(Het
Herziene Indonesisch Reglement.)
Reglemen
tentang melakukan tugas kepolisian, mengadili perkara
perdata
dan penuntutan hukuman bagi bangsa Indonesia dan
bangsa
Timur Asing di Jawa dan Madura.
Teks Reglemen ini menurut kekuasaan
pada S. 1926-496 diumumkan lagi pada S. 1926-559. Perubahan penting diadakan
dalam teks itu: pada S. 1941-31 jo. 98, penyusunan secara baru tentang
penuntutan bagi orang yang bukan bangsa Eropa; pada S. 1941-32 jo. 98,
perbaikan pemeriksaan pendahuluan dalam perkara pidana terhadap orang Indonesia
dan bangsa Timur Asing. Bab VI diganti oleh dua yang baru. Selanjutnya teks itu
diumumkan lagi pada S. 1941-44.
Anotasi :
Dalam Reglemen Indonesia yang
Diperbarui (RIB) ini hanya dimuat hal-hal yang berkaitan dengan perkara
perdata; hal-hal yang menyangkut perkara pidana diatur dengan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana dan peraturan pelaksanaannya.
I.
HAL
MELAKUKAN TUGAS KEPOLISIAN
Bagian
2
Kepala
Desa Dan Semua Bawahan Polisi yang Lain.
Pasal
3.
Di bawah pengawasan dan perintah kepala distrik, kepala
desa wajib memelihara ketenteraman, keamanan umum dan ketertiban yang baik di
desanya. (IR. 1-11, 2, 5 dst., 13 dst., 22 dst., 25 dst.; Sv. 1.)
Pasal
4.
(1) Seminggu
sekali, pada hari yang ditentukan, kepala desa wajib menghadap kepala
distriknya untuk menyampaikan berita tentang hal-ihwal yang terjadi dalam
minggu yang telah lewat, sedapat-dapatnya secara tertulis, kalau tidak secara
lisan, kecuali kalau itu sudah diberitahukan terlebih dahulu menurut
peraturan-peraturan berikut pada bagian ini.
(2) Jika ada
halangan yang sah, maka kepala desa hendaknya menyuruh seorang pejabat
bawahannya sebagai penggantinya, atau jika pejabat yang demikian itu tidak ada,
seorang lain yang cakap.
(3) jika tugas
menghadap sekali seminggu amat berat bagi kepala desa di suatu tempat, maka
bupati boleh memberi kuasa kepada kepala distrik untuk menyuruh kepala desa itu
menghadap sekali empat belas hari atau sekali sebulan. (IR. 6, 10, 15, 21, 28,
30, 305-)
Pasal
5.
Kepala desa harus menjalankan perintah
atasannya dengan saksama. (IR. 2, 3, 25, 31, 36, 93; Sv. 1.)
Pasal
6
Ia wajib berusaha sedapat-dapatnya untuk mencegah
orang-orang, yang memakai senjata yang lain dari biasa atau lebih dari yang
biasa, berjalan bersama-sama, khususnya pada malam hari, jika orang-orang itu
rupanya mempunyai maksud terlarang, dan la harus memberitahukan segala hal yang
terjadi tentang itu kepada kepala distrik, (IR. 2, 3, 27.)
Pasal
7.
(1) Jika
ternyata perlu menurut pertimbangan bupati dan disetujui oleh residen, maka
kepala desa wajib mengadakan jaga malam di dalam desanya serta memanggil
sekalian penduduk desa yang baik untuk menjalankan tugas secara bergilir.
(2) Kepala desa
dilarang keras memberi kebebasan untuk tidak melakukan tugas, itu, kalau tidak
ada alasan yang sah. (IR. 3, 27.)
Pasal
8.
Jika ditemukan tubuh -anusia yang tampaknya mati, tetapi
rupanya masih bernyawa, maka haruslah dilakukan daya upaya dan penjagaan yang
sebaik-baiknya menurut keadaan, dan kalau dapat, segera diminta pertolongan
dokter. (IR. 2, 19, 69; Sv. 35 dst., 42.)
Pasal
9.
(1) Tubuh
manusia yang ditemukan dalam air, haruslah segera diangkat tanda kematian yang
pasti, dari situ, dan jika ia tidak memperlihatkan tanda-tanda kematian yang
pasti, haruslah diambil tindakan menurut cara yang sudah ditetapkan di atas.
(2) Daya upaya
dan penjagaan yang dimaksud di sini haruslah dilakukan dengan segera, walaupun
kepala desa atau bawahan polisi yang lain belum hadir di tempat itu.
Pasal
10.
Kalau ada kebakaran, kepala desa hendaknya melakukan
segala upaya untuk memadamkan api itu, dan ia wajib memberitahukan kebakaran
itu dengan segera kepada kepala distrik. (IR. 30.)
Pasal
11.
(1) Kepala desa
hendaklah menjaga baik-baik supaya penduduk desanya jangan memberi tempat
menginap kepada orang yang bukan penduduk desanya tanpa setahu dan seizinnya.
(2) Jika
kedapatan ada kejadian demikian maka kepala desa hendaklah mem beritahukan hal
itu dengan segera kepada kepala distrik. (IR. 2, 4 1 17, 21.)
Pasal
12.
Jika diminta, kepala desa harus menyimpan barang-barang
orang yang sedang dalam perjalanan dan bertanggung jawab atas barang-barang
yang dititipkan itu. (KUHPerd. 1694 dst.)
Pasal
13.
(1) Kepala desa
hendaklah berikhtiar supaya penduduk desanya tetap tenteram dan rukun serta
menjauhkan segala sesuatu yang dapat menyebabkan perselisihan dan perbantahan.
(2)
perselisihan kecil-kecil yang semata-mata menyangkut kepentingan-kepentingan
Penduduk desa saja, sedapat-dapatnya hendaklah diperdamaikannya dengan tidak
berpihak dan dengan mupakat orang tua-tua desa itu. (IR. 3, 14, 23, 130.)
Pasal
14.
Jika orang-orang yang berselisih itu tidak dapat
diperdamaikan, atau jika perselisihan itu begitu penting, sehingga patut
dikenakan hukuman atau ganti kerugian, maka kepala desa itu hendaklah
mengirimkan kedua belah pihak itu kepada kepala distrik.
Pasal
15.
(1) Kepala desa
hendaklah dengan saksama mencatat nama, pekerjaan dan sedapat-dapatnya umur
seluruh penduduk desanya dalam sebuah daftar atau lebih yang dipergunakan untuk
itu; demikian juga segala perubahan keadaan penduduk karena kelahiran,
perkawinan, kematian, kepergian dan sebab-sebab yang lain.
(2) Pada hari
menghadap yang sudah ditentukan, ia harus memberikan sehelai salinan daftar itu
kepada kepala distrik tentang hal-hal yang sudah terjadi sejak hari menghadap
yang terakhir. (IR. 11, 16 dst., 19, 29.)
Pasal
16.
Jika kepala desa sendiri tidak cakap menangani daftar
itu, maka haruslah diurusnya, supaya tugas itu dilaksanakan oleh petugas keagamaan
atau juru tulis desa. (IR. 15, 29.)
Pasal
17
(1) Tanpa
seizin kepala distrik, kepala desa tidak boleh mengizinkan siapa pun juga untuk
berdiam di desanya, kecuali jika dua orang yang dianggap terbaik di antara
penduduk desa itu menerangkan “bahwa yang hendak berdiam di antara mereka itu
dikenalnya sebagai orang baik dn tidak jahat. (IR. 24.)
(2) Perihal
orang yang diizinkan itu hendaklah dituliskan dalam daftar yang disebut pada
pasal 15. (IR. 11, 19.)
Pasal
18.
(1) Kepala
distrik hendaklah menjaga, supaya jangan ada seorang pun berdiam di luar
lingkungan desa tanpa mendapat izin darinya lebih dahulu; izin itu tidak akan
diberikannya, sebelum mendengar kepala desa yang bersangkutan. (IR. 24.)
(2) Jika
dianggap ada faedahnya atau perlunya diberi pemerintahan sendiri kepada
pedukuhan yang terjadi demikian, maka kepala distrik, sesudah mendengar kepala
desa yang bersangkutan, hendaklah mengemukakan hal itu dengan surat kepada
bupati, dan bupati hendaklah menyampaikan surat itu kepada residen dengan
menyatakan pendapatnya. (IR. 19, 30, 35; S. 1925-649.) tu
Pasal
19.
Kalau peraturan kedua pasal yang lalu tidak dapat
dilakukan karena keadaan tempat atau karena keadaan yang lain, maka sesuai
dengan perintah residen, bupati hendaklah berusaha sebaik-baiknya untuk
menghindarkan segala sesuatu yang tidak baik bagi pelaksanaan tugas kepolisian,
yang dapat terjadi karena penduduk tinggal bercerai-berai.
Pasal
20.
(1) Tentang
izin masuk dan izin bertempat tinggal bagi orang yang bukan bangsa Indonesia
asli, haruslah diperhatikan peraturan khusus pemerintah yang telah ada atau
yang akan diadakan. (IR. 2.)
(2) Peratuan
itu berlaku juga bagi bangsa Indonesia dan bangsa Timur Asing yang datang
bertempat tinggal di tanah partikelir. (KUHPerd. 624; S. 1880-150.)
Pasal
21.
(1) Dalam
distrik di tempat diadakan pejabat polisi di bawah kepala distrik, tetapi di
atas kepala desa, maka kepala desa itu akan menerima perintah kepala distrik
dengan perantaraan pejabat polisi itu; selanjutnya kepala distrik itu akan
menerima berita, rencana dan hal-hal lain yang harus dikirimkan kepadanya
menurut peraturan dalam bagian ini dengan perantaraan pejabat polisi itu.
(2) Walaupun
demikian, kepala desa itu wajibjuga menghadap sendiri kepada kepala distrik
menurut ketentuan pasal 4. (IR. 3, 5, 15, 17, 30.)
Pasal
22.
Umumnya kepala desa bertanggungjawab atas akibat buruk
dari kejadian-kejadian yang karena jabatannya patut dijaganya supaya jangan
terjadi atau harus dicegahnya, yaitu kalau penjagaan atau pencegahan itu ada
dalam lingkup kekuasaannya. (IR. 3, 26.)
Pasal
23.
Kepala desa hendaklah bermupakat dengan orang tua-tua
dalam desanya tentang segala urusan yang harus dimupakati menurut adat istiadat
Indonesia.
BAB
IX
HAL
MENGADILI PERKARA PERDATA YANG TERMASUK WEWENANG PENGADILAN NEGERI
Anotasi :
Segala
Pengadilan Kabupaten dihapus dg. UU I/Drt/1951.
Bagian
1
Pemeriksaan
Perkara Dalam Persidangan.
115, 116 dan 117 tidak dimuat lagi
karena Pengadilan Kabupaten ditiadakan oleh UU No. 1/Drt/I951 pasal 1 ayat (1)
huruf 9.
Pasal
118.
(1) Tuntutan
(gugatan) perdata yang pada tingkat pertama termasuk lingkup wewenang
pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat permintaan (surat gugatan) yang
ditandatangan oleh penggugat, atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada
ketua pengadilan negeri di tempat diam si tergugat, atau jika tempat diamnya
tidak diketahui, kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggalnya yang
sebenarnya. (KUHPerd. 15; IR. 101 .)
(2) Jika yang
digugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di daerah hukum
pengadilan negeri yang sama, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan
negeri ditempat salah seorang tergugat yang dipilih oleh penggugat. Jika yang
digugat itu adalah seorang debitur utama dan seorang penanggungnya maka tanpa
mengurangi ketentuan pasal 6 ayat (2) “Reglemen Susunnan Kehakiman dan
Kebijaksanaan mengadili di Indonesia”, tuntutan itu diajukan kepada ketua
pengadilan negeri di tempat tinggal debitur utama atau salah Seorang debitur
utama.
(3) Jika tidak
diketahui tempat diam si tergugat dan tempat tinggalnya yang sebernarnya, atau
jika tidak dikenal orangnya, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan
negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat, atau kalau
tuntutan itu tentang barang tetap, diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang
dalam daerah hukumnya terletak barang tersebut.
(4) Jika ada
suatu tempat tinggal yang dipilih dengan surat akta, maka penggugat, kalau mau,
boleh mengajukan tuntutannya kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah
hukumnya terletak tempat tinggal yang dipilih itu. (Ro. 95-11, 4′, 5′; KUHPerd.
24; Rv. 1, 99; IR. 133, 238.)
Pasal
119.
Ketua pengadilan negeri berkuasa memberi nasihat dan
bantuan kepada pengugat atau wakilnya dalam hal mengajukan tuntutan.
Pasal
120.
Jika penggugat tidak cakap menulis, maka tuntutan boleh
diajukan secara lisan kepada ketua pengadilan negeri; Ketua itu akan mencatat
tuntutan itu atau menyuruh mencatatnya. (IR. 101, 186 dst., 207, 209, 238.)
Pasal
120a.
(s.d.u. dg. S. 1935-102.)
(1) Jika
tuntutan itu berhubungan dengan perkara, pengadilan yang sudah diputuskan oleh
hakim desa, penggugat harus menyebutkan isi keputusan itu dalam tuntutannya;
kalau dapat, salinan keputusan itu hendaklah disertakan. (RO. 3a.)
(2) Pada waktu
atau sesudah tuntutan itu diterima atau pada waktu persidangan dimulai, ketua
pengadilan negeri akan mengingatkan penggugat mengenai kewajibnya, yang
diterangkan dalam ayat (1).
Pasal
121.
(1) Sesudah
surat tuntutan yang diajukan itu atau catatan yang dibuat itu didaftarkan oleh
panitera pengadilan dalam daftar untuk itu, maka ketua itu akan menentukan hari
dan jam perkara itu akan diperiksa di muka pengadilan negeri, dan memerintahkan
pemanggilan kedua belah pihak, supaya hadir pada yang ditentukan itu disertai
oleh saksi-saksi yang mereka kehendaki untuk diperiksa, dengan membawa segala
surat keterangan yang hendak dipergunakan. (IR. 237 v.)
(2) Ketika
memanggil si tergugat, hendaklah diserahkan juga sehelai salinan surat
tuntutan, dengan memberitahukan bahwa ia, kalau mau, boleh menjawab tuntutan
itu dengan surat. (IR. 123, 388 dst.)
(3) Perintah
yang disebut dalam ayat pertama itu dicatat dalam daftar yang disebut dalam
ayat itu, demikian juga pada surat tuntutan asli.
(4) (s.d.t. dg. S. 1927-248 jo 338.) Pencatatan
dalam daftar termaksud dalam ayat (1), tidak boleh dilakukan, kalau kepada
panitera pengadilan belum dibayar sejumlah uang, yang untuk sementara banyaknya
ditaksir oleh ketua pengadilan negeri menurut keadaan untuk biaya kantor
panitera pengadilan dan biaya panggilan serta pemberitahuan yang dilakukan
kepada kedua belah pihak dan harga meterai yang akan dipakai; uang yang dibayar
itu akan diperhitungkan kemudian.
Pasal
122.
Dalam menentukan hari persidangan, ketua hendaklah
mengingat jauhnya tempat diam atau tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat
pengadilan negeri bersidang, dan waktu antara hari pemanggilan kedua belah
pihak dan hari persidangan lamanya tidak boleh kurang dari tiga hari kerja,
kecuali jika perkara itu perlu benar lekas diperiksa dan hal itu disebutkan
dalam surat perintah itu. (IR. 118, 390, 391.)
Pasal
123.
(1) (s. d.
t. dg. S. 1932-13.) Kedua belah pihak, kalau mau, masing-masing boleh
dibantu atau diwakili oleh seseorang yang harus dikuasakannya untuk itu dengan
surat kuasa khusus, kecuali kalau pemberi kuasa itu sendiri hadir. Penggugat
dapat juga memberi kuasa itu dalam surat permintaan yang ditandatanganinya dan
diajukan menurut pasal 118 ayat (1) atau pada tuntutan yang dikemukakan dengan
lisan menurut pasal 120; dan dalam hal terakhir ini, itu harus disebutkan dalam
catatan tentang tuntutan itu.
(2) Pejabat
yang karena peraturan umum dari pemerintah harus mewakih negara dalam perkara
hukum, tidak perlu memakai surat kuasa khusus itu.
(3) Pengadilan
negeri berkuasa memberi perintah, supaya kedua belah pihak, yang diwakili oleh
kuasanya pada persidangan, datang menghadap sendiri.
Kekuasaan itu tidak berlaku bagi
Pemerintah (Gubernur Jenderal). (KUHPerd. 1793; Rv. 107, 788; IR. 118, 254;S.
1922-522.)
Pasal
124.
Jika penggugat tidak datang menghadap pengadilan negeri
pada halri yang ditentukan itu, meskipun ia dipanggil dengan sah, pula tidak
menyurub orang lain menghadap sebagai wakilnya, maka tuntutannya dianggap gugur
dan ia dihukum membayar biaya perkara; tetapi ia berhak mengajukan gugatannya
sekali lagi, sesudah membayar biaya tersebut. (RV. 77; IR. 85, 102, 122 dst,,
126.)
Pasal
125.
(1) Jika
tergugat, meskipun dipanggil dengan sah, tidak datang pada hari yang
ditentukan, dan tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, maka
tuntutan itu diterima dengan keputusan tanpa kehadiran (verstek), kecuali kalau
nyata bagi pengadilan negeri bahwa tuntutan itu melawan hak atau tiada
beralasan. (RV. 78; IR. 102, 122 d,t.)
(2) Akan tetapi
jika si tergugat, dalam surat jawabannya tersebut pada pasal 121, mengemukakan
eksepsi (tangkisan) bahwa pengadilan negeri tidak berkuasa memeriksa
perkaranya, maka meskipun ia sendiri atau wakilnya tidak datang, wajiblah
pengadilan negeri mengambil keputusan tentang eksepsi itu, sesudah mendengar
penggugat itu; hanya jika eksepsi itu tidak dibenarkan, pengadilan negeri boleh
memutuskan perkara itu.
(3) Jika
tuntutan diterima, maka keputusan pengadilan atas perintah ketua, harus
diberitahukan kepada si terhukum, dan harus diterangkan bahwa ia berhak
mengajukan perlawanan terhadap keputusan pula kepadanya, putusan tak hadir di
muka majelis pengadilan itu dalam waktu dan dengan cara yang ditentukan pada
pasal 129.
(4) Panitera
pengadilan negeri akan mencatat dibawah keputusan tak hadir itu siapa yang
diperintahkan menyampaikan pemberitahuan dan keterangan itu, baik dengan surat
maupun dengan lisan.
Pasal
126.
Dalam hal tersebut pada kedua pasal di atas ini,
pengadilan negeri, sebelum menjatuhkan keputusan, boleh memerintahkan supaya
pihak yang tidak datang dipanggil sekali iagi untuk menghadap pada hari
persidangan lain, yang diberitahukan oleh ketua dalam persidangan kepada pihak
yang datang; bagi pihak yang datang itu, pemberitahuan itu sama dengan
panggilan.
Pasal
127.
Jika seorang tergugat atau lebih tidak menghadap dan
tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, maka pemeriksaan perkara
itu akan ditangguhkan sampai pada hari persidangan lain, yang tidak lama
sesudah hari itu penangguhan itu diberitahukan dalam persidangan kepada pihak
yang hadir, dan bagi mereka pemberitahu,, itu sama dengan panggilan; sedang si
tergugat yang tidak datang, atas perintah ketua, harus dipanggil sekali lagi
untuk menghadap pada hari persidangan yang lain. Pada hari itulah perkara itu
diperiksa, dan kemudian diputuskan bagi sekalian pihak dengan satu keputusan,
yang terhadapnya tak boleh diadakan perlawanan keputusan tanpa kehadiran. (RV.
81.)
Pasal
128.
(1) Keputusan
hakim yang dijatuhkan dengan keputusan tanpa kehadiran, tidak boleh dijalankan
sebelum lewat empat belas hari sesudah pemberitahuan tersebut pada pasal 125.
(2) Jika sangat
perlu, atas permintaan penggugat, entah permintaan lisan entah permintaan
tertulis, ketua boleh memerintahkan supaya keputusan hakim itu dilaksanakan
sebelum lewat jangka waktu itu, entah dalam keputusan itu, sentah sesudah
keputusan itu dijatuhkan (RV. 82.)
Pasal
129.
(1) Tergugat
yang dihukum dengan keputusan tanpa kehadiran dan tidak menerima keputusan itu,
boleh mengajukan perlawanan.
(2) Jika
keputusan hakim itu diberitahukan kepada orang yang kalah itu sendiri, maka
perlawanan itu hanya boleh diterima dalam empat belas hari sesudah
pemberitahuan itu. Jika keputusan hakim itu diberitahukan bukan kepada orang
yang kalah itu sendiri, maka perlawanan itu boleh diterima sampai pada hari kedelapan
sesudah teguran tersebut pada pasal 196, atau dalam hal ia tidak menghadap
sesudah dipanggil dengan patut, sampai pada hari kedelapan sesudah dijalankan
surat perintah ketua tersebut pada pasal 197. (RV. 83.)
(3) Tuntutan
perlawanan itu diajukan dan diperiksa dengan cara biasa bagi perkara perdata.
(4) Jika
tuntutan perlawanan itu telah diajukan kepada pengadilan negeri, maka keputusan
hakim itu tak boleh dilaksanakan untuk sementara waktu, kecuali jika
diperintahkan menjalankannya walaupun ada perlawanan. .
(5) Jika kepada
tergugat dijatuhkan keputusan tanpa kehadiran untuk kedua kalinya, maka kalau
ia memajukan pula perlawanan terhadap keputusan tanpa kehadiran, perlawanannya
itu tidak akan diterima.
Pasal
130.
(1) Jika pada
hari yang ditentukan itu kedua belah pihak menghadap, maka pengadilan negeri,
dengan perantaraan ketuanya, akan mencoba memperdamaikan mereka itu. (IR. 239.)
(2) Jika
perdamaian terjadi, maka tentang hal itu, pada waktu sidang, harus dibuat
sebuah akta, dengan mana kedua belah pihak diwajibkan untuk memenuhi perjanjian
yahg dibuat itu; maka surat (akta) itu berkekuatan dan akan dilakukan sebagai
keputusan hakim yang biasa. (RV. 31; IR. 195 dst.)
(3) Terhadap
keputusan. yang demikian tidak diizinkan orang minta naik banding.
(4) Jika pada
waktu mencoba memperdamaikan kedua belah pihak itu perlu dipakai seorang juru
bahasa, maka dalam hal itu hendaklah dituruti peraturan pasal berikut.
Pasal
131.
(1) Jika kedua
belah pihak datang, tetapi tidak dapat diperdamaikan (hal ini harus disebutkan
dalam berita acara persidangan), maka surat yang diajukan oleh kedua pihak itu
harus dibacakan, dan jika salah satu pihak tidak mengerti akan bahasa yang
dipakai dalam surat itu, maka surat itu harus diterjemahkan ke dalam bahasa
pihak yang tidak mengerti itu oleh seorang juru bahasa yang ditunjuk oleh
ketua. (IR. 86, 103, 137.)
(2) Sesudah
itu, pengadilan negeri memeriksa penggugat dan tergugat, kalau perlu dengan
memakai seorang juru bahasa pula. (IR. 135, 186; S. 1858-15.)
(3) Juru bahasa
itu, jika ia bukan juru bahasa pengadilan negeri yang sudah disumpah, harus
disumpah di hadapan ketua, bahwa ia akan menerjemahkan apa yang harus
diterjemahkan itu dengan tulus.
(4) Pasal 154
ayat (3) berlaku juga bagi juru bahasa. (RV. 33, 47; IR. 284.)
Pasal
132.
Jika dianggap perlu oleh ketua demi kebaikan dan
keteraturan jalannya pemeriksaan perkara, maka pada waktu memeriksa perkara, ia
berhak untuk memberi nasihat kepada kedua belah pihak dan untuk menunjukkan
upaya hukum dan keterangan yang dapat mereka pergunakan.
Pasal
132a.
(s.d.t. dg. S. 1927-300.)
(1) Dalam
tiap-tiap perkara, tergugat berhak mengajukan tuntutan balik, kecuali: (RV.
244.)
1. bila
penggugat semula itu menuntut karena suatu sifat, sedang tuntutan balik itu
mengenai dirinya sendiri, atau sebaliknya; (KUHPerd. 383, 452, 1655 dst.)
2. bila
pengadilan negeri yang memeriksa tuntutan asal tak berhak memeriksa tuntutan
balik itu, berhubung dengan pokok perselisihan itu; (ISR. 136; RO. 95.)
3. dalam
perkara perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim. (IR. 207.)
(2) Jika dalam
pemeriksaan pada tingkat pertama tidak diajukan tuntutan balik, maka dalam
banding tak boleh lagi diajukan tuntutan itu.
Pasal
132b.
(s.d.t. dg. S. 1927-300.)
(1) Si tergugat
wajib memasukkan tuntutan balik ber-sama-sama dengan jawabannya, baik dengan
surat maupun dengan lisan. (Rv. 245.)
(2) Untuk
tuntutan balik itu berlaku pula peraturan-peraturan dalam bagian ini,
(3) Kedua
perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu keputusan hakim,
kecuali kalau pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara yang satu dapat
diselesaikan lebih dahulu daripada yang lain; dalam hal ini, kedua perkara itu
boleh diperiksa satu per satu, tetapi tuntutan asal dan tuntutan balik yang
belum diputuskan itu tetap diperiksa oleh hakim yang sama, sampai qatuhkan
keputusan terakhir. (Rv. 246.)
(4) Orang boleh
naik banding, jika banyaknya uang dalam tuntutan asal di. tambah uang dalam
tuntutan balik lebih daripada jumlah uang yang boleh diputuskan oleh pengadilan
negeri sebagai hakim yang tertinggi. (Rv. 247.)
(5) Bila kedua
perkara itu dipisahkan dan diputuskan sendiri-sendiri, maka harus dituruti
peraturan biasa tentang hak naik banding itu. (Rv. 247.)
Pasal
133.
Jika si tergugat dipanggil menghadap pengadilan negeri,
sedang menurut peraturan pasal 118 ia tak usah menghadap pengadilan negeri itu,
maka bolehlah ia meminta supaya hakim menyatakan diri tidak berwenang dalam hal
itu, asal saja permintaan itu diajukan dengan segera pada permulaan persidangan
hari pertama; permintaan itu tidak akan diperhatikan lagi, jika si tergugat
telah mengadakan suatu perlawanan lain. (Rv. 131; IR. 136, 191.)
Pasal
134.
Jika perselisihan itu adalah suatu perkara yang tidak
termasuk wewenang pengadilan negeri, maka pada sembarang waktu dalam
pemeriksaan perkara itu, boleh diminta supaya hakim mengaku tidak berwenang,
dan hakim itu pun, karena jabatannya, wajib pula mengaku tidak berwenang. (Rv.
132; IR. 136, 190.)
Pasal
135.
Jika tidak ada jawaban yang menyatakan hakim itu tidak
berwenang, atau jika jawaban demikian ada tetapi ditimbang tidak benar, maka
pengadilan negeri, sesudah mendengar kedua belah pihak, harus segeta memeriksa
dengan seksama dan adil kebenaran tuntutan yang dibantah itu dan sahnya
pembelaan terhadap tuntutan itu. (Rv. 47; IR. 131, 155 dst.)
Pasal
135a.
(s.d.t. dg. S. 1935-102.)
(1) Jika
tuntutan itu menyangkut perkara pengadilan yang sudah diputuskan oleh hakim
desa, maka Pengadilan negeri harus mengetahui keputusan itu, dan
sedapat-dapatnya juga alasan-alasannya.
(2) Jika
tuntutan itu menyangkut perkara pengadilan yang belum diputuskan oleh hakim
desa, sedang pengadilan negeri memandang ada faedahnya perkara itu diputuskan oleh
hakim desa, maka hal itu diberitahukan oleh ketua kepada penggugat dengan
memberikan selembar surat keterangan; pemeriksaan perkara itu lantas diundurkan
sampai pada hari persidangan berikut, yang akan ditetapkan oleh ketua, kalau
perlu atas kuasa jabatannya.
(3) Jika hakim
desa telah menjatuhkan keputusan, maka bila penggugat menghendaki pemeriksaan
itu dilanjutkan, haruslah ia memberitahukan isi keputusan itu kepada pengadilan
negeri, sedapat mungkin dengan memberikan salinannya; sesudah itu, barulah
pemeriksaan perkara itu dilanjutkan.
(4) Jika dua
bulan sesudah penggugat mengajukan perkaranya hakim desa belum juga menjatuhkan
keputusan, maka atas permintaaan penggugat, perkara itu akan diperiksa kembali
oleh pengadilan negeri.
(5) Jika penggugat,
menurut pertimbangan hakim, tidak dapat memberi cukup alasan yang dapat
diterima tentang penolakan hakim desa untuk menatuhkan keputusan, maka hakim
itu harus meyakini keadaan itu karena jabatan.
(6) Jika
ternyata bahwa penggugat tidak membawa perkara itu kepada hakim desa, maka
gugatannya dianggap gugur. (RO. 3a.)
Pasal
136.
Eksepsi (tangkisan) yang dikemukakan oleh si tergugat,
kecuali tentang hal hakim tidak berwenang, tidak boleh dikemukakan dan
ditimbang sendirisendiri, melainkan harus dibicarakan dan diputuskan
bersama-sama dengan pokok perkara. (Rv. 135 dst.; IR. 133 dst.)
Pasal
137.
Masing-masing pihak boleh menuntut untuk melihat surat
keterangan Pihak lawannya, yang harus diserahkan kepada hakim untuk maksud itu.
(IR. 137.)
Pasal
138.
(1) Jika salah
satu pihak membantah kebenaran surat keterangan yang diserahkan pihak lawannya,
maka pengadilan negeri boleh memeriksa hal itu; sesudah pemeriksaan itu, harus
diputuskannya, apakah surat itu boleh dipakai atau tidak.
(2) Jika ternyata
bahwa dalam pemeriksaan itu perlu digunakan surat yang dipegang oleh penyimpan
umum, maka pengadilan negeri akan memerintahkan supaya surat itu diperlihatkan
kepada pengadilan negeri di persidangan yang perkara itu akan ditentukan untuk
itu.
(3) jika ada
keberatan untuk memperlihatkan surat itu, baik karena sifat surat itu, maupun
karena jauhnya tempat tinggal penyimpan itu, maka pengadilaii negeri akan
memerintahkan, supaya pemeriksaan itu dijalankan oleh pengadilan negeri atau
oleh kepala pemerintahan setempat (asisten-residen) di tempat tinggal Si
penyimpan itu, atau supaya surat itu dikirimkan kepada ketua itu menurut cara
yang akan ditentukan olehnya. Pengadilan negeri tersebut terakhir atau kepala
pemerintahan setempat itu harus membuat beiita acara pemeriksaan itu dan
mengirimkannya kepada pengadilan negeri tersebut pertama.
(4) Si
penyimpan yang tanpa alasan yang sah tidak menaati perintah untuk
memperlihatkan atau mengirimkan surat itu, boleh dipaksa dengan paksaan badan
untuk memperlihatkan atau mengirimkan surat itu, yaitu atas permintaan pihak
yang berkepentingan dan atas perintah ketua pengadilan negeri yang wajib
memeriksa surat itu atau perintah kepala pemerintahan setempat
(asisten-residen) yang diminta untuk menjalankan pemeriksaan itu.
(5) Jika surat
itu tidak menjadi bagian sebuah daftar, maka penyimpan sebelum memperlihatkan
atau mengirimkannya, harus membuat salinannya sebagai pengganti surat asli
selama surat itu belum diterima kembali. Di bawah salinan itu oleh si penyimpan
harus dicatat sebab salinan itu dibuat, dan pada grosse dan salinan yang akan
diberikan dari surat itu harus disebut catatan itu.
(6) Semua biaya
untuk itu harus dibayar kepada si penyimpan oleh pihak yang mengajukan surat
yang dibantah itu, banyaknya biaya itu ditaksir oleh ketua pengadilan negeri
yang memutuskan perkara itu.
(7) Jika
pemeriksaan tentang surat yang diajukan itu menimbulkan dugaan bahwa surat itu
dipalsukan oleh orang yang masih hidup, maka pengadilan negeri akan menjalankan
segala surat perkara kepada pejabat yang berkuasa menuntut kejahatan itu.
(8) Perkara
yang diajukan ke pengadilan negeri, ditangguhkan dulu sampai diambil keputusan
mengenai perkara pidana itu. (Rv. 148 dst., 165; Sv. 231 dst.)
Pasal
139.
(1) Jika
penggugat menghendaki kebenaran tuntutannya diteguhkan denngan saksi, atau
tergugat menghendaki kebenaran perlawanannya diteguhkan saksi, tetapi saksi itu
tidak dapat dibawa menurut peraturan pasal 121 karena tidak mau menghadap atau
karena sebab lain, maka pengadilan negeri harus menentukan hari persidangan
lain untuk memeriksa saksi, dan harus menyuruh seorang pegawai yang berwenang
untuk memanggil saksi yang tidak mau menghadap itu.
(2) panggilan
serupa disampaikan juga kepada saksi yang menurut perintah yang diberikan
karena jabatannya akan diperiksa oleh pengadilan negeri. (Sv. 133; IR. 116,
392.)
Pasal
140.
(1) Jika saksi
yang dipanggil dengan cara demikian juga tidak datang pada hari yang
ditentukan, maka ia harus dihukum oleh pengadilan negeri untuk membayar segala
biaya yang telah dikeluarkan dengan sia-sia. (KUHP 522.)
(2) la harus
dipanggil sekali lagi atas biaya sendiri. (Rv. 184; Sv. 134; IR. 116, 142, 143,
149, 260, 263.)
Pasal
141.
(1) Jika saksi
yang dipanggil sekali lagi itu tidak juga datang, maka ia harus dihukum sekali
lagi membayar biaya yang dikeluarkan dengan sia-sia itu, dan mengganti segala
kerugian yang diderita kedua pihak karena ia tidak datang. (KUHPerd. 1366; IR.
143.)
(2) Tambaban
lagi, ketua dapat memerintahkan, supaya saksi yang tidak datang itu dibawa
polisi menghadap pengadilan negeri untuk memenum kewajibann-a. (Rv. 185; IR.
116, 142, 149, 261, 263.)
Pasal
142.
Jika saksi yang tidak datang itu menerangkan, bahwa ia
tidak dapat memenuhi panggilan itu karena alasan yang sah, maka sesudah
diterangkannya hal itu, pengadilan negeri wajib meghapuskan hukuman yang
ddatuhkan kepadanya. (Rv. 187; Sv. 135; IR. 116, 140 dst.)
Pasal
143.
(1) Siapa pun
tidak boleh dipaksa menghadap pengadilan negeri untuk memberikan kesaksian
dalam perkara perdata, jika pengadilan berkedudukan di luar keresidenan tempat
saksi itu berdiam atau bertempat tinggal.
(2) Jika saksi
yang demikian dipanggil, tapi tidak datang, maka tidak boleh ia dihukum karena
itu, pemeriksaan harus dilimpahkan kepada pengadilan negeri (atau mahkamah
pengadilan Indonesia yang setingkat), yang dalam daerah hukumnya saksi itu
berdiam atau tinggal dan majelis itu wajib segera mengirimkan berita acara
pemeriksaan itu kepada pengadilan negeri yang memeriksa perkara itu. (Sv. 57;
IR. 140 dst.)
(3) Pelimpahan
yang demikian boleh juga langsung dilakukan tanpa harus memanggil saksi itu
lebih dulu. (RO. 33.)
(4) Berita
acara itu dibacakan dalam persidangan.
Pasal
144.
(1) Saksi-saksi
yang datang pada hari yang ditentukan itu dipanggil ke dalam ruang sidang
seorang demi seorang.
(2) Ketua akan
menanyakan nama, pekerjaan, umur, dan tempat berdiam atau tempat tinggal
masing-masing saksi, ia akan menanyakan pula, adakah mereka berkeluarga sedarah
atau semenda dengan salah satu atau kedua belah pihak, dan jika benar demikian,
dalam derajat keberapa; selain itu, akan ditanyakannya pula, adakah mereka
menjadi pembantu salah satu pihak. (Rv. 177; Sv. 139; IR. 122, 265.)
Pasal
145.
(1) yang tidak
boleh didengar sebagai saksi adalah:
1.
keluarga sedarah dan keluarga semenda salah satu pihak dalam garis lurus;
2. istri
atau suami salah satu pihak, meskipun sudah bercerai;
3.
anak-anak yang umumnya tidak dapat diketahui pasti, bahwa mereka sudah berusia
Lima belas tahun;
4. orang
gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang.
(2) Akan tetapi
keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi dalam
perkara tentang keadaan menurut hukum perdata kedua pihak yang berperkara atau
tentang suatu perjanjian kerja.
(3) Orang
tersebut dalam pasal 146 pada nomor 10 dan 20, tidak
berhak mengundurkan diri dari tugas memberi kesaksian dalam perkara tersebut
dalam ayat di atas ini.
(4) Pengadilan
negeri berkuasa untuk melakukan pemeriksaan tanpa sumpah terhadap anak-anak
tersebut pada ayat pertama atau orang gila yang kadangkadang ingatannya terang;
tetapi keterangan mereka itu hanya boleh dipandang sebagai pewelasan saja.
(KUHPerd. 1910, 1912; Sv. 145, 147, 149; IR. 274, 278,)
Pasal
146.
(1) yang boleh
mengundurkan diri dari memberi kesaksian adalah: (KUHPerd. 1909; Sv. 145, 148;
IR. 148, 274.)
1.
saudara dan ipar dari salah satu pihak, baik laki-laki maupun perempuan;
2.
keluarga sedarah dalam garis lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari
suami atau istri salah satu pihak;
3.
sekalian orang yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya yang sah,
diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal yang
diberitahukan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya itu. (IR.
277.)
(2) Pengadilan
negerilah yang akan menimbang benar tidaknya keterangan seorang, bahwa ia
diwajibkan menyimpan rahasia. (Sv. 148; IR. 149, 277.)
Pasal
147.
Jika saksi itu tidak mengundurkan diri dari tugas memberi
kesaksian, atau jika pengundurannya dinyatakan tidak beralasan, maka sebelum
memberi keterangan, ia harus disumpah menurut agamanya. (KUHPerd. 1991; Rv. 177
dst.; Sv. 139; IR. 88, 109, 144, 148, 265, 299, 381; S. 1920-69.)
Pasal
148.
Kecuali dalam hal tersebut pada pasal 146, jika seorang
saksi menghadap persidangan tetapi enggan disumpah atau enggan memberi
keterangan, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan, -ketua boleh
memberi perintah, supaya saksi itu disandera atas biaya pihak yang
berkepentingan itu, sampai saksi itu memenuhi kewajibannya. (Rv. 186; Sv. 53,
156; IR. 147, 262 dst.; S. 1920-69.)
Pasal
149
Jika saksi yang dipanggil itu termasuk bangsa Eropa, maka
hukuman tersebut dalam pasal 140 dan dalam pasal 141 ayat (1), perintah
tersebut dalam pasal 141 ayat (2), serta keputusan tersebut pada pasal 146 ayat
penghabisan, dijatuhkan oleh ketua sendiri tanpa bantuan hakim anggota bangsa
Indonesia. (IR. 263, 277.)
Pasal
150.
(1) Pertanyaan
yang ingin diajukan oleh salah satu pihak kepada saksi, hmm diberitahukan
kepada ketua.
(2) Jika di
antara pertanyaan itu ada yang tidak berguna dalam perkara itu menurut
pertimbangan pengadilan, maka pertanyaan itu tidak boleh diajukan kepada saksi.
(3) Atas
kemauannya sendiri, hakim boleh mengajukan kepada saksi itu semua pertanyaan
yang ditimbangnya berguna untuk mencapai kebenaran. (Rv. 171 dst.; Ig. 86, 103,
122, 151 dst., 268.)
Pasal
151.
Penuturan pada pasal 284 dan 285
tentang saksi dalam perkara pidana, berlaku juga dalam hal ini. (IR. 150.)
Anotasi: pasal-pasal tersebut berbunji
sebagai berikut:
Pasal
284.
(1) Jika
tertuduh atau saksi tidak paham akan bahasa yang digunakan dalam pemeriksaan
pengadilan itu, maka ketua harus mengangkat seorang juru bahasa, dan menyuruh
dia bersumpah – kalau ia bukan juru bahasa pengadilan negeri yang memang sudah
disumpah – akan menerjemahkan dengan benar apa yang harus diterjemahkan dari
satu bahasa ke bahasa lain.
(2) Barang
siapa yang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara, juga tidak boleh
menjadi juru bahasa dalam dalam perkara itu.
Pasal
285.
(1) Jika
tertuduh itu bisu-tuli dan tidak pandai menulis, maka ketua harus mengangkat
orang yang pandai bergaul dengan tertuduh itu sebagai juru bahasa, asal saja
orang itu sudah cukup umur untuk menjadi saksi.
(2) Demikian
pula harus diperbuat, jika seorang saksi bisu-tuli dan tidak pandai menulis.
(3) Jika yang
bisu-tuli itu pandai menulis, maka ketua harus menyuruh menuliskan semua pertanyaan
atau teguran kepadanya, dan menyuruh menyampaikan tulisan itu kepada tertuduh
atau saksi yang bisu-tuli itu, dengan perintah untuk menuliskanjawabannya;
kemudian semuanya harus dibacakan.
(4) Peraturan
pasal ini berlaku juga bag orang yang untuk sementara tidak dapat mendengar
atau bicara.
Pasal
152.
Keterangan saksi yang diperiksa dalam suatu persidangan
dicatat dalam berita acara persidangan itu oleh panitera pengadilan. (Rv. 209;
Sv. 141, 176; IR. 150, 186, 322.)
Pasal
153.
(1) Jika dipandang
perlu atau berfaedah, ketua boleh mengangkat satu atau dua komisaris dari dewan
itu, yang dengan bantuan panitera pengadilan akan melihat tempat atau
merupakanan pemenksaan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan bagi hakim.
(2) Panitera pengadilan
hendaklah membuat berita acara tentang pekerjaan itu dan hasilnya; berita acara
itu harus ditandatangani oleh komisaris dan panitera pengadila itu. (Rv. 211
dst.; IR. 190.)
Pasal
154.
(1) Jika
pengadilan negeri menganggap perkara itu dapat menjadi lebih terang kalau
diperiksa atau dilihat oleh ahli, maka ia dapat mengangkat ahli itu, baik atas
permintaan kedua pihak, maupun karena jabatannya. (Rv. 215 dst.; IR. 190.)
(2) Dalam hal
demikian, akan ditentukan hari persidangan, supaya pada hari itu ahli itu
memberi laporan, baik dengan surat maupun dengan lisan, dan meneguhkan laporan
itu dengan sumpah. (Rv. 217, 225.)
(3) Orang yang
tak boleh didengar sebagai saksi tidak boleh diangkat jadi ahli (Rv. 218; IR.
131, 145 dst.)
(4) Pengadilan
negeri sama sekali tidak wajib menuruti pendapat ahli itu, jika pendapat itu
berlawanan dengan keyakinannya. (Rv. 229; IR. 138; S. 1858-15; S. 1866-108.)
Pasal
155.
(1) Jika
kebenaran tuntutan atau kebenaran pembelaan atas itu tidak cukup terbukti,
tetapi tidak pula sama sekali tidak terbukti dan tidak mungkin dengan upaya
pembuktian yang lain, maka pengadilan negeri, ka-na boleh menyuruh salah satu
pihak bersumpah di hadapan hakim, supaya dengen sumpah itu dapat diputuskan
perkara itu atau dapat ditentukan jumlah uang yang dikabulkan.
(2) Dalam hal
terakhir ini, pengadilan negeri harus menentukan jumlah uang yang dapat
dipercaya sebagai hak penggugat karena sumpahnya. (KUHPerd. 1940; IR. 135, 156
dst., 177, 381.)
Pasal
156.
(1) Sekalipun
tidak ada suatu barang bukti yang dibawa untuk meneguhkan tuntutan atau
perlawanan atas tuntutan itu, boleh juga salah satu pihak meminta pihak lain
bersumpah di hadapan hakim, supaya dengan sumpah itu dapat diputuskan perkara
itu, asal sumpah itu menyangkut suatu perbuatan yang dilakukan sendiri oleh
pihak yang kepada sumpahnya bergantung keputusan perkara itu. (KUHPerd. 1929,
1931; IR. 155, 157 dst., 177.)
(2) Jika
perbuatan itu satu perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, maka pihak
yang tidak mau bersumpah boleh mengembalikan sumpah itu kepada pihak lawannya.
(KUHPerd. 1933.)
(3) Barangsiapa
disuruh bersumpah tetapi enggan bersumpah atau enggan mengembalikan sumpah itu
kepada pihak lawannya, dan barangsiapa menyuruh bersumpah tetapi enggan
bersumpah sesudah sumpah itu dikembalikan kepadanya, harus dikalahkan.
(KUHPerd. 1932; Rv. 52.)
Pasal
157.
Sumpah itu, baik yang diperintahkan oleh hakim, maupun
yang dituntut atau dikembalikan oleh salah satu pihak kepada pihak lain, harus
diangkat sendiri, kecuali kalau pengadilan negeri karena alasan yang penting,
memberi izin kepada satu pihak untuk menyuruh bersumpah seorang wakilnya yang
dikuasakan untuk mengangkat sumpah itu; kuasa itu hanya boleh diberi dengan
akta otentik yang memuat sumpah yang akan diangkat itu secara tepat dan
lengkap. (KUHPerd. 1793, 1945; IR. 155 dst., 158; S. 1920-69.)
Pasal 158.
(1)
Pengangkatan sumpah itu hanya boleh dilakukan dalam persidangan pengadilan
negeri, kecuali jika hal itu tidak dapat dilangsungkan karena ada halangan yang
sah; dalam hal yang demikian, ketua pengadilan negeri boleh memberi kuasa
kepada salah seorang anggota, supaya dengan bantuan panitera pengadilan yang
akan membuat berita acara tentang hal itu, disumpahnya pihak yang berhalangan itu
di rumahnya. (KUHPerd, 1944; IR. 381.)
(2) Sumpah itu
hanya boleh diambil di hadapan pihak yang lain, atau sesudah pihak itu
dipanggil dengan sah. (KUHPerd. 1945; Rv. 52.)
Pasal
159.
(1) Jika suatu
perkara tidak dapat diselesaikan pada hari persidangan pertama, maka
pemeriksaan perkara itu diundurkan sampai pada hari persidangan lain, yang
sedapat-dapatnya tidak berapa lama kemudian, dan demikian juga seterusnya. (Rv.
25.)
(2) Pengunduran
itu harus diberitahukan dalam persidangan di hadapan kedua belah pihak; bagi
mereka keputusan itu berlaku sebagai panggilan.
(3) Jika salah
satu pihak yang datang pada hari persidangan pertama tak datang di persidangan
kemudian, pada waktu mana diperintahkan penangguhan yang baru, maka ketua
pengadilan wajib menyuruh memberitahukan kepada pihak itu, jalan persidangan
akan dilanjutkan. (Rv. 109.)
(4) Penangguhan
tidak boleh diberi alas permintaan kedua belah pihak, pula tidak boleh
diperintahkan oleh pengadilan negeri karena jabatannya kalau tidak perlu benar.
(Rv. 127; Sv. 133, 165; IR. 260.)
Pasal
160.
(1) Jika pada
waktu perkara ada suatu perbuatan yang harus dilakukan, sedang biayanya menurut
pasal 182 harus dibebankan kepada pihak yang kalah, maka ketua boleh
memerintahkan supaya salah satu pihak lebih dahulu membayar biaya itu di kantor
panitera pengadilan, tanpa mengurangi hak pihak yang lain untuk membayar dulu
atas kemauannya sendiri.
(2) Jika kedua
belah pihak enggan membayar dahulu dan percuma saia ketua memberi nasihat untuk
itu, maka perbuatan yang diperintahkan itu, kecuali jika diwajibkan oleh
undang-undang, tidak dilakukan dan pemeriksaan perkara diteruskan, kalau perlu
pada persidangan lain, yang akan ditetapkan oleh ketua dan diberitahukan kepada
kedua belah pihak.
Pasal
161.
(1) Jika
perkara itu sudah diselesaikan sedemikian rupa sehingga semua hal menjadi
jelas, entah dalam persidangan pertama, atau dalam persidangan kemudian, maka
pengadilan negeri menyuruh keluar kedua belah pihak, para saksi dan para
pendengar, lalu meminta pertimbangan penasihat, yang hadir pada waktu perkara
itu diperiksa dalam persidangan menurut pasal 7 “Reglemen susunan kehakiman dan
kebbaksanaan mengadili di Indonesia” (RO.). (RO; 7; Sv. 166; IR. 116.)
(2) Kemudian
diadakan permusyawaratan dan diambil keputusan menurut peraturan pasal 39 dan
40, “Reglemen Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan mengadili di Indonesia (RO.).
Bagian
2
Bukti.
Pasal
162.
Tentang bukti dan hal menerima atau menolak alat bukti
dalam perkara perdata, pengadilan negeri wajib memperhatikan peraturan pokok
tersebut di bawah ini. (IR. 293 dst.)
Pasal
163.
Barangsiapa mengaku mempunyai suatu hak, atau menyebutkan
suatu kejadian untuk meneguhkan hak itu atau untuk membantah hak orang lain,
harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. (KUHPerd. 1865.)
Pasal
164.
Alat-alat bukti, Yaitu:
–
bukti tertulis, (KUHPerd. 1867 dst.; IR. 165, 168; S. 1867-29.)
–
bukti saksi, (KUHPerd. 1895; IR. 168 dst.)
–
persangkaan, (KUHPerd. 1915; IR. 173.)
–
pengakuan, (KUHPerd. 1923 dst.; IR. 174 dst.)
–
sumpah, (KUHPerd. 1929 dst.; IR. 155 dst., 177, 381.)
semuanya dengan memperhatikan peraturan
yang diperintahkan dalam pasal-pasal berikut. (KUHPerd. 1866; JR. 295.)
Pasal
165.
Akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat oleh atau di
hadapan pegawai umum yang berwenang untuk membuatnya, mewujudkan bukti yang
cukup bagi kedua belah pihak dan ahli waris masing-masing serta sekalian orang
yang mendapat hak darinya tentang segala hal yang disebut di dalam surat itu
dan tentang hal yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan; tetapi
yang tersebut temkhir ini hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung
menyangkut pokok akta itu. (KUHPerd. 1868, 1870 dst.; Sv. 380 ; IR. 168, 304.)
Pasal
166
Dicabut dg. S. 1927-146.
Pasal
167.
(s.d.u. dg. S- 1927-146; S. 1938-276.) Untuk keuntungan siapa saja,
kepada pembukuannya dapat diberikan oleh pengadilan negeri sekian kekuatan
bukti, yang dianggapnya patut dalam tiap-tiap hal yang istimewa. (KUHD 7;
IR-304.)
Pasal
168.
Sampai diadakan penuturan lain tentang perkara-perkara
yang membolehkan penggunaan bukti saksi, pengadilan negeri harus tetap
menggunakan hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia dan bangsa Timur Asing
tentang hal itu.
Pasal
169.
Keterangan dari seorang saksi saja, tanpa suatu alat
bukti lain, tidak dapat dipercaya dalam hukum. (KUHPerd. 1905; Sv. 376; IR.
300.)
Pasal
170.
Jika kesaksian-kesaksian yang terpisah-pisah dan berdiri
sendiri dari beberapa orang tentang beberapa kejadian dapat meneguhkan perkara
tertentu karena kesaksian-kesaksian itu sesuai dan berhubungan satu sama lain,
maka kekuatan bukti hukum sepanjang yang akan diberikan kepada
kesaksian-kesaksian yang beraneka ragam itu, hal itu diserahkan kepada
pertimbangan hakim, berhubung dengan keadaan. (KUHPerd. 1905; Sv. 3’6; IR.
300.)
Pasal
171.
(1) Tiap-tiap
kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui
kesaksiannya.
(2) Pendapat
atau dugaan khusus yang timbul dari pemikiran, tidak dipandang sebagai
kesaksian. (KUHPerd. 1907; Sv. 376; IR. 301.)
Pasal
172.
Dalam hal menimbang nilai kesaksian itu, hakim harus
memperhatikan: cocoknya para saksi satu sama lain; kesesuaian
kesaksian-kesaksian mereka dengan apa yang diketahui dari sumber lain tentang
perkara yang bersangkutan; semua alasan para saksi untuk menerangkan duduk
perkaranya dengan cara begini atau begitu; peri kehidupan, adat istiadat dan
kedudukan para saksi; dan pada umumnya, segala hal yang dapat menyebabkan saksi
itu dapat dipercayai atau kurang dipercayai. (KUHPerd. 1908; Sv. 378; IR. 302.)
Pasal
173.
Dugaan-dugaan yang tidak berdasarkan suatu peraturan
undang-undang, hanya boleh diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan
keputusannya, jika dugan-dugaan itu penting, saksama, tertentu dan sesuai satu
sama lain. (KUHPerd. 1916, 1921 dst.; Sv. 370; IR. 294.)
Pasal
174.
Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim, cukup menjadi
bukti untuk memberatkan orang yang mengaku itu, entah pengakuan itu
diucapkannya sendiri, entah dengan perantaraan orang lain, yang diberi kuasa
kbusus. (KUHPerd. 1925; Rv. 256 dst., 383; IR. 176, 307.)
Pasal
175.
Menentukan gunanya suatu pengakuan lisan yang diberikan
di luar hukum, itu diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan hakim.
(KUHPerd. 1928; Sv. 387 dst.)
Pasal
176.
Tiap-tiap pengakuan harus diterima seluruhnya; hakim
tidak berwenang untuk menerima sebagian dan menolak sebagian lagi, sehingga
merugikan orang yang mengaku itu, kecuali jika seorang debitur dengan maksud
melepaskan dirinya, menyebutkan hal yang terbukti tidak benar. (KUHPerd. 1924;
IR. 174.)
Pasal
177.
Dari orang yang di dalam suatu sidang telah mengangkat
sumpah yang dibebankan atau dikembalikan kepadanya oleh lawannya atau
dibebankan kepadanya oleh hakim, tidak boleh diminta keterangan lain untuk
meneguhkan kebenaran sumpahnya. (KUHPerd. 1936; IR. 155 dst.)
Bagian
3
Musyawarah
Dan Keputusan Hakim.
Pasal
178.
(1) Pada waktu
bermusyawarah, hakim, karena jabatannya, wajib melengkapi segala alasan hukum
yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak. (RO. 39, 41; IR. 184.)
(2) Hakim itu
wajib mengadili semua bagian tuntutan.
(3) Ia dilarang
menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut, atau memberikan lebih
daripada yang dituntut. (Rv. 50.)
Pasal
179.
(1) Sesudah
diambil keputusan dengan mengingat peraturan di atas ini, maka kedua belah
pihak dipanggil masuk kembali dan keputusan hakim dimaklumkan oteh ketua di
hadapan umum. (RO. 40; Sv. 17 1; IR. 116, 186, 317.)
(2) Jika kedua
belah pitiak atau salah satu tidak hadir pada waktu keputusan itu dimaklumkan,
maka atas perintah ketua, keputusan hakim itu harus diberitahukan kepada pihak
yang tidak hadir itu oleh seorang pegawai yang dikuasakan untuk itu. (IR. 184,
192, 318, 388.)
(3) Pasal 125 ayat
terakhir berlaku dalam hal ini. (IR. 188.)
Pasal
180.
(1) Biarpun
orang membantah keputusan hakim atau meminta banding, pengadilan boleh
memerintahkan supaya keputusan hakim itu dijalankan dulu, jika ada suatu tanda
alas hak yang otentik atau suatu surat yang menurut peraturan boleh diterima
sebagai bukti, atau jika ada keputusan hukuman lebih dahulu dengan keputusan
hakim yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, atau jika dikabulkan
tuntutan sementara, pula dalam hal perselisihan tentang besit. (KUHPerd. 548
dst.; Rv. 53 dst.; IR. 181, 190; S. 1867-29.)
(2) Akan tetapi
hal menalankan keputusan hakim itu lebih dulu, sekali-kau tidak holeh diperluas
menjadi penyanderaan. (IR. 209 dst.)
Pasal
181.
(1) Barangsiapa
dikalahkan dengan keputusan hakim, akan dihukum pula membayar biaya perkara.
Akan tetapi biaya perkara itu semuanya atau sebagian boleh diperhitungkan
antara suami-istri, keluarga sedarah dalam garis lurus, saudara laki-laki dan
saudara perempuan, atau keluarga semenda dalam derajat yang sama; begitu pula
halnyajika masing-masing pihak dikalahkan dalam hal-hal tertentu,
(2) Pada
keputusan sementara dan keputusan lain yang mendahului keputusan terakhir,
pengambilan keputusan tentang biaya perkara boleh ditangguhkan sampai pada
waktu d@atuhkan keputusan terakhir. (Rv. 58; Sv. 41 1; IR. 180, 182 dst., 237
dst., 378.)
(3) Biaya
perkara yang diputuskan dengan keputusan tanpa kehadiran, hanis dibayar oleh
pihak yang dikalahkan, meskipun la menang perkara sesudah membantah atau
meminta banding, kecuali kalau pada waktu diperiksa bantahannya atau
bandingnya, ternyata bahwa ia tidak dipanggil dengan sah.
(4) Dalam hal
tersebut pada pasal 127, biaya panggilan ulang kepada tergugat yang tidak
datang, harus dibayar oleh tergugat itu, meskipun ia menang perkara, kecuali
jika pada waktu persidangan pertama, ia tidak dipanggil dengan sah.
Pasal
182.
(s.d. u. dg. S. 1927-248jo. 338.) Hukuman membayar biaya perkara
tidakboleh melebihi:
1. biaya
kantor panitera pengadilan dan biaya meterai, yang perlu dipakai dalam perkara
itu;
2. biaya
saksi, ahli dan juru bahasa, terhitung juga biaya sumpah mereka itu, dengan
pengertian, bahwa pihak yang minta supaya diperiksa lebih dari lima orang saksi
tentang satu kejadian tidak boleh menuntut pembayaran biaya kesaksian yang
lebih itu kepada lawannya;
3. biaya
pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang bersangkutan dengan
perkara itu;
4. gaji
pegawai yang disuruh melakukan panggilan, pemberitahuan dan segala surat juru
sita yang lain;
5. biaya
tersebut pada pasal 138 ayat (6);
6. gaji
yang harus dibayar kepada panitera pengadilan atau pegawai lain karena
menjalankan keputusan hakim; semuanya itu menurut peraturan dan tarif yang
telah atau akan ditetapkan oleh pemerintah (Gubernur Jenderal), atau jika itu
tidak ada, menurut taksiran ketua.
Pasal
183.
(1) Besamya
biaya perkara yang dibebankan kepada salah satu pihak, harus disebutkan pada
putusan hakim itu.
(2) Ketentuan
itu berlaku juga tentang jumlah biaya, kerugian dan bunga, yang harus dibayar
oleh satu pihak kepada yang lain menurut keputusan itu. (Rv. 607, 610.)
Pasal
184.
(1) Dalam
putusan hakim har-us dicantumkan ringkasan yangjelas dari tuntutan dan jawaban
serta dari alasan keputusan itu; begitu juga, harus dicantumkan keterangan
tersebut pada ayat (14) pasal 7 “Reglemen susunan kehakiman dan kebijaksanaan
mengadili di Indonesia”, keputusan pengadilan negeri tentang pokok perkara dan
besarnya biaya, serta pemberitahuan tentang hadir tidaknya kedua belah pihak
itu pada waktu dijatuhkan keputusan itu.
(2) Dalam
putusan hakim yang berdasarkan peraturan undang-undang yang pasti, peraturan
itu harus disebutkan. (RO. 7, 30 dst.; Rv. 61; Sv. 174; IR. 178 dst., 181 dst.,
185 dst., 319.)
(3) Putusan
hakim itu ditandatangani oleh ketua dan panitera pengadilan. (RO. 43; Sv.
174-71; IR. 116, 186 dst., 319-61.)
Pasal
185.
(1) Putusan
hakim yang bukan putusan terakhir, sekalipun harus diucapkan dalam persidangan,
tidaklah dibuat tersendiri, melainkan hanya dicatat dalam berita acara
persidangan.
(2) Tiap-tiap
pihak boleh meminta salinan-salinan otentik dari catatan itu atas biaya
masing-masing. (Rv. 48; Sv. 420; IR. 184, 186 dst.)
Pasal
186.
(1) Panitera
pengadilan harus membuat berita acara tiap-tiap perkara; apa yang terjadi dalam
persidangan, di dalam berita acara itu harus disebut pertimbangan tersebut pada
ayat (3) pasal 7 ,Reglemen susunan kedan keboaksanaan mengadili di Indonesia”.
Di dalam berita acara itu tidak boleh disebutkan apakah keputusan itu cwatuhkan
dengan suara terbanyak atau dengan suara bulat. (RO. 41, 63; Rv. 29; Sv. 141,
176; IR. 131, 179, 184, 192, 322.)
(2) Berita
acara itu ditandatangani oleh ketua dan panitera pengadilan. (Rv. 62; IR. 116,
185, 187, 322.)
Pasal
187.
(1) Jika ketua
tak dapat menandatangani keputusan hakim atau berita acara persidangan, maka
penandatanganan dilakukan oleh anggota yang ikut serta memeriksa perkara itu,
yang pangkatnya setingkat di bawah pangkat ketua.
(2). Jika Panitera
pengadilan tak dapat menandatangani keputusan atau berita acara persidangan
itu, maka hal itu harus disebutkan dengan tegas dalam berita acara persidangan
itu. (RO. 52; Rv. 63; IR. 184, 186, 322.)
Bagian
4
Banding.
Bagian ini tidak berlaku lagi; yang berlaku sekarang
mengenai perkara perdata adalah UU No. 20/1947, Bab III, Bagian 1, yang
berbunyi sbb.:
Pasal.
6
Dari putusan-putusan Pengadilan Negeri di Jawa dan Madura
tentang perkara perdata, yang tidak ternyata bahwa besarnya harga gugat ialah seratus
ruplah atau kurang, oleh salah satu dari pihak-pihak (partijen) yang
berkepentingan dapat diminta, supaya pemeriksaan perkara diulangi oleh
Pengadilan Tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing-masing.
Pasal
7
(1) Permintaan
untuk pemeriksaan ulangan harus disampaikan dengan tulisan atau dengan lisan
oleh peminta atau wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk memajukan permintaan
itu, kepada Panitera Pengadilan Negeri, yang menjatuhkan putusan, dalam empat
belas hari, terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan
kepada yang berkepentingan.
(2) Bagi
peminta yang tidak berdiam dalam karesidenan tempat Pengadilan Negeri tersebut
bersidang, maka lamanya tempo untuk meminta pemeriksaan ulangan dijadikan tiga
puluh hari.
(3) Jika ada
permintaan akan pemeriksaan ulangan tidak dengan biaya, maka tempo itu
dihitung mulai hari berikutnya hari pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi
atas permintaan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri.
(4) Permintaan
akan pemeriksaan ulangan tidak boleh diterima, jika tempo tersebut di atas
sudah lalu, demikian juga jika pada waktu memajukan permintaan itu tidak
dibayar lebih dahulu biaya, yang diharuskan menurut peraturan yang sah, biaya
mana harus ditaksir oleh Panitera Pengadilan Negeri tersebut.
Pasal
8.
(1) Dari
putusan Pengadilan Negeri, yang dijatuhkan di luar hadir tergugat, tergugat
tidak boleh minta pemeriksaan ulangan melainkan hanya dapat mempergunakan
perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama, akan tetapi jikalau penggugat
minta pemeriksaan ulangan, tergugat tidak dapat mempergunakan hak perlawanan
dalam pemeriksaan tingkat pertama.
(2) Jika, dari
sebab apa pun juga tergugat tidak dapat mempergunakan hak perlawanan dalam
pemeriksaan tingkat pertama, tergugat boleh meminta pemeriksaan ulangan.
Pasal
9.
(1) Dari
putusan Pengadilan Negeri yang bukan putusan penghabisan dapat dmmta pemenksaan
ulangan hanya bersama-sama dengan putusan penghabisan.
(2) Putusan,
dalam mana Pengadilan Negeri menganggap dirinya tidak berhak untuk memeriksa
perkaranya, dianggap sebagai putusan penghabisan.
Pasal
10.
(1) Permintaan
pemeriksaan ulangan yang dapat diterima, dicatat oleh Panitera Pengadilan
Negeri di dalam daftar.
(2) Panitera
memberitahukan hal itu kepada pihak lawan yang minta pemeriksaan ulangan.
Pasal
11.
(1) Kemudian
selambat-lambatnya empat belas hari setelah permintan pemeriksaan ulangan
diterima, Panitera memberi tahu kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat
melihat surat-surat yang bersangkutan dengan perkaranya di kantor Pengadilan
Negeri selama empat belas hari.
(2) Kemudian
turunan putusan, surat pemeriksaan dan surat-surat lain yang bersangkutan harus
dikirim kepada Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan selambat-lambatnya
satu bulan setelah menerima permintaan pemeriksan ulangan.
(3) Kedua belah
pihak boleh memasukkan surat-surat keterangan dan bukti kepada Panitera
Pengadilan Negeri atau kepada Panitera Pengadilan Tinggi yang akan memutuskan,
asal saia turunan dari surat-surat itu diberikan kepada pihak lawan dengan
perantaraan pegawai Pengadilan Negeri yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan
Negeri itu.
Pasal
12.
(1) Permintaan
izin supaya tidak bayar biaya dalam pemeriksaan ulangan harus disampaikan
dengan lisan atau dengan surat kepada Panitera Pengadilan Negeri, yang
menjatuhkan putusan, beserta dengan surat keterangan dari salah seorang pegawai
pamong praja yang berhak memberikannya dalam daerah tempat tinggalnya, bahwa ia
tidak mampu membayar biaya, oleh yang minta pemeriksaan ulangan di dalam empat
belas hari terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang
berkepentingan, oleh pihak lain di dalam empat belas hari terhitung mulai hari
berikutnya pemberitahuan pemeriksaan ulangan.
(2) Permintaan
itu ditulis oleh Panitera Pengadilan Negeri dalam daftar.
(3) Di dalam
empat belas hari sesudah dituliskan itu, maka Hakim Pengadilan Negeri menyuruh
memberitahukan permintaan itu kepada pihak yang lain dan menyuruh memanggil
kedua belah pihak supaya datang di muka Hakim tersebut.
(4) Jika
peminta tidak datang, permintaan dianggap tidak ada.
(5) Jika
peminta tidak datang, ia diperiksa oleh Hakim, begitu juga pihak yang lain,
jika ia datang.
Pasal
13.
Surat pemeriksaan harus dikirim kepada Pengadilan Tinggi
yang berhak memutuskan perkaranya dalam pemeriksaan tingkat kedua,
selambat-lambatnya tujuh hari sesudah pemeriksaan selesai.
Pasal
14.
Pengadilan Tinggi memberi putusan atas permintaan
tersebut dan menyuruh memberi tahu selekas mungkin putusan itu kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Pasal
15.
(1) Pengadilan
Tinggi dalam pemeriksaan ulangan memeriksa dan memutuskan dengan tiga Hakim,
jika dipandang perlu, dengan mendengar sendiri kedua belah pihak atau saksi.
(2) Jika Hakim
Pengadilan Negeri memutuskan, bahwa ia tidak berhak memeriksa perkaranya, dan
Pengadilan Tinggi berpendapat lain, Pengadilan Tinggi menyuruh Pengadilan
Negeri memutuskan perkaranya atau memutuskan sendiri perkaranya.
(3) Panitera
Pengadilan Tinggi mengirim selekas m ungkin turunan putusan tesebut beserta
dengan surat pemeriksaan dan surat-surat lain yang bersangkutan kepada
Pengadilan Negeri yang memutuskan dalam pemeriksaan tingkat pertama.
(4) Cara
menjalankan putusan ini sama dengan cara menjalankan putusan Hakim dalam
pemeriksaan tingkat pertama.
Bagian
5
Pelaksanaan
Keputusan Hakim.
Pasal
195.
(1) Keputusan
hakim dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri,
dilaksanakan atas perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri yang
memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal berikut. (Rv.
350, 360; IR. 194.)
(2) Jika
keputusan itu harus dilaksanakan seluruhnya atau sebagian di luar daerah hukum
pengadilan negeri tersebut, maka ketuanya akan meminta bantuan dengan surat
kepada ketua pengadilan negeri yang berhak; begitu juga halnya pelaksanaan
keputusan di luar Jawa dan Madura.
(3) Ketua
pengadilan negeri yang diminta bantuan itu harus bertindak menurut ketentuan
ayat di atas, jika nyata baginya, bahwa keputusan itu harus dilaksanakan
seluruhnya atau sebagian di luar daerah hukumnya.
(4) Bagi ketua
pengadilan negeri yang diminta bantuannya oleh teman sejawatnya dari luar Jawa
dan Madura, berlaku segala peraturan dalam bagian ini, tentang segala perbuatan
yang akan dilakukan karena permintaan itu.
(5) Dalam dua
kali dua puluh empat jam, ketua yang dimintai bantuan itu harus memberitahukan
segala usaha yang telah diperintahkan dan hasilnya kepada ketua pengadilan
negeri yang mula-mula memeriksa perkara itu.
(6) Jika
pelaksanaan keputusan itu dilawan, juga perlawanan itu dilakukan oleh orang
lain yang mengakui barang yang disita itu sebagai miliknya, maka hal itu serta
segala perselisihan tentang upaya paksa yang diperintahkan itu, diajukan kepada
dan diputuskan oleh pengadilan negeri yang dalam daerah hukimnya harus
dilaksanakan keputusan itu. itu, tiap dua kali dua puluh
(7)
Perselisihan dan keputusan tentang perselisihan itu, tiap dua kali dua puluh
empat jam, harus diberitahukan dengan surat oleh ketua pengadilan negeri itu
kepada ketua pengadilan negeri yang mula-mula memeriksa perkara itu.
Pasal
196.
Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai memenuhi
keputusan itu dengan baik, maka pihak yang dimenangkan mengajukan permintaan
kepada ketua pengadilan negeri tersebut pada pasal 195 ayat (1), baik dengan
lisan maupun dengan surat, supaya keputusan itu dilaksanakan. Kemudian ketua
itu akan memanggil pihak yang kalah itu serta menegurnya, supaya ia memenuhi keputusan
itu dalam waktu yang ditentukan oleh ketua itu, selama-lamanya delapan hari.
(Rv. 439, 443; IR. 94, 113, 130.)
Pasal
197.
(1) Jika sudah
lewat waktu yang ditentukan itu, sedangkan orang yang kalah itu belum juga
memenuhi keputusan itu, atau jika orang itu, sesudah dipanggil dengan sah,
tidak juga menghadap, maka ketua, karena jabatannya, akan memberi perintah
dengan surat, supaya disita sekian barang bergerak dan jika yang demikian tidak
ada atau ternyata tiada cukup, sekian barang tak bergerak kepunyaan orang yang
kalah itu, sampai dianggap cukup menjadi pengganti jumlah uang tersebut dalam
keputusan itu dan semua biaya untuk melaksanakan keputusan itu.
(2) Penyitaan
dijalankan oleh panitera pengadilan negeri.
(3) Bila
panitera itu berhalangan karena tugas dinas atau karena alasan yang lain, maka
ia digantikan oleh seorang yang cakap atau dapat dipercaya, yang ditunjuk untuk
itu oleh ketua atas atas permintaannya oleh kepala pemerintahan setempat (dalam
hal ini asisten-residen); dalam hal menunjuk orang itu menurut cara tersebut,
jika dianggap perlu memuat keadaan, ketua berkuasa juga untuk menghemat ongkos
sehubungan dengan jauhnya tempat penyitaan itu.
(4) Penunjukan
orang itu dilakukan hanya dengan menyebutkan atau dengan mencatatnya dalam
surat perintah tersebut pada ayat (1) pasal ini.
(5) Panitera
itu atau orang yang ditunjuk sebagai gantinya, hendaklah membuat berita
acara-tentang tugasnya, dan memberitahukan maksud isi berita acara itu kepada
orang yang disita barangnya itu, kalau ia hadir.
(6) Penyitaan
itu dilakukan dengan bantuan dua orang saksi, yang disebutkan namanya,
pekerjaannya dan tempat diamnya dalam berita acara itu, dan yang ikut
menandatangani berita acara itu dan salinannya.
(7) (s. d.
u. dg. S. 1932-42,) Saksi itu harus penduduk Indonesia, telah berumur 21
tahun dan dikenal oleh penyita itu sebagai orang yang dapat dipercaya, atau
diterangkan demikian oleh seorang pamong praja bangsa Eropa atau Indonesia.
(8) Penyitaan
barang bergerak kepunyaan debitur, termasuk uang tunai dan surat berharga,
bolehjuga dilakukan alas barang bergerak yang bertubuh, yang ada di tangan
orang lain, tetapi tidak boleh dilakukan atas hewan dan perkakas yang
sungguh-sungguh berguna bagi orang yang kalah itu dalam menjalankan mata
pencahariannya sendiri.
(9) Panitera
atau orang yang ditunjuk menjadi penggantinya hendaklah membiarkan, menurut
keadaan, barang bergerak itu seluruhnya atau sebagian disimpan oleh orang yang
disita barangnya itu, atau menyuruh membawa barang itu seluruhnya atau sebagian
ke suatu tempat penyimpanan yang memadai. Dalam hal pertama, hal itu harus
diberitahukan kepada polisi desa atau polisi kampung, dan polisi itu harus
mewaga, supaya jangan ada barang yang dilarikan orang. Bangunan-bangunan orang
Indonesia, yang tidak melekat pada tanah, tidak boleh dibawa ke tempat lain.
(Rv. 444, 446, 449, 454, 473; IR. 94 dst., 113.)
Pasal
198.
(1) Jika yang
disita barang tetap, maka berita acara penyitaan itu akan dimaklumkan kepada
umum, dengan cara sebagai berikut: jika barang tetap itu sudah dibukukan
menurut “Ordonansi Balik-Nama” (S. 1834-27), dengan menyalin berita acara itu
dalam daftar tersebut pada pasal 50 “Ketentuan-ketentuan tentang berlakunya dan
peralihan perundang-undangan baru” (S. 1848-10), dan jika tidak dibukukan
menurut ordonansi tersebut, dengan menyalin berita acara itu dalam daftar yang
disediakan untuk itu di kantor panitera pengadilan negeri; dalam kedua hal itu,
harus disebutkan jam, hari, bulan dan tahun penyitaan itu diminta dimaklumkan
kepada umum, sedang jam, hari, bulan dan tahun itu harus dicatat oleh panitera
pada surat asli yang diberikan kepadanya. (Rv. 507; Ov. 50, 10 overschr.)
(2) Selain itu,
kepala desa, atau perintah orang yang ditugaskan menyita barang itu, harus
memaklumkan penyitaan barang itu di tempat itu, supaya diketahui orang
seluas-luasnya.
Pasal
199.
(1) Terhitung
dari hari berita acara penyitaan barang itu dimaklumkan kepada umum, pihak yang
disita barangnya tidak boleh lagi memindahkan, membebani atau menyewakan barang
itu kepada orang lain.
(2) Perjanjian
yang berlawanan dengan larangan itu tak dapat dipakai untuk melawan juru sita
itu. (Rv. 507.)
Pasal
200.
(1) Penjualan
barang sitaan dilakukan dengan perantaraan kantor lelang atau, menurut
pertimbangan ketua atas keadaan, oleh juru sita itu atau orang yang cakap dan
dapat dipercaya, ditunjuk oleh ketua dan tinggal di tempat penjualan itu atau
di sekitar tempat itu. (Rv. 453, 466.)
(2) Akan
tetapi, kalau penjualan tersebut harus dilakukan untuk menjalankan suatu
keputusan yang menyuruh membayar suatu jumlah yang tidak lebih dam tiga ratus
gulden, di luar biaya perkara, atau kalau menurut pertimbangan ketua boleh
disangka, bahwa barang yang disita itu tidak akan lebih dari tiga ratus gulden,
maka penjualan itu sekali-kali tidak boleh dilakukan dengan perantaraan kantor
lelang.
(3) Dalam hal
itu penjualan itu akan dilakukan oleh juru sita itu atau oleh orang-orang yang
cakap dan dapat dipercaya, seperti yang disebut pada ayat (1). Orang yang
diperintahkan untuk menjual hendaklah memberi laporan dengan surat kepada ketua
tentang hasil penjualan itu.
(4) Orang yang
dikalahkan, berwenang untuk menentukan urutan penjualan barang yang disita itu.
(5) Segera
setelah hasil penjualan itu mencapai jumlah tersebut dalam keputusan ditambah
dengan biaya pelaksanaan keputusan itu, penualan itu akan dihentikan; barang
selebihnya, harus dikembahkan pada saat itu kepada orang yang kalah itu.
(6) Penjualan
barang bergerak dilakukan sesudah rencana penjualan diumumkan pada waktu yang
tepat dan menurut kebiasaan setempat; penjualan itu tidak boleh dilakukan
sebelum hari kedelapan sesudah barang-barang itu disita.
(7) Jika
bersama-sama dengan barang bergerak itu juga disita barang tetap, dan barang
bergerak itu tak satu pun yang akan lekas rusak, maka penjualan itu harus
dilakukan serentak, dengan memperhatikan aturan tentang urutan penjualan
barang, tetapi hanya sesudah diumumkan dua kali, dengan selang waktu lima belas
hari.
(8) Jika yang
disita itu semata-mata barang tetap, maka aturan tersebut pada ayat di atas
ini, dipakai untuk penjualan barang itu.
(9) Penjualan
barang tetap yang kiranya berharga lebih dari seribu gulden harus diumumkan
satu kali dalam surat kabar setempat, selambat-lambatnya empat belas hari
sebelum hari penjualan itu; jika tidak ada surat kabar setempat, maka hal itu
diumumkan dalam surat kabar daerah terdekat. (Rv. 516.)
(10) Hak seseorang atas
barang tetapnya yang dijual, dengan diterimanya tawaran pembeli, pindah kepada
si pembeli segera setelah ia memenuhi syaratsyarat pembelian. Jika ia telah
memenuhi syarat-syarat itu, maka kepadanya harus diberikan surat keterangan
tentang hal itu oleh kantor lelang atau oleh orang yang ditugaskan menjual
barang itu. (Rv. 526, 532.)
(11) Jika seseorang enggan
meninggalkan barang tetapnya yang dijual, maka ketua pengadilan negeri akan
membuat surat perintah kepada orang yang berwenang, untuk menjalankan surat
juru sita dengan bantuan panitera pengadilan negeri atau seorang pegawai bangsa
Eropa yang ditunjuk oleh ketua, dan jika perlu dengan bantuan polisi, supaya
barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya
serta oleh sanak saudaranya. (Rv. 526, 1033.)
Pasal
201.
Jika pada suatu waktu bersama-sama diajukan dua
permintaan atau lebih untuk pelaksanaan keputusan hakim yang dijatuhkan kepada
seorang debitur, maka dengan satu berita acara disitalah sekian banyak
barangnya, sehingga hakimnya cukup untuk mengganti jumlah uang dari semua keputusan
biaya pelaksanaan keputusan itu.
Pasal
202.
Jika sesudah dilakukan suatu penyitaan, tetapi sebelum
dijual barang yang disita itu, diterima lagi permintaan lain untuk melaksanakan
keputusan yang dijatuhkan pada debitur itu, maka hasil penyitaan itu dapat
dipergunakan juga untuk mengganti uang yang mesti dibayar menurut keputusan
yang dimaksud dengan permintaan itu; jika perlu, ketua dapat memberi perintah
untuk melanjutkan penyitaan atas sekian banyak barang yang belum disita, sampai
cukup untuk mengganti jumlah uang yang harus dibayar menurut keputusan itu
serta biaya untuk penyitaan lanjutan itu.
Pasal
203.
Dalam waktu tersebut pada pasal 202, keputusan yang
dijatuhkan kepada debitur oleh hakim lain dari hakim tersebut pada pasal 195
ayat (1), boleh juga dikirimkan kepada ketua yang memerintahkan penyitaan itu,
supaya juga dijalankan. Peraturan pasal 202 juga berlaku bagi permintaan itu.
Pasal
204.
(1) Dalam hal
tersebut pada ketiga pasal di alas, ketua menentukan cara membagi pendapatan
penjualan itu di antara para kreditur sesudah mendengar atau memanggil dengan
sah debitur yang bersangkutan dan kreditur yang meminta supaya dijalan
keputusan itu.
(2) Kreditur
yang datang menurut panggilan tersebut pada ayat di atas, boleh minta banding kepada
pengadilan tinggi (raad van jusititie) tentang pembagian itu;
ketentuan-ketentuan pasal 188 sampai dengan pasal 194 berlaku bagi permintaan
itu.
Pasal
205.
Segera setelah keputusan ketua pengadilan negeri tentang
pembagian itu berkekuatan pasti, ketua akan mengirimkan suatu daftar pembagian
kepada juru lelang atau kepada orang yang ditugaskan untuk menjual, supaya
dipakainya sebagai dasar pembagian uang pendapatan lelang itu.
Pasal
206.
(1)
(s.d.u.t. dg. S. 1933-124.) Keputusan yang mewajibkan pembayaran uang, yang
banyaknya tidak lebih dari seratus lima puluh gulden di luar biaya perkara,
dijalankan tanpa memberi peringatan lebih dulu. Penyitaan dan penjualan barang
bergerak dilakukan dalam hal itu menurut cara tersebut pada pasal 93 sampai dengan
pasal 97, tetapi dengan perbedaan, bahwa tugas itu diperintahkan oleh ketua
pengadilan kepada kepala distrik atau seorang pejabat Indonesia yang sama
kedudukan pangkatnya dengan kepala distrik, yang boleh menugaskan hal itu
kepada seorang kepala onderdistrik, mantri-polisi atau juru tulis yang berada
di bawah perintahnya, tetapi la sendiri wajib memberi laporan hasil pekerjaan
itu secara tertulis atau secara lisan kepada ketua pengadilan itu.
Kepala onderdistrik boleh pula
melimpahkan tugas itu kepada mantri- polisi atau juru tulis yang di bawah
perintahnya.
Juru tulis hanya boleh ditugaskan untuk
menjalankan keputusan itu, kalau umumya dan masa kerjanya sudah sampai pada
batas masa kerja yang ditetapkan oleh pemerintah. Atas pekerjaan juru tulis
yang di bawah perintahnya itu, kepala distrik, atau dalam hal ini kepala
onderdistrik, tetap bertanggung jawab.
(2) Jika tidak
cukup barang bergerak, maka atas perintah tertulis yang dibuat oleh ketua
karena jabatannya, harus disita pula barang tetap debitur itu sebanyak yang
diperlukan dengan cara tersebut pada pasal 197 dan dengan memperhatikan
peraturan pasal 198; barang itu dijual dengan memperhatikan peraturan pasal
200.
Anotasi :
Pasal-pasal
tersebut berbunyi sebagai berikut:
Pasal
93.
Pelaksanaan keputusan pengadilan disirik dalam perkara
perdata yang dibanding atau dalam banding ditetapkan seluruhnya atau sebagian
oleh hakim yang lebih tinggi, harus diperintahkan oleh kepala distrik kepada
kepala desa atau bawahannya yang lain.
Pasal
94.
(1) Kepala desa
atau tiap-tiap orang lain yang disuruh melaksanakan keputusan demikian, harus
lebih dulu memperingatkan orang yang kalah perkara untuk memenuhi keputusan
hukuman yang dijatuhkan kepadanya dalam delapan hari berikutnya.
(2) Jika
keputusan itu tidak dipenuhi sesudah lewat delapan hari, maka kepala distrik
harus memerintahkan supaya disita sekian banyak barang tidak tetap milik orang
yang kalah perkara itu, sampai boleh dianggap cukup untuk melaksanakan
keputusan hakim itu, kecuali kalau kepala disrik mendapat alasan untuk memberi
waktu lagi kepada orang itu.
Pasal
95.
Penyitaan itu dilakukan oleh orang yang disuruh
melakuakan keputusan itu di hadapan dua orang saksi, dan sedapat mungkin di
hadapan orang yang kalah perkara; harga barang yang disita harus ditaksir satu
per satu oleh orang yang disuruh melaksanakan keputusan itu.
Pasal
96.
(1) Jika dua
hari sesudah barang-barang yang disita, orang yang kalah perkara belum juga
memenuhi keputusan itu, maka barang-barang yang disita itu harus dijual oleh
orang yang disuruh melaksanakan keputusan itu di hadapan umum dengan dua orang
saksi, dengan bayaran tunai, sampai diperoleh jumlah uang tersebut dalam
keputusan, kepada penawar tertinggi, kecuali kalau tawarannya kurang dari harga
taksiran; dalam hal demikian, barangbarang itu diserahkan dengan harga yang
ditaksir kepada kreditur untuk siapa diadakan penjualan itu.
(2) Orang yang
kalah perkara berhak untuk menunjukkan tertib penjualan barang-barang yang
disita itu.
(3) Barang yang
tidak perlu dijual, harus dikembalikan kepada orang yang kalah perkara.
Pasal
97.
Hewan dan perkakas yang sangat diperlukan oleh yang kalah
perkara itu untuk menjalankan mata pencariannya sendiri, tidak boleh disita.
Pasal
207.
(1) Perlawanan
debitur terhadap pelaksanaan keputusan, baik dalam hal disitanya barang tak
bergerak maupun dalam hal disitanya barang bergerak, harus diberitahukan oleh
orang itu dengan surat atau dengan lisa kepada ketua pengadilan negeri tersebut
pada pasal 195 ayat (6); jika perlawanan itu diberitahukan dengan lisan, maka
ketua wajib mencatatnya atau menyuruh mencatatnya. (IR. 120, 197, 206.)
(2) Kemudian
perkara itu oleh ketua pada persidangan yang pertama sesudah itu, supaya
diputuskan sesudah kedua belah pihak diperiksa atau dipanggil dengan sah. (IR.
124 dst.)
(3) Perlawanan
itu tidak dapat menahan orang memulai atau meneruskan pelaksanaan keputusan
itu, kecuali jika ketua memberi perintah, supaya hal itu ditangguhkan sampai
pengadilan negeri mengambil keputusan. (Rv. 422; IR. 208, 224.)
Pasal
208.
(1) Pengaturan
pasal di atas berlaku juga jika orang lain melawan keputusan itu dengan
mengatakan, bahwa barang yang disita itu miliknya. (Rv. 477 dst.)
(2) Untuk
keputusan yang dijatuhkan menurut pasal ini dan pasal di atas, berlaku semua
peraturan umum tentang hal meminta banding. (IR 188 dst.)
Pasal
209.
(1) Jika tidak
ada atau tidak cukup barang untuk memenuhi keputusan, maka atas permintaan
pihak yang menang perkara, entah permintaan lisan entah permintaai tertulis,
ketua akan memberi perintah tertulis kepada orang yang berkuasa untuk
menalankan surat sita, supaya debitur itu disandera. (Rv. 583 dst.; IR. 338
dst.)
(2) Lamanya
penyanderaan debitur ditentukan menurut pasal di bawah ini dan harus disebut
dalam surat perintah itu. (Rv. 580, 586; Sv. 347; IR. 98, 180, 197, 206, 211
dst., 213, 215, 217, 220 dst.; 222, 224, 331 dst.; S. 1894-244.)
Pasal
210.
(1)
Penyanderaan itu diperintahkan untuk enam. bulan lamanya, jika orang itu
dihukum membayar sampai seratus gulden; (T. XIII-37 1; IR. 203, 219, 221, 223
dst.)
Untuk setahun lamanya, jika orang itu
dihukum membayar lebih dari seratus sampai tiga ratus gulden;
Untuk dua tahun lamanya, jika orang itu
dihukum membayar lebih dari tiga ratus sampai lima ratus gulden;
Untuk tiga tahun lamanya, jika orang
itu dihukum membayar lebih dari lima ratus gulden.
(2) Biaya
perkara tidak termasuk pada jumlah tersebut di atas ini.
Pasal
211.
Anak dan keturunannya sekali-kali tidak boleh menyuruh
menyanderakan keluarga sedarah dan semendanya dalam garis ke atas. (KUHPerd.
298; Rv. 582; IR. 209, 218, 331.)
Pasal
212.
Debitur tidak boleh disandera:
1. di
dalam rumah ibadat yang sedang dipergunakan untuk kebaktian;
2. dalam
ruang sidang lembaga pemerintah selama ada persidangan. (Rv. 22, 595; IR. 218.)
Pasal
213.
(1) Jika
debitur itu melawan penyanderaan itu dengan menyatakan perbuatan itu tidak sah,
dan ia menghendaki supaya segera diambil keputusan tentang perlawanan itu, maka
ia harus mengajukan surat kepada ketua pengadilan negeri yang memerintahkan
penyanderaan itu, atau jika debitur itu lebih suka, ia harus dibawa menghadap
pejabat itu. Dalam kedua hal itu, ketua akan memutuskan dengan segera patut
tidaknya debitur itu disandera dahulu sementara menunggu keputusan pengadilan
negeri.
(2) Pasal 218
ayat (4), (6) dan (7) berlaku dalam hal itu.
(3) Jika
debitur itu mengajukan perlawanan dengan surat, maka sementara menunggu
keputusan ketua, hendaklah ia dijaga, supaya jangan lari. (Rv. 599; BL 180,
209, 224.)
Pasal
214.
Debitur yang tidak melawan atau yang ditolak
perlawanannya, harus segera dimasukkan ke dalam penjara yang ditentukan sebagai
tempat penyanderaan. (Rv. 600.)
Pasal
215.
Penjaga penjara harus memberitahukan penyanderaan itu
kepada panitera pengadilan negeri dalam dua puluh empat jam. (KUHP 333, 555;
IR. 209, 212, 222 dst.)
Pasal
216.
(1) Segala
biaya pemeliharaan debitur yang disandera itu ditanggung oleh kreditur, dan
dibayar lebih dulu kepada penjaga penjara, tiap-tiap kali untuk tiga puluh hari
lamanya, menurut peraturan tentang hal itu, yang sudah atau akan diadakan oleh
pemerintah (Gubernur Jenderal). (IR. 214-21.)
(2) Jika
kreditur itu tidak memenuhi kewajibannya sebelum hari yang ketiga puluh satu,
maka atas permintaan debitur itu atau atas permintaan penjaga penjara, ketua
pengadilan negeri dengan segera memberi perintah, supaya debitur itu dilepaskan
dari penjara. (Rv. 587; IR. 217, 219.)
(3) Pelaksanaan
perintah itu, dalam hal ini dan dalam hal-hal yang lain, harus diberitahukan
oleh penjaga penjara dalam dua puluh empat jam kepada panitera pengadilan
negeri. (TR. 222; S. 1935-305.)
Pasal
217.
Debitur yang disandera dengan sah,
memperoleh kebebasan yang tidak dapat ditarik kembali: (TR. 216.)
1. jika
kebebasan itu diperolehnya karena kreditur memberikan izin untuk itu, entah
dengan akta otentik, entah dengan pernyataan lisan, kepada panitera pengadilan
negeri, yang wajib mencatat pernyataan itu dalam daftar tersebut pada pasal
222;
2. jika kebebasan
itu diperolehnya karena membayar atau menyimpan dengan sah pada kantor panitera
pengadilan negeri sejumlah uang yang harus dibayar kepada orang yang menyunih
melaksanakan paksaan badan itu serta bunganya, biaya perkara yang telah
diselesaikan, biaya penyanderaan dan persekot biaya pemeliharaan. (KUHPerd.
1382 dst., 1404; Rv. 591, 809 dst.; Sv. 352; IR. 209, 216.)
Pasal
218.
(1) Debitur
yang tidak mengajukan perlawanan menurut cara tersebut dalam pasal 213, tidak
kehilangan hak untuk meminta pengadilan negen membatalkaxi pengurungannya, jika
menurut keterangannya penyanderaan itu berlawanan dengan peraturan pasal 211
atau 212 atau dengan hukum karena sebab lain.
(2) Untuk
mencapai maksud itu ia harus mengajukan surat permintaan kepada ketua
pengadilan negeri dengan perantaraan juru penjara.
(3) Jika
debitur itu tidak pandai menulis, maka hendaklah ia diberi kesempatan untuk
mengajukan keberatannya itu dengan lisan kepada ketua, yang akan mencatat atau
menyuruh mencatat hal itu. (TR. 118 dst.)
(4) Perkara itu
dikemukakan oleh ketua dalam persidangan pengadilan negeri berikutnya, dan
diputuskan oleh pengadilan negeri itu dengan sepatutnya menurut pendapatnya,
jika perlu, sesudah memeriksa debitur itu dan kreditur yang mendapat izin untuk
menyuruh menyanderakan itu. (Rv. 606.)
(5) Demikian
pula diperbuat, jika debitur itu beranggapan bahwa ia dapat mengemukakan alasan
yang sah untuk melepaskan dirinya dari penyanderaan, kecuali alasan tersebut
pada pasal 216, yang diputuskan oleh ketua sendiri.
(6) Dalam semua
hal ini, boleh diminta banding atas keputusan pengadilan negeri, tetapi dalam
pada itu keputusan hakim itu boleh juga dilaksanakan lebih dulu. (TR. 180.)
(7) Peraturan pasal
188 sampai dengan pasal 194 beriaku dalam hal meminta banding itu. (TR. 213.)
Pasal
219.
(1) Debitur
yang penyanderaannya dibatalkan atau debitur yang dilepaskan karena persekot
biaya untuk pemeliharaannya tidak dibayar, tidak boleh disandera lagi karena
utang itu, jika belum lewat sekurang-kurangnya delapan hari sesudah ia
dilepaskan. (Rv. 582; IR. 216.)
(2) Jika
pembebasan itu diperintahkan karena persekot belanja untuk pemeliharaannya
tidak dibayar, maka kreditur tidak boleh meminta supaya debitur itu disandera
lagi, jika ia tidak membayar persekot belanja pemeliharaan untuk tiga bulan
lamanya. (Rv. 605.)
(3) Waktu
selama debitur itu menjalani penyanderaan, bagaimanapun juga, harus dikurangkan
dari jangka waktu yang diizinkan untuk menyandera orang dalam beberapa hal.
(TR. 210.)
Pasal
220.
Orang yang lari dari penyanderaan, boleh disandera lagi
berdasarkan perintah yang dulu, tanpa mengurangi kewajibannya untuk mengganti
setiap kerugian dan biaya yang terjadi akibat pelarian. (TR. 209.)
Pasal
221.
Walaupun telah menjalani paksaan badan, debitur itu tetap
harus menanggung utangnya dengan barang-barang kepunyaannya. (TR. 210.)
Pasal
222.
Panitera pengadilan negeri harus memegang daftar
tersendiri tentang penyanderaan, yang memuat: (Rv. 593, 601 dst.; IR. 217,
223.)
1.
perintah untuk menyandera, yang diberikan oleh ketua pengadilan negeri,
tanggainya, nama, pekerjaan dan tempat kediaman orang yang akan disandera dan
lamanya orang itu boleh disandera; (TR. 209 dst.)
2.
tanggal pengurungan;
3.
tanggal pembebasan dari penyanderaan.
Pasal
223.
Sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan wajiblah ketua
pengadilan negeri menyuruh supaya daftar itu diperlihatkan kepadanya dan
mengawas-awasi betul, supaya tiap-tiap sandera yang sudah lewat waktunya segera
dilepaskan. (TR. 210.)
Pasal
224.
Grosse dari akta hipotek dan surat utang yang dibuat di
hadapan notaris di hidonesia dan yang kepalanya berbunyi “Demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” berkekuatan sama dengan keputusan hakim.
Jika tidak dengan jalan damai, maka surat demikian dijalankan dengan perintah
dan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya
tempat diam atau tempat tinggal debitur itu atau tempat kedudukan yang
dipilihnya, yaitu menurut cara yang dinyatakan pada pasal-pasal yang lalu dalam
bagian ini, tetapi dengan pengertian, bahwa paksaan badan hanya boleh
dilakukan, jika sudah dengan keputusan hakim. Jika keputusan hakim itu harus
dilaksanakan seluruhnya atau sebagian di luar daerah hukum pengadilan negeri
yang memerintahkan pelaksanaan keputusan itu, maka haruslah dituruti peraturan
pasal 195 ayat (2) dan seterusnya. (Ov. 91; Rv. 440, 584; Not. 41; T.
XIII-372.)
Bagian
6
Hal
Mengadili Perkara Istimewa.
Pasal
225
(1) Jika
seseorang yang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan tidak melakukan
perbuatan itu dalam waktu yang ditentukan hakim, maka pihak yang menang perkara
boleh meminta kepada pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya, entah
dengan syarat, entah dengan lisan, supaya keuntungan yang sedianya akan
didapatnya jika keputusan itu dilaksanakan, dinilai dengan uang yang banyaknya
harus diberitahukannya dengan pasti; permintaan itu harus dicatat jika diajukan
dengan lisan. (TR. 118 dst.)
(2) Ketua
mengajukan perkara itu dalam persidangan pengadilan negeri; sesudah debitur
diperiksa atau dipanggil dengan sah, maka pengadilan negeri akan menentukan,
apakah permintaan itu akan ditolak, atau perbuatan yang diperintahkan tetapi
tidak dilakukan itu akan dinilai sebesar jumlah yang dikehendaki oleh peminta
atau kurang dari jumlah itu; dalam hal terakhir ini, debitur itu dihukum
membayar jumlah itu. (KUHPerd. 1239; IR. 228.)
Pasal
226.
(1) Pemilik
barang bergerak, boleh meminta dengan surat atau dengan ban kepada ketua
pengadilan negeri yang berkuasa di tempat diam atau tempat tinggal orang yang
memegang barang itu supaya barang itu disita.
(2) Barang yang
hendak disita itu harus diterangkan dengan jelas dalam permintaan itu.
(3) Jika
permintaan itu diluluskan, maka penyitaan akan dilakukan menurut surat perintah
ketua. Tentang orang yang harus melakukan penyitaan itu dan tentarkg
persyaratan yang harus dipenuhi, berlaku juga pasal 197.
(4) Panitera
pengadilan harus segera memberitahukan penyitaan itu kepada orang yang
mengajukan permintaan, dan menerangkan kepadanya, bahwa ia harus menghadap
persidangan pengadilan negeri berikutnya untuk mengajukan dan meneguhkan
gugatannya.
(5) Orang yang
memegang barang yang disita itu harus dipanggil atas perintah ketua untuk
menghadap persidangan itu.
(6) Pada hari
yang ditentukan, pemeriksaan perkara dan pengambilan keputusan dijalankan
dengan cara biasa. (TR. 130 dst., 139 dst., 155 dst., 163 dst., 178 dst.)
(7) Jika
gugatan itu diterima, maka penyitaan itu disahkan, lalu diperintahkan supaya
barang yang disita itu diserahkan kepada si penggugat; sedang kalau gugatan itu
ditolak, harus diperintahkan supaya dicabut penyitaan itu.
Pasal
227.
(1) Jika ada
dugaan yang beralasan, bahwa seorang debitur, sebelum keputusan hakim yang
mengalahkannya dijatuhkan atau boleh dijalankan, mencari akal untuk
menggelapkan atau melarikan barangnya, baik yang tak bergerak maupun yang
bergerak; dengan maksud untuk menjauhkan barang itu dari kreditur atas surat
permintaan orang yang berkepentingan, ketua pengadilan boleh memberi perintah,
supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang memerlukan permintaan
itu; kepada si peminta harus diberitahukan bahwa ia harus menghadap persidangan
pengadilan negeri berikutnya untuk mengajukan dan menguatkan gugatannya. (Rv.
720 dst.; IR. 124 dst., 1 163 dst.)
(2) Debitur
harus dipanggil atas perintah ketua untuk menghadap persidangan itu.
(3) Tentang
orang yang harus menjalankan penyitaan itu dan tentang peraturan yang harus
dituruti serta akibat yang berhubungan dengan hal itu, berlaku 197, 198 dan
199.
(4) Pada hari
yang ditentukan, pemeriksaan perkara dijalankan dengan cara biasa. Jika gugatan
itu diterima, maka penyitaan itu disahkan; jika ditolak, maka diperintahkan
supaya dicabut penyitaan itu.
(5) Permintaan tentang
pencabutan penyitaan selalu boleh diajukan, jika diadakan jaminan atau
tanggungan lain yang cukup. (Rv. 725; IR. 228.)
Pasal
228.
(1) Tentang
keputusan hakim yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri menurut ketiga pasal di
atas ini, berlaku peraturan umum bagi permintaan banding. (IR. 188 dst.)
(2) Keputusan
hakim tersebut pada ketiga pasal itu dilaksanakan dengan cara biasa. (IR. 196
dst., 209.)
Pasal
229.
Jika seseorang yang sudah akil-baliq tidak bisa
memelihara dirinya dan mengurus barangnya karena kurang akal, maka tiap-tiap
sanak saudaranya, atau magistraat pada pengadilan negeri jika tidak ada sanak
saudaranya, berkuasa untuk meminta, supaya diangkat seorang pengampu untuk
memelihara orang itu dan mengurus barangnya. (KUHPerd. 434 dst.)
Pasal
230.
Permintaan seperti itu diajukan kepada ketua pengadilan
negeri, yang akan memanggil orang yang mengajukan permintaan itu, saksi-saksi
yang ditunjuknya dan orang yang akan diberi pengainpu, supaya mereka datang
menghadap pengadilan negeri pada hari persidangan yang ditentukan. (KUHPerd.
438 dst.)
Pasal
231.
(1) Pada hari
yang ditentukan itu diperiksa semua orang yang dipanggil itu; pemeriksaan
saksi-saksi dilakukan sesudah mereka disumpah.
(2) Jika
permintaan itu dikabulkan, maka pengadilan negeri mengangkat seorang pengampu,
yaitu orang yang dapat diharapkan akan memelihara orang yang bersangkutan dan
barangnya dengan sebaik-baiknya. (KUHPerd. 441, 449; IR. 236.)
Pasal
232.
(1) Jika sudah
tidak ada lagi alasan pengampuan itu, maka pengadilan negeri boleh menghentikan
pengampuan itu.
(2) Permintaan
akan penghentian pengampu itu, pemeriksaan dan keputusan tentang hal itu dibuat
menurut cara tersebut di atas. (KUHPerd. 460; IR. 229 dst., 236.)
Pasal
233.
Jika pengampuan itu berakhir karena dicabut atau karena
sebab maka pengampuan itu wajib memberi perhitungan dan pertanggung-jawaban
tentang pengurusannya kepada yang berhak. (KUHPerd. 409, 452.)
Pasal
234.
(1) Mengenai
orang yang kelakuannya selalu tidak baik dan melewati batas, atau orang yang
sekali-kali tidak bisa dibiarkan sendirian, atau orang yang berbahaya bagi
keamanan orang lain, pengadilan negeri, atas permintaan sanak saudaranya atau
atas permintaan magistraat pengadilan negeri, sesudah memeriksanya dengan patut,
berkuasa untuk memerintahkan demi keamanan dan ketertiban, supaya orang itu
dimasukkan ke rumah kurungan yang tersedia untuk itu, rumah sakit atau tempat
lain yang layak untuk itu, dan supaya la ditahan di situ selama belum tampak
jelas tanda-tanda bahwa ia sudah baik. (RO. 134 dst., 138; Krankz. 48; S.
1868-72.)
(2) Permintaan
tersebut tidak tergantung pada pengampuan, yang, jika belum dikenakan, dan jika
ada cukup sebabnya, boleh diniinta pada waktu itu juga atau kemudian, menurut
peraturan di atas. (KUHPerd. 456; IR. 236.)
(3) Ketentuan
ayat (1) pasal ini berlaku juga bagi orang yang berpenyakit mengerikan,
minta-minta di hadapan umum atau mengembara tanpa mata pencaharian, atau
mempergunakan nasibnya untuk mengganggu orang lain, tetapi dengan pengertian
bahwa:
a. orang
itu hanya boleh dimasukkan ke rumah kurungan atau rumah yang dinyatakan baik
untuk itu oleh kepala daerah sesudah bermupakat dengan kepala dinas kesehatan
rakyat; jika perlu, kepala daerah boleh memberikan beberapa syarat untuk
pernyataan baik itu, sesudah bermupakat dengan kepala dinas kesehatan tersebut;
b. orang
yang dikenakan keputusan hakim seperti yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini,
tidak boleh dimasukkan ke rumah kurungan atau rumah sakit yang diperuntukkan bagi
orang yang menderita penyakit menular tertentu, jika belum dinyatakan dengan
surat oleh dokter, – sedapat mungkin seorang ahli yang mendiagnosa penyakit itu
– bahwa orang itu menderita penyakit menular itu atau diperkirakan benar-benar
menderita penyakit itu; dokter itu haruslah dokter yang ditunjuk oleh kepala
daerah sesudah bermupakat dengan inspektur atau wakil inspektur dinas kesehatan
rakyat yang bersangkutan;
c.
atas permintaan orang yang berkepentingan atau sanak saudaranya atau magistraat,
pengadilan negeri hendaklah melepaskan orang yang ditahan sementara menurut
peraturan tersebut, jika ia dianggap tak perlu lagi ditahan berhubung dengan
semua hal yang menyebabkan ia ditahan.
Pasal
234a.
(s.d.t. dg. S. 1936-81, 159; 1948-322.)
(1) Atas
tuntutan magistraat, pengadilan negeri, dengan penetapan sederhana, berhak juga
memerintahkan orang dewasa dimasukkan ke suatu tempat bekerja yang tersedia
untuk itu, yakni orang yang dinyatakan oleh kepala departemen sosial sebagai
pengatur yang malas bekerja serta yang tidak mempunyai cukup nafkah hidup, jika
ia melanggar ketertiban umum karena minta-minta, karena merisaukan atau karena
kelakuannya bertentangan dengan keadaan masyarakat yang baik.
(2) Tuntutan
termaksud dalam ayat (1) itu tidak dikabulkan, sebelum orang yang dituntut itu
didengar atau setidak-tidaknya dipanggil dengan sah. Pengadilan negeri
mengambil keputusan berdasarkan pemberitahuan dan laporan yang dia, tetapi
berhak mendengar saksi-saksi yang dapat memberi keterangan lebih lanjut tentang
kejadian itu.
(3) Penetapan
tersebut dalam kedua ayat di atas berkekuatan satu tahun lamanya; jangka waktu
itu selalu dapat ditambah dengan satu tahun lagi kalau ada tuntutan seperti
itu; dalam semua hal itu, kepala departemen sosial berhak melepaskan orang yang
bersangkutan dari tempat itu setiap waktu, bila keadaannya yang menyebabkan ia
dimasukkan itu tidak ada lagi atau bila keadaan badannya atau pikirannya tidak
mengizinkan ia tinggal lebih lama di tempat itu.
(4) (a.d.t.
dg. S. 1939-715.) Barang siapa dituntut supaya ditambah waktunya, di tempat
itu selama pemeriksaan pengadilan negeri. Kalau tuntutan itu ditolak pengadilan
negeri, maka jika magistraat pada pengadilan negeri menyatakan akan minta
banding tentang penetapan itu, orang yang bersangkutan tetap tinggal di tempat
itu selama pemeriksaan pengadilan tinggi (raad van justitie).
(5). Penetapan yang
dijatuhkan pengadilan negeri menurut pasal ini boleh dijalankan seketika itu
juga.
(6). Surat-surat yang perlu
untuk menuntut memasukkan orang ke tempat bekerja dan penetapan-penetapan
hakim, bebas dari meterai.
(7) Hal
menunjuk tempat bekerja termaksud dalam ayat (1) itu dan hal-hal lain yang
perlu untuk penerapan pasal ini, diatur dengan peraturan pemerintah. (RO. 137a;
S. 1936-160.)
Pasal
235.
(1) Jika ada
orang hilang atau meninggalkan tempat diamnya tanpa mengurus pemeliharaan harta
bendanya, maka setiap bawahan polisi wajib, setiap orang yang berkepentingan
berhak untuk memberitahukan hal itu kepada pengadilan negeri, ketua itu wajib
pergi dengan segera bersama-sama dengan orang yang memberitahukan itu ke rumah
orang yang hilang atau tidak ada itu, dan menjaga dengan penyegelan atau dengan
cara lain yang patut, supaya jangan satu pun dari budel yang tidak dipelihara
itu diambil orang. (K.UHPerd. 463 dst.)
(2) Berita
acara tentang tindakan itu hendaklah dikemukakan oleh ketua pada pengadilan
negeri berikutnya; jika temyata perlu, pengadilan negeri akan melimpahkan
pemeliharaan budel itu buat sementara kepada pengurus budel (boedelmeester)
atau badan seperti itu, yang telah atau akan dikuasakan untuk itu. (IR. 236; S.
1832-7.)
(3) Jika harta
budel itu, menurut undang-undang yang berlaku tentang itu, tidak boleh diurus
oleh badan-badan termaksud di atas, maka hendaklah diusahakan supaya harta
budel itu diurus dengan cara lain yang sedemikian rupa, sehingga boleh dianggap
akan mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi orang yang berkepentingan.
(4) Dengan
alasan bahwa harta budel itu hanya sedikit, pengadilan negeri juga berwenang
untuk menyerahkan pemeliharaannya kepada orang yang ditunjuknya dari keluarga
sedarah atau keluarga semenda orang yang hilang atau tidak ada itu, atau kepada
suami atau istrinya, dengan satu kewajiban saja, yaitu akan mengembalikan
barang itu atau harganya sesudah dipotong segala utang yang sudah dibayar
sementara itu, tanpa memberikan suatu hasil atau pendapatan kepada orang yang
hilang atau tidak ada itu, kalau ia kembali.
(5) Jika ketua
berhalangan, maka segala tindakan tersebut pada ayat (1) pasal ini, boleh
dilakukan oleh panitera pengadilan negeri atau oleh pegawai lain yang
dikuasakan oleh ketua; dalam dua puluh empat jam sesudah tugas itu dilakukan,
panitera atau pejabat itu harus menyampaikan berita acaranya kepada ketua itu.
Pasal
236.
(1) Terhadap
penetapan pengadilan negeri yang diambil menurut pasal 231, 232, 234, 234a dan
235, boleh dimintakan banding kepada pengadilan tinggi. Permintaan akan banding
itu boleh diajukan dalam waktu tiga puluh hari sesudah tanggal penetapan itu,
dan dicatat menurut cara yang ditentukan untuk keputusan pengadilan negeri.
Pengadilan tinggi memutuskan tanpa mendengar orang yang bersangkutan.
(2) Penetapan
yang diambil menurut pasal 234 dan 234a, dijalankan oleh atau atas perintah
pegawai termaksud dalam pasal 325 ayat (1).
Pasal
236a.
Atas permintaan semua ahli waris atau bekas istri orang
yang meninggal, pengadilan negeri akan memberi bantuan untuk mengadakan
pemisahan budel di antara orang-orang Indonesia yang beragama apa pun, serta
membuat aktanya, walaupun tidak ada perselisihan.
BAB
XV.
BERBAGAI
PERATURAN
Anotasi :
Dalam
Bab XV ini, hal-hal yang menyangkut perkara pidana hendak. nya dianggap tidak
tertulis.
Pasal
372.
(1) Ketua
majelis pengadilan wajib memimpin pemeriksaan dalam persidangan dan
permusyawaratan.
(2) Ia wajib
juga memelihara tata tertib dalam persidangan; segala perintahnya untuk
keperluan itu harus dilakukan dengan segera dan cermat. (RO. 46; Rv. 29; Sv.
126, 161, 254; TR. 268, 373; RBg. 700.)
Pasal
373.
Barang siapa mengganggu keamanan persidangan itu, atau
memberi tanda setuju atau tidak, atau dengan jalan apa juga membuat gempar atau
rusuh, dan dengan teguran pertama tidak segera diam, harus dikeluarkan dengan
perintah ketua; hal itu tidak mengurangi tuntutan hakim, jika pada waktu itu ia
melakukan suatu tindak pidana. (Rv. 22; Sv. 255 dst.; KUHP 217; RBg. 701.)
Pasal
374.
(1) Pada
seorang hakim pun boleh memeriksa perkara yang menyangkut kepentingannya
sendiri, baik secara langsung maupun secara tidak langsung atau memeriksa
perkara yang melibatkan istrinya atau salah seorang keluargs sedarah atau
keluarga semendanya dalam garis lurus tanpa kecuali, dan dalam garis ke samping
sampai dengan derajat keempat.
(2) Hakim yang
berada dalam keadaan demikian, atas kehendak sendiri, wajib menarik diri dari
pemeriksaan perkara itu, tanpa harus diminta untuk itu oleh orang yang
berkepentingan.
(3) Jika ada
keragu-raguan atau perselisihan paham dalam hat itu, maka keputusan diambil
majelis. Keputusan majelis itu tidak boleh dibanding. (RO. 35 dst., 40, 44; Sv.
127, 268, 281; RBg. 702.)
Pasal
375.
Segala perintah untuk melepaskan si tertuduh atau
pesakitan yang berada dalam tahanan harus diberitahukan segera-jika perlu
dengan kawat pegawai kekuasaan umum, sama-sama berhak dan wajib untuk
menjalankan perintah itu, dan pejabat yang disebut terakhir ini, segera sesudah
menerima pemberitahuan itu harus melepaskan atau menyuruh melepaskan orang itu,
kecuali jika orang itu harus tetap ditahan karena alasan lain. (RBg. 703.)
Pasal
376.
Kuasa termaksud dalam pasal 82 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, diberikan oleh pegawai termaksud dalam pasal 325 ayat (1) kitab
tersebut; surat tanda terima bayaran, yang diberikan oleh pegawai yang berhak
menerima pembayaran, harus dlgampaikan oleh pesakitan kepada pegawai itu dalam
masa yang ditentukan dalam surat kuasa itu.
Pasal
377.
Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki
perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti
peraturan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa. (Rv. 615 dst.; RB9. 705.)
Pasal
378.
Tiap orang yang dikenakan hukuman, harus pula dihukum
membayar biaya perkara. Hanya jika dibebaskan sama sekali atau dibebaskan dari
segala hukuman, maka biaya perkara itu ditanggung oleh Negara. (Sv. 411; IR.
181, 237 dst., 319-5-, 333; RBg. 706.)
Pasal
379.
Upah dan ganti rugi bagi pokrol, penasihat atau pembela
dan wakil tidak boleh dalam hukuman membayar biaya perkara, tetapi harus
ditanggung oleh pihak yang dibantu atau diwakili orang-orang itu. (Rv. 59, 788;
Sv. 412; IR. 123, 182;, 254, 346; RBg. 707.)
380.Tidak dimuat karena tidak sesuai
lagi dengan keadaan sekarang.
Pasal
381.
(1) Jika hakim
memerintahkan orang Indonesia atau orang Timur Asing untuk mengangkat sumpah di
kuil atau kelenteng atau suatu tempat lain yang dipandang keramat, maka hakim
itu harus menangguhkan pemeriksaan perkara itu sainpai pada hari persidangan
lain yang ditentukannya.
(2) Dalam hal
yang demikian, ketua akan mengangkat seorang anggota majelis komisaris, yang
bersama dengan panitera akan menghadiri pengangkatan sumpah itu dan membuat
berita acara tentang hat itu. (Rv. 2 10; Sv. 415; IR. 155 dst., 158.; RBg.
709.)
Pasal
382.
Semua surat keputusan mahkamah tinggi, surat keputusan
hakim dan surat perintah hakim dalam perkara pidana harus berkepala “Demi
keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. (ISR. 130; RO. 27; Sv. 416; RBg.
710; S. 1891-188.)
Pasal
383.
Semua surat keputusan hakim harus tetap tersimpan dalam
arsip majelis dan hanya boleh dipindahkan dalam hal dan menurut cara yang
ditentukan peraturan undang-undang. (RO. 67, 69; Sv. 417; IR. 112; RBg. 711.)
Pasal
384.
(1) Panitera
wajib memegang suatu daftar umum untuk segala perkara pidana yang diperiksa oleh
majelis di tempat tugasnya.
(2) Dalam
daftar itu harus dituliskan nama pesakitan, kejahatan atau pelanggaran yang
dituduhkan kepadanya, hari perkara itu dimasukkan, hari keputusan hakim
diucapkan, dan ringkasan keputusan hakim itu.
(3) Panitera
pengadilan negeri wajib memegang daftar serupa untuk perkara perdata.
(4) Dalam
daftar untuk perkara pidana harus disebutkan pemberian grasi atau pidana. (RO.
65; Sv. 418; RBg. 712.)
Pasal
385.
Salinan atau petikan keputusan hakim dalam perkara pidana
tidak boleh diberikan kepada orang yang bukan pihak yang berperkara, kecuali
jika ada izin ketua majelis yang menjatuhkan putusan hakim itu; permintaan
untuk itu hanya boleh dikabulkan, jika ternyata, bahwa yang meminta itu
berkepentingan dalam hal itu. (RO. 67; Rv. 65, 853, 856, 858; Sv. 419; IR. 386
dst.; RBg. 713.)
Pasal
386.
Pesakitan dalam perkara kejahatan atau pelanggaran, atas
biaya sendiri boleh membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan dari
semua surat perkaranya, yang dipandangnya perlu untuk pembelaannya. (IR. 385;
RBg. 714.)
Pasal
387.
Panitera yang lalai untuk memenuhi dengan cermat semua
peraturan yang tercantum dalam ayat (1) pasal 192, ayat (3) pasal 324 dan pasal
352 reglemen ini, dan dalam pasal 290 Peraturan Hukum Acara Pidana, didenda
untuk tiap-tiap kelalaian dengan denda sebanyak-banyak sepuluh gulden. (Sv. 42
1; RBg. 715,)
Pasal
388.
(1) Semuajuru
sita, pesuruh yang bertugas pada majelis pengadilan, dan pegawai kekuasaan umum
sama-sama berhak dan wajib untuk menjalankan , pemberitahuan dan semua surat
juru sita yang lain dan untuk melaksanakan perintah dan keputusan hakim.
(2) Jika tidak
ada orang-orang tersebut, maka ketua majelis pengadilan yang dalam daerah
hukumnya akan dijalankan surat juru sita itu harus menunjuk seorang yang patut
dan dapat dipercaya untuk itu. (RO. 193 edst., 205; Rv. 1; Sv. 422; IR. 165-31,
389; RBg. 716; S. 1895-204.)
Pasal
389.
Juru sita pengadilan negeri di Jakarta, Semarang dan
Surabaya harus menyatakan surat juru sita yang telah dijalankannya dengan
laporan tertulis. Juru sita pengadilan negeri yang lain dan semua orang lain,
yang pada pengadilan negeri ditugaskan menjalankan surat juru sita, kalau
perlu, cukuplah memberikan laporan lisan kepada hakim atau pegawai lain yang berwenang
tentang segala pemberitahuan, panggilan dan surat juru sita lain yang mereka
jalankan; hakim atau pegawai itu mencatat atau menyuruh mencatat itu. (RO. 198,
204; Sv. 423; IR. 388; RBg. 717.)
Pasal
390.
(1) Tiap-tiap
surat juru sita, kecuali yang disebut di bawah ini, harus disampaikan kepada
orang yang bersangkutan sendiri di tempat diam atau tempat tinggalnya, dan jika
tidak bertemu dengan orang itu di situ, kepada kepala desanya atau beknya, yang
wajib dengan segera memberitahukan surat juru sita itu kepada orang itu
sendiri, tetapi hal itu tak perlu dinyatakan dalam hukum.
(2) Dalam hal
orang yang bersangkutan sudah meninggal, surat juru sita itu disampaikan kepada
ahli warisnya; jika ahli waris itu tidak diketahui, maka disampaikan kepada
kepala desa atau bek di tempat tinggal terakhir orang yang meninggal itu di
Indonesia; kepala desa atau bek itu harus berbuat menurut ketentuan ayat di
atas ini. Jika orang yang meninggal itu termasuk golongan Timur Asing, maka
suratjuru sita itu diberitahukan dengan surat tercatat kepada balai harta
peninggalan.
(3) (s. d. u.
dg. S. 1939- 715.) Tentang
orang yang tidak diketahui tempat diam atau tempat tinggalnya dan tentang orang
yang tidak dikenal, maka surat juru sita itu disampaikan kepada bupati, yang
dalam daerahnya terletak tempat tinggal orang yang mendakwa, dan dalam perkara
pidana, yang dalam daerahnya berkedudukan hakim yang berhak; bupati itu
memaklumkan surat juru sita itu dengan menempelkannya pada pintu utama di
tempat persidangan hakim yang berhak itu. (RBg. 718.)
Pasal
391.
Untuk menghitung waktu yang ditentukan dalam reglemen
ini, hari mulainya waktu itu tidak turut dihitung. (Rv. 15; Sv. 424; RBg. 719.)
Pasal
392.
(1) Para saksi
yang dipanggil, baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara perdata, dan
datang menghadap, baik pada persidangan maupun di luar itu, berhak mendapat
ganti rugi atas biaya perjalanan dan penginapan, menurut tarif yang telah ada
atau yang akan ditentukan.
(2) Hakim dan
pegawai polisi pengadilan harus memberitahukan kepada para saksi yang
menghadap, berapa besarnya ganti rugi yang patut mereka terima. (IR. 62, 105,
139, 258, 265, 287; RBg. 720.)
Pasal
393.
(1) Dalam
mengadili perkara di hadapan pengadilan negeri tidak boleh digunakan acara yang
lain atau yang lebih daripada yang ditentukan dalam reglemen ini.
(2) Tidak berlaku
lagi karena tidak sesuai dengan keadaan sekarang.
Pasal
294.
Jika Mahkamah Agung Indonesia menimbang baik diadakan
pemeriksaan setempat, supaya semua peraturan dalam reglemen ini berlaku dengan
tertib dan dituruti dengan patut, maka Mahkamah Agung itu akan mengajukan surat
yang berisi usul tentang hal itu kepada pemerintah (Gubemur Jenderal). (RO.
157.)
0 comments:
Post a Comment