterangan lisan" dan "secara langsung" diberikan oleh yang bersangkutan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.
Bentuk keterangan lisan secara langsung dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang pengadilan oleh panitera, dan    untuk itu ahli yang memberi keterangan lebih dulu mengucapkan sumpah atau janji sebelum ia memberikan keterangan.
Jadi dalam tata cara dan bentuk keterangan ahli di sidang pengadilan tidak dapat diberikan hanya berdasar sumpah atau janji pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Tapi harus mengucapkan sumpah atau janji di sidang pengadilan sebelum ia memberikan keterangan.
Dengan  dipenuhinya tata cara dan bentuk keterangan yang demikian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sekaligus keterangan ahli yang seperti ini mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
3.    Keterangan ahli sebagai alat bukti
a.    Keterangan seorang ahli yang mempunyai keahlian khusus.
b.    Keterangan ahli diperlukan untuk membuat terang perkara pidana yang  diperiksa sesuai dengan pengetahuannya.
4.    Dualisme alat bukti keterangan ahli tetap satu alat bukti:
a.    Keterangan ahli dalam bentuk "Laporan" dapat dikategorikan alat bukti surat (Pasal 187 c KUHAP).
b.    Keterangan  ahli  secara  lisan  dan  langsung  baik dalam  berita acara penyidik maupun keterangan dalam sidang pengadilan.

4)    Alat Bukti Surat.
Dalam pasal 187 KUHAP surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a.    Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b.    surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c.     surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;
d.    surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Yang dimaksud dengan surat dalam pasal 187 huruf a KUHAP adalah: surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang untuk  jabatan”, misalnya berita acara yang dibuat oleh seorang penyidik; surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, sesuai dengan ketentuan undang-undang, misalnya paspor, surat ijin mendirikan bangunan,  surat kartu penduduk, surat ijin mengemudi, surat yang dibuat oleh seorang notaris dan sebagainya, yang kesemuanya bernilai sebagai alat bukti surat.
Macam-macam surat dapat dibedakan, adalah:
-      Surat biasa;
-      Surat otentik;
-      Surat dibawah tangan.
Jika macam-macam surat tersebut dihubungkan dengan ketentuan pasal 187 KUHAP,  maka Pasal 187 huruf a, b dan c KUHAP termasuk surat otentik dan pasal 187 huruf d termasuk surat biasa. Nilai kekuatan pembuktian dalam hukum acara perdata surat autentik atau surat dalam bentuk resmi sebagaimana tersebut pasal 187 huruf a dan b KUHAP, dinilai sebagai alat bukti yang “sempurna”, dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat bagi hakim. Sedangkan dalam hukum acara pidana tidak mengatur secara khusus tentang nilai kekuatan pembuktian surat. Ditinjau dari segi teori dan di hubungkan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP dapat ditinjau, sebagai berikut:
1.    Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut dalam pasal 187 huruf a,b, dan c merupakan alat bukti yang “sempurna”. Sebab bentuk surat-surat di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, dan dibuat oleh pejabat yang berwenang yang memiliki nilai bukti yang sempurna. Oleh karena itu, alat bukti surat resmi mempunyai nilai “pembuktian formal  yang sempurna”, dari segi formal ini dititikberatkan dari sudut “teoritis” dikesampingkan oleh beberapa asas dan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP, yaitu adanya batas minimum pembuktian yang ditentukan oleh pasal 183 KUHAP.
2.    Ditinjau  dari segi materiil,  semua bentuk surat yang disebut dalam pasal 187 KUHAP “bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”. Nilai kekuatan pembuktian sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian saksi dan alat bukti  keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan yang “bersifat bebas”. Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktian, bebas untuk menggunakan atau menyingkirkan.
Dasar alasan ketidakterikatan atas alat bukti surat tersebut, didasarkan pada beberapa asas; antara lain :
a.    asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk  mencari kebenaran materiil atau “kebenaran sejati” (meteriel waarheid), bukan mencari kebenaran formal;
b.    asas keyakinan hakim, asas ini berhubungan erat dengan sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP.
c.     asas batas minimum pembuktian, ditinjau dari segi formal alat bukti surat (autentik) sebagai alat bukti  yang sah dan bernilai sempurna, akan tetapi kesempurnaan tidak berdiri sendiri, melainkan perlu bukti pendukung lainnya.  

5)    Alat Bukti Petunjuk
Dalam pasal 188  KUHAP, pengertiannya alat bukti petunjuk adalah sebagai berikut:
1.    Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2.    Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari; keterangan saksi;  surat; keterangan terdakwa.
3.    Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Alat bukti petunjuk diperlukan apabila alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum pembuktian yang dutentukan dalam pasal 183 KUHAP, alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri melainkan berhubungan dengan alat bukti lainnya. Alat bukti petunjuk dapat digambarkan sebagai alat bukti yang lahir dari kandungan  alat bukti yang lain, karena :
1.    Selamanya tergantung dan bersumber dari alat bukti yang lain;
2.    Alat bukti petunjuk baru diperlukan dalam pembuktian, apabila alat  bukti yang lain belum dianggap hakim cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Atau dengan kata lain,  alat bukti petunjuk baru dianggap mendesak mempergunakannya apabila upaya pembuktian dengan alat bukti yang lain belum mencapai batas minimum pembuktian;
3.    Oleh karena itu, hakim harus lebih dahulu berdaya upaya mencukupi pembuktian dengan alat bukti lain sebelum mempergunakan alat bukti petunjuk;
4.    Dengan demikian upaya mempergunakan alat bukti petunjuk baru diperlukan pada tingkat keadaan daya upaya pembuktian  sudah tidak mungkin diperoleh lagi dari alat bukti yang lain.
Nilai kekuatan pembuktian petunjuk sifat dan kekuatan pembuktian sama dengan  pembuktian keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti surat  sifat kekuatan pembuktian yang “bebas”. Hakim tidak terikat  atas kebenaran persesuaian oleh petunjuk, hakim bebas menilai dan mempergunakan dalam pembuktian.

6).  Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Adalah suatu keterangan terdakwa yang disampaikan di dalam sidang pengadilan. Keterangan terdakwa lebih luas dari pengakuan terdakwa. Pengakukan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban pembuktian, proses pemeriksaan dalam pembuktian selamanya tetap diperlukan sekalipun terdakwa mengaku, jaksa penuntut umum  tetap berkewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain, pengakuan terdakwa “bersalah“ sama sekali tidak  menghapuskan  pembuktian. Pasal 189 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa:
1.    Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang  tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;
2.    Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya;
3.    Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri;
4.    Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang lain.
Pengakuan terdakwa atau keterangan terdakwa bukan merupakan alat bukti yang sempurna, juga tidak memiliki pembuktian yang menentukan untuk menjatuhkan kesalahan terdakwa, melainkan perlu alat pembuktian yang lain. Dari ketentuan pasal 189 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut  keterangan terdakwa dapat dibagi  dua yaitu ;
a.    Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang pengadilan (The Confession Outside Court), asas ini menerangkan bahwa keterangan yang diberikan di luar sidang pengadilan tidak mempunyai nilai kekuatan alat bukti, melainkan dapat membantu dan menemukan alat bukti dalam persidangan.
b.    Keterangan terdakwa yang diberikan dalam sidang pengadilan, baru merupakan alat bukti. Keterangan  terdakwa  tersebut  berisi pernyataan   terdakwa tentang apa yang  ia diperbuat, apa yang ia lakukan  dan apa yang ia alami. 

6)    Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian ada beberapa ajaran yang berhubungan dengan teori  pembuktian,  dalam teori  dikenal  4 sistem pembuktian yaitu :
a.    Conviction in Time 
Sistem pembuktian Conviction in time adalah sistem pembuktian  yang mengajarkan dalam menentukan kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian pada ”keyakinan” hakim.
Hakim dalam menjatuhkan kesalahan terdakwa tidak terikat dengan alat bukti. Dari mana hakim menyimpulkan keyakinan yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan  terdakwa, dalam sistem ini tidak menjadi masalah.
Keyakinan boleh diambil dari alat bukti yang dihasilkan dalam persidangan atau tidak mempergunakan alat bukti yang ada dipersidangan. Hakim langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. 
Sekalipun kesalahan terdakwa telah cukupbukti, jika hakim tidak yakin maka terdakwa dapat dibebaskan, sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti dengan melihat alat-alat bukti yang sah, terdakwa  bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas dasar “keyakinan” hakim.
Sistem ini unsur subyektif sangat dominan. Sistem pembuktian conviction in time ini  dipergunakan dalam sistem peradilan juri, misalnya  di Inggris dan Amerika serikat.      
b.    Conviction in Raisone 
Sistem pembuktian Conviction in Raisone ini masih mendasarkan pada “keyakinan” hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa, akan tetapi hakim dibatasi.
Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa berdasar keyakinannya dan menguraikan alasan-alasan yang rasional (reasonable). Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar  alasan yang logis dan dapat diterima oleh akal, tidak semata-mata   berdasar keyakinan tanpa batas. Sistem pembuktian ini disebut dengan sistem pembuktian bebas.
c.     Sistem Pembuktian Secara Positif 
Sistem pembuktian positif ini menganut sistem pembuktian menurut undang-undang, yang berdasar pada alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang, keyakinan hakim tidak ikut berperan. Dalam menentukan kesalahan seseorang terdakwa didasarkan atas alat-alat bukti yang sah yang ditentukan dalam undang-undang, sudah cukup bagi hakim untuk menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Sistem ini, hakim seolah-olah sebagai robot dalam menjalankan undang-undang, hati nurani hakim tidak ikut dalam menentukan kesalahan terdakwa. Sistem pembuktian positif ini yang dicari adalah kebenaran formal, dan sistem pembuktian ini dipergunakan dalam hukumacara perdata.
d.    Sistem Pembuktian Secara Negatif 
Sistem pembuktian negatif (negatif wettelijk) ini merupakan sistem pembuktian positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (convictioan in time). Dalam sistem pembuktian secara negatif ini hakim dalam mentukan kesalahan terdakwa didasarkan pada alat-alat bukti yang sah yang ditentukan dalam undang-undang dan adanya keyakinan hakim. Terdapat dua komponen dalam sistem pembuktian negatif ini untuk menentukan kesalahan terdakwa, yaitu :
1.    pembuktian harus dilakukan menurut  cara dan dengan alat-alat  bukti yang sah menurut undang-undang;
2.    dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif” dan “subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa dan tidak ada yang dominan di antara kedua unsur tersebut.

7)    Sistem Pembuktian yang Dianut KUHAP.
Sistem pembuktian mana yang di anut oleh KUHAP diatur dalam pasal 183 KUHAP, yang berbunyi “hakim  tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekuramg-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.                                          
Dari pengertian tersebut dapat diuraikan tentang persyaratan untuk menyatakan seseorang bersalah menurut KUHAP, yaitu Sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah; hakim memperoleh keyakinan terjadinya tindak pidana dan  terdakwalah  yang melakukan. Dari uraian di atas jelaslah bahwa KUHAP mengatur sistem pembuktian “negatif wettelijk”.

8)    Penerapan dan Kecenderungan  Sistem Pembuktian KUHAP.
Dalam Pelaksanaan sistem pembuktian secara negatif dalam penegakan hukum di Indonesia baik masa HIR maupun setelah KUHAP berlaku, penerapan sistem pembuktian secara negatif sebagaimana diamanatkan dalam pasal 183 KUHAP, pada umumnya telah mendekati  makna dan tujuan pembuktian.