Recent Comments

Sunday, 27 December 2015

Het Herziene Indonesisch Reglement(HIR).


(Het Herziene Indonesisch Reglement.)
Reglemen tentang melakukan tugas kepolisian, mengadili perkara
perdata dan penuntutan hukuman bagi bangsa Indonesia dan
bangsa Timur Asing di Jawa dan Madura.
Teks Reglemen ini menurut kekuasaan pada S. 1926-496 diumumkan lagi pada S. 1926-559. Perubahan penting diadakan dalam teks itu: pada S. 1941-31 jo. 98, penyusunan secara baru tentang penuntutan bagi orang yang bukan bangsa Eropa; pada S. 1941-32 jo. 98, perbaikan pemeriksaan pendahuluan dalam perkara pidana terhadap orang Indonesia dan bangsa Timur Asing. Bab VI diganti oleh dua yang baru. Selanjutnya teks itu diumumkan lagi pada S. 1941-44.

Anotasi :
Dalam Reglemen Indonesia yang Diperbarui (RIB) ini hanya dimuat hal-hal yang berkaitan dengan perkara perdata; hal-hal yang menyangkut perkara pidana diatur dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan peraturan pelaksanaannya.


I.
HAL MELAKUKAN TUGAS KEPOLISIAN

Bagian 2
Kepala Desa Dan Semua Bawahan Polisi yang Lain.

Pasal 3.
Di bawah pengawasan dan perintah kepala distrik, kepala desa wajib memelihara ketenteraman, keamanan umum dan ketertiban yang baik di desanya. (IR. 1-11, 2, 5 dst., 13 dst., 22 dst., 25 dst.; Sv. 1.)

Pasal 4.
(1)     Seminggu sekali, pada hari yang ditentukan, kepala desa wajib menghadap kepala distriknya untuk menyampaikan berita tentang hal-ihwal yang terjadi dalam minggu yang telah lewat, sedapat-dapatnya secara tertulis, kalau tidak secara lisan, kecuali kalau itu sudah diberitahukan terlebih dahulu menurut peraturan-peraturan berikut pada bagian ini.
(2)     Jika ada halangan yang sah, maka kepala desa hendaknya menyuruh seorang pejabat bawahannya sebagai penggantinya, atau jika pejabat yang demikian itu tidak ada, seorang lain yang cakap.
(3)     jika tugas menghadap sekali seminggu amat berat bagi kepala desa di suatu tempat, maka bupati boleh memberi kuasa kepada kepala distrik untuk menyuruh kepala desa itu menghadap sekali empat belas hari atau sekali sebulan. (IR. 6, 10, 15, 21, 28, 30, 305-)

Pasal 5.
Kepala desa harus menjalankan perintah atasannya dengan saksama. (IR. 2, 3, 25, 31, 36, 93; Sv. 1.)

Pasal 6
Ia wajib berusaha sedapat-dapatnya untuk mencegah orang-orang, yang memakai senjata yang lain dari biasa atau lebih dari yang biasa, berjalan bersama-sama, khususnya pada malam hari, jika orang-orang itu rupanya mempunyai maksud terlarang, dan la harus memberitahukan segala hal yang terjadi tentang itu kepada kepala distrik, (IR. 2, 3, 27.)

Pasal 7.
(1)     Jika ternyata perlu menurut pertimbangan bupati dan disetujui oleh residen, maka kepala desa wajib mengadakan jaga malam di dalam desanya serta memanggil sekalian penduduk desa yang baik untuk menjalankan tugas secara bergilir.
(2)     Kepala desa dilarang keras memberi kebebasan untuk tidak melakukan tugas, itu, kalau tidak ada alasan yang sah. (IR. 3, 27.)

Pasal 8.
Jika ditemukan tubuh -anusia yang tampaknya mati, tetapi rupanya masih bernyawa, maka haruslah dilakukan daya upaya dan penjagaan yang sebaik-baiknya menurut keadaan, dan kalau dapat, segera diminta pertolongan dokter. (IR. 2, 19, 69; Sv. 35 dst., 42.)

Pasal 9.
(1)     Tubuh manusia yang ditemukan dalam air, haruslah segera diangkat tanda kematian yang pasti, dari situ, dan jika ia tidak memperlihatkan tanda-tanda kematian yang pasti, haruslah diambil tindakan menurut cara yang sudah ditetapkan di atas.
(2)     Daya upaya dan penjagaan yang dimaksud di sini haruslah dilakukan dengan segera, walaupun kepala desa atau bawahan polisi yang lain belum hadir di tempat itu.

Pasal 10.
Kalau ada kebakaran, kepala desa hendaknya melakukan segala upaya untuk memadamkan api itu, dan ia wajib memberitahukan kebakaran itu dengan segera kepada kepala distrik. (IR. 30.)

Pasal 11.
(1)     Kepala desa hendaklah menjaga baik-baik supaya penduduk desanya jangan memberi tempat menginap kepada orang yang bukan penduduk desanya tanpa setahu dan seizinnya.
(2)     Jika kedapatan ada kejadian demikian maka kepala desa hendaklah mem beritahukan hal itu dengan segera kepada kepala distrik. (IR. 2, 4 1 17, 21.)

Pasal 12.
Jika diminta, kepala desa harus menyimpan barang-barang orang yang sedang dalam perjalanan dan bertanggung jawab atas barang-barang yang dititipkan itu. (KUHPerd. 1694 dst.)

Pasal 13.
(1)     Kepala desa hendaklah berikhtiar supaya penduduk desanya tetap tenteram dan rukun serta menjauhkan segala sesuatu yang dapat menyebabkan perselisihan dan perbantahan.
(2)     perselisihan kecil-kecil yang semata-mata menyangkut kepentingan-kepentingan Penduduk desa saja, sedapat-dapatnya hendaklah diperdamaikannya dengan tidak berpihak dan dengan mupakat orang tua-tua desa itu. (IR. 3, 14, 23, 130.)

Pasal 14.
Jika orang-orang yang berselisih itu tidak dapat diperdamaikan, atau jika perselisihan itu begitu penting, sehingga patut dikenakan hukuman atau ganti kerugian, maka kepala desa itu hendaklah mengirimkan kedua belah pihak itu kepada kepala distrik.

Pasal 15.
(1)     Kepala desa hendaklah dengan saksama mencatat nama, pekerjaan dan sedapat-dapatnya umur seluruh penduduk desanya dalam sebuah daftar atau lebih yang dipergunakan untuk itu; demikian juga segala perubahan keadaan penduduk karena kelahiran, perkawinan, kematian, kepergian dan sebab-sebab yang lain.
(2)     Pada hari menghadap yang sudah ditentukan, ia harus memberikan sehelai salinan daftar itu kepada kepala distrik tentang hal-hal yang sudah terjadi sejak hari menghadap yang terakhir. (IR. 11, 16 dst., 19, 29.)

Pasal 16.
Jika kepala desa sendiri tidak cakap menangani daftar itu, maka haruslah diurusnya, supaya tugas itu dilaksanakan oleh petugas keagamaan atau juru tulis desa. (IR. 15, 29.)

Pasal 17
(1)     Tanpa seizin kepala distrik, kepala desa tidak boleh mengizinkan siapa pun juga untuk berdiam di desanya, kecuali jika dua orang yang dianggap terbaik di antara penduduk desa itu menerangkan “bahwa yang hendak berdiam di antara mereka itu dikenalnya sebagai orang baik dn tidak jahat. (IR. 24.)
(2)     Perihal orang yang diizinkan itu hendaklah dituliskan dalam daftar yang disebut pada pasal 15. (IR. 11, 19.)

Pasal 18.
(1)     Kepala distrik hendaklah menjaga, supaya jangan ada seorang pun berdiam di luar lingkungan desa tanpa mendapat izin darinya lebih dahulu; izin itu tidak akan diberikannya, sebelum mendengar kepala desa yang bersangkutan. (IR. 24.)
(2)     Jika dianggap ada faedahnya atau perlunya diberi pemerintahan sendiri kepada pedukuhan yang terjadi demikian, maka kepala distrik, sesudah mendengar kepala desa yang bersangkutan, hendaklah mengemukakan hal itu dengan surat kepada bupati, dan bupati hendaklah menyampaikan surat itu kepada residen dengan menyatakan pendapatnya. (IR. 19, 30, 35; S. 1925-649.) tu


Pasal 19.
Kalau peraturan kedua pasal yang lalu tidak dapat dilakukan karena keadaan tempat atau karena keadaan yang lain, maka sesuai dengan perintah residen, bupati hendaklah berusaha sebaik-baiknya untuk menghindarkan segala sesuatu yang tidak baik bagi pelaksanaan tugas kepolisian, yang dapat terjadi karena penduduk tinggal bercerai-berai.

Pasal 20.
(1)     Tentang izin masuk dan izin bertempat tinggal bagi orang yang bukan bangsa Indonesia asli, haruslah diperhatikan peraturan khusus pemerintah yang telah ada atau yang akan diadakan. (IR. 2.)
(2)     Peratuan itu berlaku juga bagi bangsa Indonesia dan bangsa Timur Asing yang datang bertempat tinggal di tanah partikelir. (KUHPerd. 624; S. 1880-150.)

Pasal 21.
(1)     Dalam distrik di tempat diadakan pejabat polisi di bawah kepala distrik, tetapi di atas kepala desa, maka kepala desa itu akan menerima perintah kepala distrik dengan perantaraan pejabat polisi itu; selanjutnya kepala distrik itu akan menerima berita, rencana dan hal-hal lain yang harus dikirimkan kepadanya menurut peraturan dalam bagian ini dengan perantaraan pejabat polisi itu.
(2)     Walaupun demikian, kepala desa itu wajibjuga menghadap sendiri kepada kepala distrik menurut ketentuan pasal 4. (IR. 3, 5, 15, 17, 30.)

Pasal 22.
Umumnya kepala desa bertanggungjawab atas akibat buruk dari kejadian-kejadian yang karena jabatannya patut dijaganya supaya jangan terjadi atau harus dicegahnya, yaitu kalau penjagaan atau pencegahan itu ada dalam lingkup kekuasaannya. (IR. 3, 26.)

Pasal 23.
Kepala desa hendaklah bermupakat dengan orang tua-tua dalam desanya tentang segala urusan yang harus dimupakati menurut adat istiadat Indonesia.

BAB IX
HAL MENGADILI PERKARA PERDATA YANG TERMASUK WEWENANG PENGADILAN NEGERI


Anotasi :
Segala Pengadilan Kabupaten dihapus dg. UU I/Drt/1951.

Bagian 1
Pemeriksaan Perkara Dalam Persidangan.

115, 116 dan 117 tidak dimuat lagi karena Pengadilan Kabupaten ditiadakan oleh UU No. 1/Drt/I951 pasal 1 ayat (1) huruf 9.

Pasal 118.
(1)     Tuntutan (gugatan) perdata yang pada tingkat pertama termasuk lingkup wewenang pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat permintaan (surat gugatan) yang ditandatangan oleh penggugat, atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di tempat diam si tergugat, atau jika tempat diamnya tidak diketahui, kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggalnya yang sebenarnya. (KUHPerd. 15; IR. 101 .)
(2)     Jika yang digugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di daerah hukum pengadilan negeri yang sama, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri ditempat salah seorang tergugat yang dipilih oleh penggugat. Jika yang digugat itu adalah seorang debitur utama dan seorang penanggungnya maka tanpa mengurangi ketentuan pasal 6 ayat (2) “Reglemen Susunnan Kehakiman dan Kebijaksanaan mengadili di Indonesia”, tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal debitur utama atau salah Seorang debitur utama.
(3)     Jika tidak diketahui tempat diam si tergugat dan tempat tinggalnya yang sebernarnya, atau jika tidak dikenal orangnya, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat, atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap, diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang tersebut.
(4)     Jika ada suatu tempat tinggal yang dipilih dengan surat akta, maka penggugat, kalau mau, boleh mengajukan tuntutannya kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal yang dipilih itu. (Ro. 95-11, 4′, 5′; KUHPerd. 24; Rv. 1, 99; IR. 133, 238.)

Pasal 119.
Ketua pengadilan negeri berkuasa memberi nasihat dan bantuan kepada pengugat atau wakilnya dalam hal mengajukan tuntutan.

Pasal 120.
Jika penggugat tidak cakap menulis, maka tuntutan boleh diajukan secara lisan kepada ketua pengadilan negeri; Ketua itu akan mencatat tuntutan itu atau menyuruh mencatatnya. (IR. 101, 186 dst., 207, 209, 238.)

Pasal 120a.
(s.d.u. dg. S. 1935-102.)
(1)     Jika tuntutan itu berhubungan dengan perkara, pengadilan yang sudah diputuskan oleh hakim desa, penggugat harus menyebutkan isi keputusan itu dalam tuntutannya; kalau dapat, salinan keputusan itu hendaklah disertakan. (RO. 3a.)
(2)     Pada waktu atau sesudah tuntutan itu diterima atau pada waktu persidangan dimulai, ketua pengadilan negeri akan mengingatkan penggugat mengenai kewajibnya, yang diterangkan dalam ayat (1).

Pasal 121.
(1)     Sesudah surat tuntutan yang diajukan itu atau catatan yang dibuat itu didaftarkan oleh panitera pengadilan dalam daftar untuk itu, maka ketua itu akan menentukan hari dan jam perkara itu akan diperiksa di muka pengadilan negeri, dan memerintahkan pemanggilan kedua belah pihak, supaya hadir pada yang ditentukan itu disertai oleh saksi-saksi yang mereka kehendaki untuk diperiksa, dengan membawa segala surat keterangan yang hendak dipergunakan. (IR. 237 v.)
(2)     Ketika memanggil si tergugat, hendaklah diserahkan juga sehelai salinan surat tuntutan, dengan memberitahukan bahwa ia, kalau mau, boleh menjawab tuntutan itu dengan surat. (IR. 123, 388 dst.)
(3)     Perintah yang disebut dalam ayat pertama itu dicatat dalam daftar yang disebut dalam ayat itu, demikian juga pada surat tuntutan asli.
(4)     (s.d.t. dg. S. 1927-248 jo 338.) Pencatatan dalam daftar termaksud dalam ayat (1), tidak boleh dilakukan, kalau kepada panitera pengadilan belum dibayar sejumlah uang, yang untuk sementara banyaknya ditaksir oleh ketua pengadilan negeri menurut keadaan untuk biaya kantor panitera pengadilan dan biaya panggilan serta pemberitahuan yang dilakukan kepada kedua belah pihak dan harga meterai yang akan dipakai; uang yang dibayar itu akan diperhitungkan kemudian.

Pasal 122.
Dalam menentukan hari persidangan, ketua hendaklah mengingat jauhnya tempat diam atau tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat pengadilan negeri bersidang, dan waktu antara hari pemanggilan kedua belah pihak dan hari persidangan lamanya tidak boleh kurang dari tiga hari kerja, kecuali jika perkara itu perlu benar lekas diperiksa dan hal itu disebutkan dalam surat perintah itu. (IR. 118, 390, 391.)

Pasal 123.
(1)     (s. d. t. dg. S. 1932-13.) Kedua belah pihak, kalau mau, masing-masing boleh dibantu atau diwakili oleh seseorang yang harus dikuasakannya untuk itu dengan surat kuasa khusus, kecuali kalau pemberi kuasa itu sendiri hadir. Penggugat dapat juga memberi kuasa itu dalam surat permintaan yang ditandatanganinya dan diajukan menurut pasal 118 ayat (1) atau pada tuntutan yang dikemukakan dengan lisan menurut pasal 120; dan dalam hal terakhir ini, itu harus disebutkan dalam catatan tentang tuntutan itu.
(2)     Pejabat yang karena peraturan umum dari pemerintah harus mewakih negara dalam perkara hukum, tidak perlu memakai surat kuasa khusus itu.
(3)     Pengadilan negeri berkuasa memberi perintah, supaya kedua belah pihak, yang diwakili oleh kuasanya pada persidangan, datang menghadap sendiri.
Kekuasaan itu tidak berlaku bagi Pemerintah (Gubernur Jenderal). (KUHPerd. 1793; Rv. 107, 788; IR. 118, 254;S. 1922-522.)

Pasal 124.
Jika penggugat tidak datang menghadap pengadilan negeri pada halri yang ditentukan itu, meskipun ia dipanggil dengan sah, pula tidak menyurub orang lain menghadap sebagai wakilnya, maka tuntutannya dianggap gugur dan ia dihukum membayar biaya perkara; tetapi ia berhak mengajukan gugatannya sekali lagi, sesudah membayar biaya tersebut. (RV. 77; IR. 85, 102, 122 dst,, 126.)

Pasal 125.
(1)     Jika tergugat, meskipun dipanggil dengan sah, tidak datang pada hari yang ditentukan, dan tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, maka tuntutan itu diterima dengan keputusan tanpa kehadiran (verstek), kecuali kalau nyata bagi pengadilan negeri bahwa tuntutan itu melawan hak atau tiada beralasan. (RV. 78; IR. 102, 122 d,t.)
(2)     Akan tetapi jika si tergugat, dalam surat jawabannya tersebut pada pasal 121, mengemukakan eksepsi (tangkisan) bahwa pengadilan negeri tidak berkuasa memeriksa perkaranya, maka meskipun ia sendiri atau wakilnya tidak datang, wajiblah pengadilan negeri mengambil keputusan tentang eksepsi itu, sesudah mendengar penggugat itu; hanya jika eksepsi itu tidak dibenarkan, pengadilan negeri boleh memutuskan perkara itu.
(3)     Jika tuntutan diterima, maka keputusan pengadilan atas perintah ketua, harus diberitahukan kepada si terhukum, dan harus diterangkan bahwa ia berhak mengajukan perlawanan terhadap keputusan pula kepadanya, putusan tak hadir di muka majelis pengadilan itu dalam waktu dan dengan cara yang ditentukan pada pasal 129.
(4)     Panitera pengadilan negeri akan mencatat dibawah keputusan tak hadir itu siapa yang diperintahkan menyampaikan pemberitahuan dan keterangan itu, baik dengan surat maupun dengan lisan.

Pasal 126.
Dalam hal tersebut pada kedua pasal di atas ini, pengadilan negeri, sebelum menjatuhkan keputusan, boleh memerintahkan supaya pihak yang tidak datang dipanggil sekali iagi untuk menghadap pada hari persidangan lain, yang diberitahukan oleh ketua dalam persidangan kepada pihak yang datang; bagi pihak yang datang itu, pemberitahuan itu sama dengan panggilan.

Pasal 127.
Jika seorang tergugat atau lebih tidak menghadap dan tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, maka pemeriksaan perkara itu akan ditangguhkan sampai pada hari persidangan lain, yang tidak lama sesudah hari itu penangguhan itu diberitahukan dalam persidangan kepada pihak yang hadir, dan bagi mereka pemberitahu,, itu sama dengan panggilan; sedang si tergugat yang tidak datang, atas perintah ketua, harus dipanggil sekali lagi untuk menghadap pada hari persidangan yang lain. Pada hari itulah perkara itu diperiksa, dan kemudian diputuskan bagi sekalian pihak dengan satu keputusan, yang terhadapnya tak boleh diadakan perlawanan keputusan tanpa kehadiran. (RV. 81.)

Pasal 128.
(1)     Keputusan hakim yang dijatuhkan dengan keputusan tanpa kehadiran, tidak boleh dijalankan sebelum lewat empat belas hari sesudah pemberitahuan tersebut pada pasal 125.
(2)     Jika sangat perlu, atas permintaan penggugat, entah permintaan lisan entah permintaan tertulis, ketua boleh memerintahkan supaya keputusan hakim itu dilaksanakan sebelum lewat jangka waktu itu, entah dalam keputusan itu, sentah sesudah keputusan itu dijatuhkan (RV. 82.)

Pasal 129.
(1)     Tergugat yang dihukum dengan keputusan tanpa kehadiran dan tidak menerima keputusan itu, boleh mengajukan perlawanan.
(2)     Jika keputusan hakim itu diberitahukan kepada orang yang kalah itu sendiri, maka perlawanan itu hanya boleh diterima dalam empat belas hari sesudah pemberitahuan itu. Jika keputusan hakim itu diberitahukan bukan kepada orang yang kalah itu sendiri, maka perlawanan itu boleh diterima sampai pada hari kedelapan sesudah teguran tersebut pada pasal 196, atau dalam hal ia tidak menghadap sesudah dipanggil dengan patut, sampai pada hari kedelapan sesudah dijalankan surat perintah ketua tersebut pada pasal 197. (RV. 83.)
(3)     Tuntutan perlawanan itu diajukan dan diperiksa dengan cara biasa bagi perkara perdata.
(4)     Jika tuntutan perlawanan itu telah diajukan kepada pengadilan negeri, maka keputusan hakim itu tak boleh dilaksanakan untuk sementara waktu, kecuali jika diperintahkan menjalankannya walaupun ada perlawanan. .
(5)     Jika kepada tergugat dijatuhkan keputusan tanpa kehadiran untuk kedua kalinya, maka kalau ia memajukan pula perlawanan terhadap keputusan tanpa kehadiran, perlawanannya itu tidak akan diterima.

Pasal 130.
(1)     Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak menghadap, maka pengadilan negeri, dengan perantaraan ketuanya, akan mencoba memperdamaikan mereka itu. (IR. 239.)
(2)     Jika perdamaian terjadi, maka tentang hal itu, pada waktu sidang, harus dibuat sebuah akta, dengan mana kedua belah pihak diwajibkan untuk memenuhi perjanjian yahg dibuat itu; maka surat (akta) itu berkekuatan dan akan dilakukan sebagai keputusan hakim yang biasa. (RV. 31; IR. 195 dst.)
(3)     Terhadap keputusan. yang demikian tidak diizinkan orang minta naik banding.
(4)     Jika pada waktu mencoba memperdamaikan kedua belah pihak itu perlu dipakai seorang juru bahasa, maka dalam hal itu hendaklah dituruti peraturan pasal berikut.

Pasal 131.
(1)     Jika kedua belah pihak datang, tetapi tidak dapat diperdamaikan (hal ini harus disebutkan dalam berita acara persidangan), maka surat yang diajukan oleh kedua pihak itu harus dibacakan, dan jika salah satu pihak tidak mengerti akan bahasa yang dipakai dalam surat itu, maka surat itu harus diterjemahkan ke dalam bahasa pihak yang tidak mengerti itu oleh seorang juru bahasa yang ditunjuk oleh ketua. (IR. 86, 103, 137.)
(2)     Sesudah itu, pengadilan negeri memeriksa penggugat dan tergugat, kalau perlu dengan memakai seorang juru bahasa pula. (IR. 135, 186; S. 1858-15.)
(3)     Juru bahasa itu, jika ia bukan juru bahasa pengadilan negeri yang sudah disumpah, harus disumpah di hadapan ketua, bahwa ia akan menerjemahkan apa yang harus diterjemahkan itu dengan tulus.
(4)     Pasal 154 ayat (3) berlaku juga bagi juru bahasa. (RV. 33, 47; IR. 284.)

Pasal 132.
Jika dianggap perlu oleh ketua demi kebaikan dan keteraturan jalannya pemeriksaan perkara, maka pada waktu memeriksa perkara, ia berhak untuk memberi nasihat kepada kedua belah pihak dan untuk menunjukkan upaya hukum dan keterangan yang dapat mereka pergunakan.

Pasal 132a.
(s.d.t. dg. S. 1927-300.)
(1)     Dalam tiap-tiap perkara, tergugat berhak mengajukan tuntutan balik, kecuali: (RV. 244.)
1.      bila penggugat semula itu menuntut karena suatu sifat, sedang tuntutan balik itu mengenai dirinya sendiri, atau sebaliknya; (KUHPerd. 383, 452, 1655 dst.)
2.      bila pengadilan negeri yang memeriksa tuntutan asal tak berhak memeriksa tuntutan balik itu, berhubung dengan pokok perselisihan itu; (ISR. 136; RO. 95.)
3.      dalam perkara perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim. (IR. 207.)
(2)     Jika dalam pemeriksaan pada tingkat pertama tidak diajukan tuntutan balik, maka dalam banding tak boleh lagi diajukan tuntutan itu.

Pasal 132b.
(s.d.t. dg. S. 1927-300.)
(1)     Si tergugat wajib memasukkan tuntutan balik ber-sama-sama dengan jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan. (Rv. 245.)
(2)     Untuk tuntutan balik itu berlaku pula peraturan-peraturan dalam bagian ini,
(3)     Kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu keputusan hakim, kecuali kalau pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara yang satu dapat diselesaikan lebih dahulu daripada yang lain; dalam hal ini, kedua perkara itu boleh diperiksa satu per satu, tetapi tuntutan asal dan tuntutan balik yang belum diputuskan itu tetap diperiksa oleh hakim yang sama, sampai qatuhkan keputusan terakhir. (Rv. 246.)
(4)     Orang boleh naik banding, jika banyaknya uang dalam tuntutan asal di. tambah uang dalam tuntutan balik lebih daripada jumlah uang yang boleh diputuskan oleh pengadilan negeri sebagai hakim yang tertinggi. (Rv. 247.)
(5)     Bila kedua perkara itu dipisahkan dan diputuskan sendiri-sendiri, maka harus dituruti peraturan biasa tentang hak naik banding itu. (Rv. 247.)

Pasal 133.
Jika si tergugat dipanggil menghadap pengadilan negeri, sedang menurut peraturan pasal 118 ia tak usah menghadap pengadilan negeri itu, maka bolehlah ia meminta supaya hakim menyatakan diri tidak berwenang dalam hal itu, asal saja permintaan itu diajukan dengan segera pada permulaan persidangan hari pertama; permintaan itu tidak akan diperhatikan lagi, jika si tergugat telah mengadakan suatu perlawanan lain. (Rv. 131; IR. 136, 191.)

Pasal 134.
Jika perselisihan itu adalah suatu perkara yang tidak termasuk wewenang pengadilan negeri, maka pada sembarang waktu dalam pemeriksaan perkara itu, boleh diminta supaya hakim mengaku tidak berwenang, dan hakim itu pun, karena jabatannya, wajib pula mengaku tidak berwenang. (Rv. 132; IR. 136, 190.)

Pasal 135.
Jika tidak ada jawaban yang menyatakan hakim itu tidak berwenang, atau jika jawaban demikian ada tetapi ditimbang tidak benar, maka pengadilan negeri, sesudah mendengar kedua belah pihak, harus segeta memeriksa dengan seksama dan adil kebenaran tuntutan yang dibantah itu dan sahnya pembelaan terhadap tuntutan itu. (Rv. 47; IR. 131, 155 dst.)

Pasal 135a.
(s.d.t. dg. S. 1935-102.)
(1)     Jika tuntutan itu menyangkut perkara pengadilan yang sudah diputuskan oleh hakim desa, maka Pengadilan negeri harus mengetahui keputusan itu, dan sedapat-dapatnya juga alasan-alasannya.
(2)     Jika tuntutan itu menyangkut perkara pengadilan yang belum diputuskan oleh hakim desa, sedang pengadilan negeri memandang ada faedahnya perkara itu diputuskan oleh hakim desa, maka hal itu diberitahukan oleh ketua kepada penggugat dengan memberikan selembar surat keterangan; pemeriksaan perkara itu lantas diundurkan sampai pada hari persidangan berikut, yang akan ditetapkan oleh ketua, kalau perlu atas kuasa jabatannya.
(3)     Jika hakim desa telah menjatuhkan keputusan, maka bila penggugat menghendaki pemeriksaan itu dilanjutkan, haruslah ia memberitahukan isi keputusan itu kepada pengadilan negeri, sedapat mungkin dengan memberikan salinannya; sesudah itu, barulah pemeriksaan perkara itu dilanjutkan.
(4)     Jika dua bulan sesudah penggugat mengajukan perkaranya hakim desa belum juga menjatuhkan keputusan, maka atas permintaaan penggugat, perkara itu akan diperiksa kembali oleh pengadilan negeri.
(5)     Jika penggugat, menurut pertimbangan hakim, tidak dapat memberi cukup alasan yang dapat diterima tentang penolakan hakim desa untuk menatuhkan keputusan, maka hakim itu harus meyakini keadaan itu karena jabatan.
(6)     Jika ternyata bahwa penggugat tidak membawa perkara itu kepada hakim desa, maka gugatannya dianggap gugur. (RO. 3a.)

Pasal 136.
Eksepsi (tangkisan) yang dikemukakan oleh si tergugat, kecuali tentang hal hakim tidak berwenang, tidak boleh dikemukakan dan ditimbang sendirisendiri, melainkan harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara. (Rv. 135 dst.; IR. 133 dst.)

Pasal 137.
Masing-masing pihak boleh menuntut untuk melihat surat keterangan Pihak lawannya, yang harus diserahkan kepada hakim untuk maksud itu. (IR. 137.)

Pasal 138.
(1)     Jika salah satu pihak membantah kebenaran surat keterangan yang diserahkan pihak lawannya, maka pengadilan negeri boleh memeriksa hal itu; sesudah pemeriksaan itu, harus diputuskannya, apakah surat itu boleh dipakai atau tidak.
(2)     Jika ternyata bahwa dalam pemeriksaan itu perlu digunakan surat yang dipegang oleh penyimpan umum, maka pengadilan negeri akan memerintahkan supaya surat itu diperlihatkan kepada pengadilan negeri di persidangan yang perkara itu akan ditentukan untuk itu.
(3)     jika ada keberatan untuk memperlihatkan surat itu, baik karena sifat surat itu, maupun karena jauhnya tempat tinggal penyimpan itu, maka pengadilaii negeri akan memerintahkan, supaya pemeriksaan itu dijalankan oleh pengadilan negeri atau oleh kepala pemerintahan setempat (asisten-residen) di tempat tinggal Si penyimpan itu, atau supaya surat itu dikirimkan kepada ketua itu menurut cara yang akan ditentukan olehnya. Pengadilan negeri tersebut terakhir atau kepala pemerintahan setempat itu harus membuat beiita acara pemeriksaan itu dan mengirimkannya kepada pengadilan negeri tersebut pertama.
(4)     Si penyimpan yang tanpa alasan yang sah tidak menaati perintah untuk memperlihatkan atau mengirimkan surat itu, boleh dipaksa dengan paksaan badan untuk memperlihatkan atau mengirimkan surat itu, yaitu atas permintaan pihak yang berkepentingan dan atas perintah ketua pengadilan negeri yang wajib memeriksa surat itu atau perintah kepala pemerintahan setempat (asisten-residen) yang diminta untuk menjalankan pemeriksaan itu.
(5)     Jika surat itu tidak menjadi bagian sebuah daftar, maka penyimpan sebelum memperlihatkan atau mengirimkannya, harus membuat salinannya sebagai pengganti surat asli selama surat itu belum diterima kembali. Di bawah salinan itu oleh si penyimpan harus dicatat sebab salinan itu dibuat, dan pada grosse dan salinan yang akan diberikan dari surat itu harus disebut catatan itu.
(6)     Semua biaya untuk itu harus dibayar kepada si penyimpan oleh pihak yang mengajukan surat yang dibantah itu, banyaknya biaya itu ditaksir oleh ketua pengadilan negeri yang memutuskan perkara itu.
(7)     Jika pemeriksaan tentang surat yang diajukan itu menimbulkan dugaan bahwa surat itu dipalsukan oleh orang yang masih hidup, maka pengadilan negeri akan menjalankan segala surat perkara kepada pejabat yang berkuasa menuntut kejahatan itu.
(8)     Perkara yang diajukan ke pengadilan negeri, ditangguhkan dulu sampai diambil keputusan mengenai perkara pidana itu. (Rv. 148 dst., 165; Sv. 231 dst.)

Pasal 139.
(1)     Jika penggugat menghendaki kebenaran tuntutannya diteguhkan denngan saksi, atau tergugat menghendaki kebenaran perlawanannya diteguhkan saksi, tetapi saksi itu tidak dapat dibawa menurut peraturan pasal 121 karena tidak mau menghadap atau karena sebab lain, maka pengadilan negeri harus menentukan hari persidangan lain untuk memeriksa saksi, dan harus menyuruh seorang pegawai yang berwenang untuk memanggil saksi yang tidak mau menghadap itu.
(2)     panggilan serupa disampaikan juga kepada saksi yang menurut perintah yang diberikan karena jabatannya akan diperiksa oleh pengadilan negeri. (Sv. 133; IR. 116, 392.)

Pasal 140.
(1)     Jika saksi yang dipanggil dengan cara demikian juga tidak datang pada hari yang ditentukan, maka ia harus dihukum oleh pengadilan negeri untuk membayar segala biaya yang telah dikeluarkan dengan sia-sia. (KUHP 522.)
(2)     la harus dipanggil sekali lagi atas biaya sendiri. (Rv. 184; Sv. 134; IR. 116, 142, 143, 149, 260, 263.)

Pasal 141.
(1)     Jika saksi yang dipanggil sekali lagi itu tidak juga datang, maka ia harus dihukum sekali lagi membayar biaya yang dikeluarkan dengan sia-sia itu, dan mengganti segala kerugian yang diderita kedua pihak karena ia tidak datang. (KUHPerd. 1366; IR. 143.)
(2)     Tambaban lagi, ketua dapat memerintahkan, supaya saksi yang tidak datang itu dibawa polisi menghadap pengadilan negeri untuk memenum kewajibann-a. (Rv. 185; IR. 116, 142, 149, 261, 263.)

Pasal 142.
Jika saksi yang tidak datang itu menerangkan, bahwa ia tidak dapat memenuhi panggilan itu karena alasan yang sah, maka sesudah diterangkannya hal itu, pengadilan negeri wajib meghapuskan hukuman yang ddatuhkan kepadanya. (Rv. 187; Sv. 135; IR. 116, 140 dst.)

Pasal 143.
(1)     Siapa pun tidak boleh dipaksa menghadap pengadilan negeri untuk memberikan kesaksian dalam perkara perdata, jika pengadilan berkedudukan di luar keresidenan tempat saksi itu berdiam atau bertempat tinggal.
(2)     Jika saksi yang demikian dipanggil, tapi tidak datang, maka tidak boleh ia dihukum karena itu, pemeriksaan harus dilimpahkan kepada pengadilan negeri (atau mahkamah pengadilan Indonesia yang setingkat), yang dalam daerah hukumnya saksi itu berdiam atau tinggal dan majelis itu wajib segera mengirimkan berita acara pemeriksaan itu kepada pengadilan negeri yang memeriksa perkara itu. (Sv. 57; IR. 140 dst.)
(3)     Pelimpahan yang demikian boleh juga langsung dilakukan tanpa harus memanggil saksi itu lebih dulu. (RO. 33.)
(4)     Berita acara itu dibacakan dalam persidangan.

Pasal 144.
(1)     Saksi-saksi yang datang pada hari yang ditentukan itu dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang.
(2)     Ketua akan menanyakan nama, pekerjaan, umur, dan tempat berdiam atau tempat tinggal masing-masing saksi, ia akan menanyakan pula, adakah mereka berkeluarga sedarah atau semenda dengan salah satu atau kedua belah pihak, dan jika benar demikian, dalam derajat keberapa; selain itu, akan ditanyakannya pula, adakah mereka menjadi pembantu salah satu pihak. (Rv. 177; Sv. 139; IR. 122, 265.)

Pasal 145.
(1)     yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah:
1.      keluarga sedarah dan keluarga semenda salah satu pihak dalam garis lurus;
2.      istri atau suami salah satu pihak, meskipun sudah bercerai;
3.      anak-anak yang umumnya tidak dapat diketahui pasti, bahwa mereka sudah berusia Lima belas tahun;
4.      orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang.
(2)     Akan tetapi keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi dalam perkara tentang keadaan menurut hukum perdata kedua pihak yang berperkara atau tentang suatu perjanjian kerja.
(3)     Orang tersebut dalam pasal 146 pada nomor 10 dan 20, tidak berhak mengundurkan diri dari tugas memberi kesaksian dalam perkara tersebut dalam ayat di atas ini.
(4)     Pengadilan negeri berkuasa untuk melakukan pemeriksaan tanpa sumpah terhadap anak-anak tersebut pada ayat pertama atau orang gila yang kadangkadang ingatannya terang; tetapi keterangan mereka itu hanya boleh dipandang sebagai pewelasan saja. (KUHPerd. 1910, 1912; Sv. 145, 147, 149; IR. 274, 278,)

Pasal 146.
(1)     yang boleh mengundurkan diri dari memberi kesaksian adalah: (KUHPerd. 1909; Sv. 145, 148; IR. 148, 274.)
1.      saudara dan ipar dari salah satu pihak, baik laki-laki maupun perempuan;
2.      keluarga sedarah dalam garis lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau istri salah satu pihak;
3.      sekalian orang yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal yang diberitahukan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya itu. (IR. 277.)
(2)     Pengadilan negerilah yang akan menimbang benar tidaknya keterangan seorang, bahwa ia diwajibkan menyimpan rahasia. (Sv. 148; IR. 149, 277.)

Pasal 147.
Jika saksi itu tidak mengundurkan diri dari tugas memberi kesaksian, atau jika pengundurannya dinyatakan tidak beralasan, maka sebelum memberi keterangan, ia harus disumpah menurut agamanya. (KUHPerd. 1991; Rv. 177 dst.; Sv. 139; IR. 88, 109, 144, 148, 265, 299, 381; S. 1920-69.)

Pasal 148.
Kecuali dalam hal tersebut pada pasal 146, jika seorang saksi menghadap persidangan tetapi enggan disumpah atau enggan memberi keterangan, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan, -ketua boleh memberi perintah, supaya saksi itu disandera atas biaya pihak yang berkepentingan itu, sampai saksi itu memenuhi kewajibannya. (Rv. 186; Sv. 53, 156; IR. 147, 262 dst.; S. 1920-69.)

Pasal  149
Jika saksi yang dipanggil itu termasuk bangsa Eropa, maka hukuman tersebut dalam pasal 140 dan dalam pasal 141 ayat (1), perintah tersebut dalam pasal 141 ayat (2), serta keputusan tersebut pada pasal 146 ayat penghabisan, dijatuhkan oleh ketua sendiri tanpa bantuan hakim anggota bangsa Indonesia. (IR. 263, 277.)

Pasal 150.
(1)     Pertanyaan yang ingin diajukan oleh salah satu pihak kepada saksi, hmm diberitahukan kepada ketua.
(2)     Jika di antara pertanyaan itu ada yang tidak berguna dalam perkara itu menurut pertimbangan pengadilan, maka pertanyaan itu tidak boleh diajukan kepada saksi.
(3)     Atas kemauannya sendiri, hakim boleh mengajukan kepada saksi itu semua pertanyaan yang ditimbangnya berguna untuk mencapai kebenaran. (Rv. 171 dst.; Ig. 86, 103, 122, 151 dst., 268.)

Pasal 151.
Penuturan pada pasal 284 dan 285 tentang saksi dalam perkara pidana, berlaku juga dalam hal ini. (IR. 150.)

Anotasi: pasal-pasal tersebut berbunji sebagai berikut:

Pasal 284.
(1)     Jika tertuduh atau saksi tidak paham akan bahasa yang digunakan dalam pemeriksaan pengadilan itu, maka ketua harus mengangkat seorang juru bahasa, dan menyuruh dia bersumpah – kalau ia bukan juru bahasa pengadilan negeri yang memang sudah disumpah – akan menerjemahkan dengan benar apa yang harus diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain.
(2)     Barang siapa yang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara, juga tidak boleh menjadi juru bahasa dalam dalam perkara itu.

Pasal 285.
(1)     Jika tertuduh itu bisu-tuli dan tidak pandai menulis, maka ketua harus mengangkat orang yang pandai bergaul dengan tertuduh itu sebagai juru bahasa, asal saja orang itu sudah cukup umur untuk menjadi saksi.
(2)     Demikian pula harus diperbuat, jika seorang saksi bisu-tuli dan tidak pandai menulis.
(3)     Jika yang bisu-tuli itu pandai menulis, maka ketua harus menyuruh menuliskan semua pertanyaan atau teguran kepadanya, dan menyuruh menyampaikan tulisan itu kepada tertuduh atau saksi yang bisu-tuli itu, dengan perintah untuk menuliskanjawabannya; kemudian semuanya harus dibacakan.
(4)     Peraturan pasal ini berlaku juga bag orang yang untuk sementara tidak dapat mendengar atau bicara.

Pasal 152.
Keterangan saksi yang diperiksa dalam suatu persidangan dicatat dalam berita acara persidangan itu oleh panitera pengadilan. (Rv. 209; Sv. 141, 176; IR. 150, 186, 322.)

Pasal 153.
(1)     Jika dipandang perlu atau berfaedah, ketua boleh mengangkat satu atau dua komisaris dari dewan itu, yang dengan bantuan panitera pengadilan akan melihat tempat atau merupakanan pemenksaan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan bagi hakim.
(2)     Panitera pengadilan hendaklah membuat berita acara tentang pekerjaan itu dan hasilnya; berita acara itu harus ditandatangani oleh komisaris dan panitera pengadila itu. (Rv. 211 dst.; IR. 190.)

Pasal 154.
(1)     Jika pengadilan negeri menganggap perkara itu dapat menjadi lebih terang kalau diperiksa atau dilihat oleh ahli, maka ia dapat mengangkat ahli itu, baik atas permintaan kedua pihak, maupun karena jabatannya. (Rv. 215 dst.; IR. 190.)
(2)     Dalam hal demikian, akan ditentukan hari persidangan, supaya pada hari itu ahli itu memberi laporan, baik dengan surat maupun dengan lisan, dan meneguhkan laporan itu dengan sumpah. (Rv. 217, 225.)
(3)     Orang yang tak boleh didengar sebagai saksi tidak boleh diangkat jadi ahli (Rv. 218; IR. 131, 145 dst.)
(4)     Pengadilan negeri sama sekali tidak wajib menuruti pendapat ahli itu, jika pendapat itu berlawanan dengan keyakinannya. (Rv. 229; IR. 138; S. 1858-15; S. 1866-108.)

Pasal 155.
(1)     Jika kebenaran tuntutan atau kebenaran pembelaan atas itu tidak cukup terbukti, tetapi tidak pula sama sekali tidak terbukti dan tidak mungkin dengan upaya pembuktian yang lain, maka pengadilan negeri, ka-na boleh menyuruh salah satu pihak bersumpah di hadapan hakim, supaya dengen sumpah itu dapat diputuskan perkara itu atau dapat ditentukan jumlah uang yang dikabulkan.
(2)     Dalam hal terakhir ini, pengadilan negeri harus menentukan jumlah uang yang dapat dipercaya sebagai hak penggugat karena sumpahnya. (KUHPerd. 1940; IR. 135, 156 dst., 177, 381.)

Pasal 156.
(1)     Sekalipun tidak ada suatu barang bukti yang dibawa untuk meneguhkan tuntutan atau perlawanan atas tuntutan itu, boleh juga salah satu pihak meminta pihak lain bersumpah di hadapan hakim, supaya dengan sumpah itu dapat diputuskan perkara itu, asal sumpah itu menyangkut suatu perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang kepada sumpahnya bergantung keputusan perkara itu. (KUHPerd. 1929, 1931; IR. 155, 157 dst., 177.)
(2)     Jika perbuatan itu satu perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, maka pihak yang tidak mau bersumpah boleh mengembalikan sumpah itu kepada pihak lawannya. (KUHPerd. 1933.)
(3)     Barangsiapa disuruh bersumpah tetapi enggan bersumpah atau enggan mengembalikan sumpah itu kepada pihak lawannya, dan barangsiapa menyuruh bersumpah tetapi enggan bersumpah sesudah sumpah itu dikembalikan kepadanya, harus dikalahkan. (KUHPerd. 1932; Rv. 52.)

Pasal 157.
Sumpah itu, baik yang diperintahkan oleh hakim, maupun yang dituntut atau dikembalikan oleh salah satu pihak kepada pihak lain, harus diangkat sendiri, kecuali kalau pengadilan negeri karena alasan yang penting, memberi izin kepada satu pihak untuk menyuruh bersumpah seorang wakilnya yang dikuasakan untuk mengangkat sumpah itu; kuasa itu hanya boleh diberi dengan akta otentik yang memuat sumpah yang akan diangkat itu secara tepat dan lengkap. (KUHPerd. 1793, 1945; IR. 155 dst., 158; S. 1920-69.)

Pasal 158.
(1)     Pengangkatan sumpah itu hanya boleh dilakukan dalam persidangan pengadilan negeri, kecuali jika hal itu tidak dapat dilangsungkan karena ada halangan yang sah; dalam hal yang demikian, ketua pengadilan negeri boleh memberi kuasa kepada salah seorang anggota, supaya dengan bantuan panitera pengadilan yang akan membuat berita acara tentang hal itu, disumpahnya pihak yang berhalangan itu di rumahnya. (KUHPerd, 1944; IR. 381.)
(2)     Sumpah itu hanya boleh diambil di hadapan pihak yang lain, atau sesudah pihak itu dipanggil dengan sah. (KUHPerd. 1945; Rv. 52.)

Pasal 159.
(1)     Jika suatu perkara tidak dapat diselesaikan pada hari persidangan pertama, maka pemeriksaan perkara itu diundurkan sampai pada hari persidangan lain, yang sedapat-dapatnya tidak berapa lama kemudian, dan demikian juga seterusnya. (Rv. 25.)
(2)     Pengunduran itu harus diberitahukan dalam persidangan di hadapan kedua belah pihak; bagi mereka keputusan itu berlaku sebagai panggilan.
(3)     Jika salah satu pihak yang datang pada hari persidangan pertama tak datang di persidangan kemudian, pada waktu mana diperintahkan penangguhan yang baru, maka ketua pengadilan wajib menyuruh memberitahukan kepada pihak itu, jalan persidangan akan dilanjutkan. (Rv. 109.)
(4)     Penangguhan tidak boleh diberi alas permintaan kedua belah pihak, pula tidak boleh diperintahkan oleh pengadilan negeri karena jabatannya kalau tidak perlu benar. (Rv. 127; Sv. 133, 165; IR. 260.)

Pasal 160.
(1)     Jika pada waktu perkara ada suatu perbuatan yang harus dilakukan, sedang biayanya menurut pasal 182 harus dibebankan kepada pihak yang kalah, maka ketua boleh memerintahkan supaya salah satu pihak lebih dahulu membayar biaya itu di kantor panitera pengadilan, tanpa mengurangi hak pihak yang lain untuk membayar dulu atas kemauannya sendiri.
(2)     Jika kedua belah pihak enggan membayar dahulu dan percuma saia ketua memberi nasihat untuk itu, maka perbuatan yang diperintahkan itu, kecuali jika diwajibkan oleh undang-undang, tidak dilakukan dan pemeriksaan perkara diteruskan, kalau perlu pada persidangan lain, yang akan ditetapkan oleh ketua dan diberitahukan kepada kedua belah pihak.

Pasal 161.
(1)     Jika perkara itu sudah diselesaikan sedemikian rupa sehingga semua hal menjadi jelas, entah dalam persidangan pertama, atau dalam persidangan kemudian, maka pengadilan negeri menyuruh keluar kedua belah pihak, para saksi dan para pendengar, lalu meminta pertimbangan penasihat, yang hadir pada waktu perkara itu diperiksa dalam persidangan menurut pasal 7 “Reglemen susunan kehakiman dan kebbaksanaan mengadili di Indonesia” (RO.). (RO; 7; Sv. 166; IR. 116.)
(2)     Kemudian diadakan permusyawaratan dan diambil keputusan menurut peraturan pasal 39 dan 40, “Reglemen Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan mengadili di Indonesia (RO.).

Bagian 2
Bukti.

Pasal 162.
Tentang bukti dan hal menerima atau menolak alat bukti dalam perkara perdata, pengadilan negeri wajib memperhatikan peraturan pokok tersebut di bawah ini. (IR. 293 dst.)

Pasal 163.
Barangsiapa mengaku mempunyai suatu hak, atau menyebutkan suatu kejadian untuk meneguhkan hak itu atau untuk membantah hak orang lain, harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. (KUHPerd. 1865.)

Pasal 164.
Alat-alat bukti, Yaitu:
–        bukti tertulis, (KUHPerd. 1867 dst.; IR. 165, 168; S. 1867-29.)
–        bukti saksi, (KUHPerd. 1895; IR. 168 dst.)
–        persangkaan, (KUHPerd. 1915; IR. 173.)
–        pengakuan, (KUHPerd. 1923 dst.; IR. 174 dst.)
–        sumpah, (KUHPerd. 1929 dst.; IR. 155 dst., 177, 381.)
semuanya dengan memperhatikan peraturan yang diperintahkan dalam pasal-pasal berikut. (KUHPerd. 1866; JR. 295.)

Pasal 165.
Akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berwenang untuk membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli waris masing-masing serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang segala hal yang disebut di dalam surat itu dan tentang hal yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan; tetapi yang tersebut temkhir ini hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung menyangkut pokok akta itu. (KUHPerd. 1868, 1870 dst.; Sv. 380 ; IR. 168, 304.)

Pasal 166
Dicabut dg. S. 1927-146.

Pasal 167.
(s.d.u. dg. S- 1927-146; S. 1938-276.) Untuk keuntungan siapa saja, kepada pembukuannya dapat diberikan oleh pengadilan negeri sekian kekuatan bukti, yang dianggapnya patut dalam tiap-tiap hal yang istimewa. (KUHD 7; IR-304.)

Pasal 168.
Sampai diadakan penuturan lain tentang perkara-perkara yang membolehkan penggunaan bukti saksi, pengadilan negeri harus tetap menggunakan hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia dan bangsa Timur Asing tentang hal itu.

Pasal 169.
Keterangan dari seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercaya dalam hukum. (KUHPerd. 1905; Sv. 376; IR. 300.)

Pasal 170.
Jika kesaksian-kesaksian yang terpisah-pisah dan berdiri sendiri dari beberapa orang tentang beberapa kejadian dapat meneguhkan perkara tertentu karena kesaksian-kesaksian itu sesuai dan berhubungan satu sama lain, maka kekuatan bukti hukum sepanjang yang akan diberikan kepada kesaksian-kesaksian yang beraneka ragam itu, hal itu diserahkan kepada pertimbangan hakim, berhubung dengan keadaan. (KUHPerd. 1905; Sv. 3’6; IR. 300.)

Pasal 171.
(1)     Tiap-tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya.
(2)     Pendapat atau dugaan khusus yang timbul dari pemikiran, tidak dipandang sebagai kesaksian. (KUHPerd. 1907; Sv. 376; IR. 301.)

Pasal 172.
Dalam hal menimbang nilai kesaksian itu, hakim harus memperhatikan: cocoknya para saksi satu sama lain; kesesuaian kesaksian-kesaksian mereka dengan apa yang diketahui dari sumber lain tentang perkara yang bersangkutan; semua alasan para saksi untuk menerangkan duduk perkaranya dengan cara begini atau begitu; peri kehidupan, adat istiadat dan kedudukan para saksi; dan pada umumnya, segala hal yang dapat menyebabkan saksi itu dapat dipercayai atau kurang dipercayai. (KUHPerd. 1908; Sv. 378; IR. 302.)

Pasal 173.
Dugaan-dugaan yang tidak berdasarkan suatu peraturan undang-undang, hanya boleh diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan keputusannya, jika dugan-dugaan itu penting, saksama, tertentu dan sesuai satu sama lain. (KUHPerd. 1916, 1921 dst.; Sv. 370; IR. 294.)

Pasal 174.
Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim, cukup menjadi bukti untuk memberatkan orang yang mengaku itu, entah pengakuan itu diucapkannya sendiri, entah dengan perantaraan orang lain, yang diberi kuasa kbusus. (KUHPerd. 1925; Rv. 256 dst., 383; IR. 176, 307.)

Pasal 175.
Menentukan gunanya suatu pengakuan lisan yang diberikan di luar hukum, itu diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan hakim. (KUHPerd. 1928; Sv. 387 dst.)

Pasal 176.
Tiap-tiap pengakuan harus diterima seluruhnya; hakim tidak berwenang untuk menerima sebagian dan menolak sebagian lagi, sehingga merugikan orang yang mengaku itu, kecuali jika seorang debitur dengan maksud melepaskan dirinya, menyebutkan hal yang terbukti tidak benar. (KUHPerd. 1924; IR. 174.)

Pasal 177.
Dari orang yang di dalam suatu sidang telah mengangkat sumpah yang dibebankan atau dikembalikan kepadanya oleh lawannya atau dibebankan kepadanya oleh hakim, tidak boleh diminta keterangan lain untuk meneguhkan kebenaran sumpahnya. (KUHPerd. 1936; IR. 155 dst.)

Bagian 3
Musyawarah Dan Keputusan Hakim.

Pasal 178.
(1)     Pada waktu bermusyawarah, hakim, karena jabatannya, wajib melengkapi segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak. (RO. 39, 41; IR. 184.)
(2)     Hakim itu wajib mengadili semua bagian tuntutan.
(3)     Ia dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut, atau memberikan lebih daripada yang dituntut. (Rv. 50.)

Pasal 179.
(1)     Sesudah diambil keputusan dengan mengingat peraturan di atas ini, maka kedua belah pihak dipanggil masuk kembali dan keputusan hakim dimaklumkan oteh ketua di hadapan umum. (RO. 40; Sv. 17 1; IR. 116, 186, 317.)
(2)     Jika kedua belah pitiak atau salah satu tidak hadir pada waktu keputusan itu dimaklumkan, maka atas perintah ketua, keputusan hakim itu harus diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir itu oleh seorang pegawai yang dikuasakan untuk itu. (IR. 184, 192, 318, 388.)
(3)     Pasal 125 ayat terakhir berlaku dalam hal ini. (IR. 188.)

Pasal 180.
(1)     Biarpun orang membantah keputusan hakim atau meminta banding, pengadilan boleh memerintahkan supaya keputusan hakim itu dijalankan dulu, jika ada suatu tanda alas hak yang otentik atau suatu surat yang menurut peraturan boleh diterima sebagai bukti, atau jika ada keputusan hukuman lebih dahulu dengan keputusan hakim yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, atau jika dikabulkan tuntutan sementara, pula dalam hal perselisihan tentang besit. (KUHPerd. 548 dst.; Rv. 53 dst.; IR. 181, 190; S. 1867-29.)
(2)     Akan tetapi hal menalankan keputusan hakim itu lebih dulu, sekali-kau tidak holeh diperluas menjadi penyanderaan. (IR. 209 dst.)

Pasal 181.
(1)     Barangsiapa dikalahkan dengan keputusan hakim, akan dihukum pula membayar biaya perkara. Akan tetapi biaya perkara itu semuanya atau sebagian boleh diperhitungkan antara suami-istri, keluarga sedarah dalam garis lurus, saudara laki-laki dan saudara perempuan, atau keluarga semenda dalam derajat yang sama; begitu pula halnyajika masing-masing pihak dikalahkan dalam hal-hal tertentu,
(2)     Pada keputusan sementara dan keputusan lain yang mendahului keputusan terakhir, pengambilan keputusan tentang biaya perkara boleh ditangguhkan sampai pada waktu d@atuhkan keputusan terakhir. (Rv. 58; Sv. 41 1; IR. 180, 182 dst., 237 dst., 378.)
(3)     Biaya perkara yang diputuskan dengan keputusan tanpa kehadiran, hanis dibayar oleh pihak yang dikalahkan, meskipun la menang perkara sesudah membantah atau meminta banding, kecuali kalau pada waktu diperiksa bantahannya atau bandingnya, ternyata bahwa ia tidak dipanggil dengan sah.
(4)     Dalam hal tersebut pada pasal 127, biaya panggilan ulang kepada tergugat yang tidak datang, harus dibayar oleh tergugat itu, meskipun ia menang perkara, kecuali jika pada waktu persidangan pertama, ia tidak dipanggil dengan sah.

Pasal 182.
(s.d. u. dg. S. 1927-248jo. 338.) Hukuman membayar biaya perkara tidakboleh melebihi:
1.      biaya kantor panitera pengadilan dan biaya meterai, yang perlu dipakai dalam perkara itu;
2.      biaya saksi, ahli dan juru bahasa, terhitung juga biaya sumpah mereka itu, dengan pengertian, bahwa pihak yang minta supaya diperiksa lebih dari lima orang saksi tentang satu kejadian tidak boleh menuntut pembayaran biaya kesaksian yang lebih itu kepada lawannya;
3.      biaya pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang bersangkutan dengan perkara itu;
4.      gaji pegawai yang disuruh melakukan panggilan, pemberitahuan dan segala surat juru sita yang lain;
5.      biaya tersebut pada pasal 138 ayat (6);
6.      gaji yang harus dibayar kepada panitera pengadilan atau pegawai lain karena menjalankan keputusan hakim; semuanya itu menurut peraturan dan tarif yang telah atau akan ditetapkan oleh pemerintah (Gubernur Jenderal), atau jika itu tidak ada, menurut taksiran ketua.

Pasal 183.
(1)     Besamya biaya perkara yang dibebankan kepada salah satu pihak, harus disebutkan pada putusan hakim itu.
(2)     Ketentuan itu berlaku juga tentang jumlah biaya, kerugian dan bunga, yang harus dibayar oleh satu pihak kepada yang lain menurut keputusan itu. (Rv. 607, 610.)

Pasal 184.
(1)     Dalam putusan hakim har-us dicantumkan ringkasan yangjelas dari tuntutan dan jawaban serta dari alasan keputusan itu; begitu juga, harus dicantumkan keterangan tersebut pada ayat (14) pasal 7 “Reglemen susunan kehakiman dan kebijaksanaan mengadili di Indonesia”, keputusan pengadilan negeri tentang pokok perkara dan besarnya biaya, serta pemberitahuan tentang hadir tidaknya kedua belah pihak itu pada waktu dijatuhkan keputusan itu.
(2)     Dalam putusan hakim yang berdasarkan peraturan undang-undang yang pasti, peraturan itu harus disebutkan. (RO. 7, 30 dst.; Rv. 61; Sv. 174; IR. 178 dst., 181 dst., 185 dst., 319.)
(3)     Putusan hakim itu ditandatangani oleh ketua dan panitera pengadilan. (RO. 43; Sv. 174-71; IR. 116, 186 dst., 319-61.)

Pasal 185.
(1)     Putusan hakim yang bukan putusan terakhir, sekalipun harus diucapkan dalam persidangan, tidaklah dibuat tersendiri, melainkan hanya dicatat dalam berita acara persidangan.
(2)     Tiap-tiap pihak boleh meminta salinan-salinan otentik dari catatan itu atas biaya masing-masing. (Rv. 48; Sv. 420; IR. 184, 186 dst.)

Pasal 186.
(1)     Panitera pengadilan harus membuat berita acara tiap-tiap perkara; apa yang terjadi dalam persidangan, di dalam berita acara itu harus disebut pertimbangan tersebut pada ayat (3) pasal 7 ,Reglemen susunan kedan keboaksanaan mengadili di Indonesia”. Di dalam berita acara itu tidak boleh disebutkan apakah keputusan itu cwatuhkan dengan suara terbanyak atau dengan suara bulat. (RO. 41, 63; Rv. 29; Sv. 141, 176; IR. 131, 179, 184, 192, 322.)
(2)     Berita acara itu ditandatangani oleh ketua dan panitera pengadilan. (Rv. 62; IR. 116, 185, 187, 322.)

Pasal 187.
(1)     Jika ketua tak dapat menandatangani keputusan hakim atau berita acara persidangan, maka penandatanganan dilakukan oleh anggota yang ikut serta memeriksa perkara itu, yang pangkatnya setingkat di bawah pangkat ketua.
(2).   Jika Panitera pengadilan tak dapat menandatangani keputusan atau berita acara persidangan itu, maka hal itu harus disebutkan dengan tegas dalam berita acara persidangan itu. (RO. 52; Rv. 63; IR. 184, 186, 322.)

Bagian 4
Banding.

Bagian ini tidak berlaku lagi; yang berlaku sekarang mengenai perkara perdata adalah UU No. 20/1947, Bab III, Bagian 1, yang berbunyi sbb.:

Pasal. 6
Dari putusan-putusan Pengadilan Negeri di Jawa dan Madura tentang perkara perdata, yang tidak ternyata bahwa besarnya harga gugat ialah seratus ruplah atau kurang, oleh salah satu dari pihak-pihak (partijen) yang berkepentingan dapat diminta, supaya pemeriksaan perkara diulangi oleh Pengadilan Tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing-masing.

Pasal 7
(1)     Permintaan untuk pemeriksaan ulangan harus disampaikan dengan tulisan atau dengan lisan oleh peminta atau wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk memajukan permintaan itu, kepada Panitera Pengadilan Negeri, yang menjatuhkan putusan, dalam empat belas hari, terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan.
(2)     Bagi peminta yang tidak berdiam dalam karesidenan tempat Pengadilan Negeri tersebut bersidang, maka lamanya tempo untuk meminta pemeriksaan ulangan dijadikan tiga puluh hari.
(3)     Jika ada permintaan akan pemeriksaan ulangan tidak dengan biaya, maka tempo itu dihitung mulai hari berikutnya hari pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi atas permintaan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri.
(4)     Permintaan akan pemeriksaan ulangan tidak boleh diterima, jika tempo tersebut di atas sudah lalu, demikian juga jika pada waktu memajukan permintaan itu tidak dibayar lebih dahulu biaya, yang diharuskan menurut peraturan yang sah, biaya mana harus ditaksir oleh Panitera Pengadilan Negeri tersebut.

Pasal 8.
(1)     Dari putusan Pengadilan Negeri, yang dijatuhkan di luar hadir tergugat, tergugat tidak boleh minta pemeriksaan ulangan melainkan hanya dapat mempergunakan perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama, akan tetapi jikalau penggugat minta pemeriksaan ulangan, tergugat tidak dapat mempergunakan hak perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama.
(2)     Jika, dari sebab apa pun juga tergugat tidak dapat mempergunakan hak perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama, tergugat boleh meminta pemeriksaan ulangan.

Pasal 9.
(1)     Dari putusan Pengadilan Negeri yang bukan putusan penghabisan dapat dmmta pemenksaan ulangan hanya bersama-sama dengan putusan penghabisan.
(2)     Putusan, dalam mana Pengadilan Negeri menganggap dirinya tidak berhak untuk memeriksa perkaranya, dianggap sebagai putusan penghabisan.

Pasal 10.
(1)     Permintaan pemeriksaan ulangan yang dapat diterima, dicatat oleh Panitera Pengadilan Negeri di dalam daftar.
(2)     Panitera memberitahukan hal itu kepada pihak lawan yang minta pemeriksaan ulangan.

Pasal 11.
(1)     Kemudian selambat-lambatnya empat belas hari setelah permintan pemeriksaan ulangan diterima, Panitera memberi tahu kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat surat-surat yang bersangkutan dengan perkaranya di kantor Pengadilan Negeri selama empat belas hari.
(2)     Kemudian turunan putusan, surat pemeriksaan dan surat-surat lain yang bersangkutan harus dikirim kepada Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan selambat-lambatnya satu bulan setelah menerima permintaan pemeriksan ulangan.
(3)     Kedua belah pihak boleh memasukkan surat-surat keterangan dan bukti kepada Panitera Pengadilan Negeri atau kepada Panitera Pengadilan Tinggi yang akan memutuskan, asal saia turunan dari surat-surat itu diberikan kepada pihak lawan dengan perantaraan pegawai Pengadilan Negeri yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri itu.

Pasal 12.
(1)     Permintaan izin supaya tidak bayar biaya dalam pemeriksaan ulangan harus disampaikan dengan lisan atau dengan surat kepada Panitera Pengadilan Negeri, yang menjatuhkan putusan, beserta dengan surat keterangan dari salah seorang pegawai pamong praja yang berhak memberikannya dalam daerah tempat tinggalnya, bahwa ia tidak mampu membayar biaya, oleh yang minta pemeriksaan ulangan di dalam empat belas hari terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan, oleh pihak lain di dalam empat belas hari terhitung mulai hari berikutnya pemberitahuan pemeriksaan ulangan.
(2)     Permintaan itu ditulis oleh Panitera Pengadilan Negeri dalam daftar.
(3)     Di dalam empat belas hari sesudah dituliskan itu, maka Hakim Pengadilan Negeri menyuruh memberitahukan permintaan itu kepada pihak yang lain dan menyuruh memanggil kedua belah pihak supaya datang di muka Hakim tersebut.
(4)     Jika peminta tidak datang, permintaan dianggap tidak ada.
(5)     Jika peminta tidak datang, ia diperiksa oleh Hakim, begitu juga pihak yang lain, jika ia datang.


Pasal 13.
Surat pemeriksaan harus dikirim kepada Pengadilan Tinggi yang berhak memutuskan perkaranya dalam pemeriksaan tingkat kedua, selambat-lambatnya tujuh hari sesudah pemeriksaan selesai.

Pasal 14.
Pengadilan Tinggi memberi putusan atas permintaan tersebut dan menyuruh memberi tahu selekas mungkin putusan itu kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Pasal 15.
(1)     Pengadilan Tinggi dalam pemeriksaan ulangan memeriksa dan memutuskan dengan tiga Hakim, jika dipandang perlu, dengan mendengar sendiri kedua belah pihak atau saksi.
(2)     Jika Hakim Pengadilan Negeri memutuskan, bahwa ia tidak berhak memeriksa perkaranya, dan Pengadilan Tinggi berpendapat lain, Pengadilan Tinggi menyuruh Pengadilan Negeri memutuskan perkaranya atau memutuskan sendiri perkaranya.
(3)     Panitera Pengadilan Tinggi mengirim selekas m ungkin turunan putusan tesebut beserta dengan surat pemeriksaan dan surat-surat lain yang bersangkutan kepada Pengadilan Negeri yang memutuskan dalam pemeriksaan tingkat pertama.
(4)     Cara menjalankan putusan ini sama dengan cara menjalankan putusan Hakim dalam pemeriksaan tingkat pertama.

Bagian 5
Pelaksanaan Keputusan Hakim.

Pasal 195.
(1)     Keputusan hakim dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri, dilaksanakan atas perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri yang memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal berikut. (Rv. 350, 360; IR. 194.)
(2)     Jika keputusan itu harus dilaksanakan seluruhnya atau sebagian di luar daerah hukum pengadilan negeri tersebut, maka ketuanya akan meminta bantuan dengan surat kepada ketua pengadilan negeri yang berhak; begitu juga halnya pelaksanaan keputusan di luar Jawa dan Madura.
(3)     Ketua pengadilan negeri yang diminta bantuan itu harus bertindak menurut ketentuan ayat di atas, jika nyata baginya, bahwa keputusan itu harus dilaksanakan seluruhnya atau sebagian di luar daerah hukumnya.
(4)     Bagi ketua pengadilan negeri yang diminta bantuannya oleh teman sejawatnya dari luar Jawa dan Madura, berlaku segala peraturan dalam bagian ini, tentang segala perbuatan yang akan dilakukan karena permintaan itu.
(5)     Dalam dua kali dua puluh empat jam, ketua yang dimintai bantuan itu harus memberitahukan segala usaha yang telah diperintahkan dan hasilnya kepada ketua pengadilan negeri yang mula-mula memeriksa perkara itu.
(6)     Jika pelaksanaan keputusan itu dilawan, juga perlawanan itu dilakukan oleh orang lain yang mengakui barang yang disita itu sebagai miliknya, maka hal itu serta segala perselisihan tentang upaya paksa yang diperintahkan itu, diajukan kepada dan diputuskan oleh pengadilan negeri yang dalam daerah hukimnya harus dilaksanakan keputusan itu. itu, tiap dua kali dua puluh
(7)     Perselisihan dan keputusan tentang perselisihan itu, tiap dua kali dua puluh empat jam, harus diberitahukan dengan surat oleh ketua pengadilan negeri itu kepada ketua pengadilan negeri yang mula-mula memeriksa perkara itu.

Pasal 196.
Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai memenuhi keputusan itu dengan baik, maka pihak yang dimenangkan mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan negeri tersebut pada pasal 195 ayat (1), baik dengan lisan maupun dengan surat, supaya keputusan itu dilaksanakan. Kemudian ketua itu akan memanggil pihak yang kalah itu serta menegurnya, supaya ia memenuhi keputusan itu dalam waktu yang ditentukan oleh ketua itu, selama-lamanya delapan hari. (Rv. 439, 443; IR. 94, 113, 130.)

Pasal 197.
(1)     Jika sudah lewat waktu yang ditentukan itu, sedangkan orang yang kalah itu belum juga memenuhi keputusan itu, atau jika orang itu, sesudah dipanggil dengan sah, tidak juga menghadap, maka ketua, karena jabatannya, akan memberi perintah dengan surat, supaya disita sekian barang bergerak dan jika yang demikian tidak ada atau ternyata tiada cukup, sekian barang tak bergerak kepunyaan orang yang kalah itu, sampai dianggap cukup menjadi pengganti jumlah uang tersebut dalam keputusan itu dan semua biaya untuk melaksanakan keputusan itu.
(2)     Penyitaan dijalankan oleh panitera pengadilan negeri.
(3)     Bila panitera itu berhalangan karena tugas dinas atau karena alasan yang lain, maka ia digantikan oleh seorang yang cakap atau dapat dipercaya, yang ditunjuk untuk itu oleh ketua atas atas permintaannya oleh kepala pemerintahan setempat (dalam hal ini asisten-residen); dalam hal menunjuk orang itu menurut cara tersebut, jika dianggap perlu memuat keadaan, ketua berkuasa juga untuk menghemat ongkos sehubungan dengan jauhnya tempat penyitaan itu.
(4)     Penunjukan orang itu dilakukan hanya dengan menyebutkan atau dengan mencatatnya dalam surat perintah tersebut pada ayat (1) pasal ini.
(5)     Panitera itu atau orang yang ditunjuk sebagai gantinya, hendaklah membuat berita acara-tentang tugasnya, dan memberitahukan maksud isi berita acara itu kepada orang yang disita barangnya itu, kalau ia hadir.
(6)     Penyitaan itu dilakukan dengan bantuan dua orang saksi, yang disebutkan namanya, pekerjaannya dan tempat diamnya dalam berita acara itu, dan yang ikut menandatangani berita acara itu dan salinannya.
(7)     (s. d. u. dg. S. 1932-42,) Saksi itu harus penduduk Indonesia, telah berumur 21 tahun dan dikenal oleh penyita itu sebagai orang yang dapat dipercaya, atau diterangkan demikian oleh seorang pamong praja bangsa Eropa atau Indonesia.
(8)     Penyitaan barang bergerak kepunyaan debitur, termasuk uang tunai dan surat berharga, bolehjuga dilakukan alas barang bergerak yang bertubuh, yang ada di tangan orang lain, tetapi tidak boleh dilakukan atas hewan dan perkakas yang sungguh-sungguh berguna bagi orang yang kalah itu dalam menjalankan mata pencahariannya sendiri.
(9)     Panitera atau orang yang ditunjuk menjadi penggantinya hendaklah membiarkan, menurut keadaan, barang bergerak itu seluruhnya atau sebagian disimpan oleh orang yang disita barangnya itu, atau menyuruh membawa barang itu seluruhnya atau sebagian ke suatu tempat penyimpanan yang memadai. Dalam hal pertama, hal itu harus diberitahukan kepada polisi desa atau polisi kampung, dan polisi itu harus mewaga, supaya jangan ada barang yang dilarikan orang. Bangunan-bangunan orang Indonesia, yang tidak melekat pada tanah, tidak boleh dibawa ke tempat lain. (Rv. 444, 446, 449, 454, 473; IR. 94 dst., 113.)

Pasal 198.
(1)     Jika yang disita barang tetap, maka berita acara penyitaan itu akan dimaklumkan kepada umum, dengan cara sebagai berikut: jika barang tetap itu sudah dibukukan menurut “Ordonansi Balik-Nama” (S. 1834-27), dengan menyalin berita acara itu dalam daftar tersebut pada pasal 50 “Ketentuan-ketentuan tentang berlakunya dan peralihan perundang-undangan baru” (S. 1848-10), dan jika tidak dibukukan menurut ordonansi tersebut, dengan menyalin berita acara itu dalam daftar yang disediakan untuk itu di kantor panitera pengadilan negeri; dalam kedua hal itu, harus disebutkan jam, hari, bulan dan tahun penyitaan itu diminta dimaklumkan kepada umum, sedang jam, hari, bulan dan tahun itu harus dicatat oleh panitera pada surat asli yang diberikan kepadanya. (Rv. 507; Ov. 50, 10 overschr.)
(2)     Selain itu, kepala desa, atau perintah orang yang ditugaskan menyita barang itu, harus memaklumkan penyitaan barang itu di tempat itu, supaya diketahui orang seluas-luasnya.

Pasal 199.
(1)     Terhitung dari hari berita acara penyitaan barang itu dimaklumkan kepada umum, pihak yang disita barangnya tidak boleh lagi memindahkan, membebani atau menyewakan barang itu kepada orang lain.
(2)     Perjanjian yang berlawanan dengan larangan itu tak dapat dipakai untuk melawan juru sita itu. (Rv. 507.)

Pasal 200.
(1)     Penjualan barang sitaan dilakukan dengan perantaraan kantor lelang atau, menurut pertimbangan ketua atas keadaan, oleh juru sita itu atau orang yang cakap dan dapat dipercaya, ditunjuk oleh ketua dan tinggal di tempat penjualan itu atau di sekitar tempat itu. (Rv. 453, 466.)
(2)     Akan tetapi, kalau penjualan tersebut harus dilakukan untuk menjalankan suatu keputusan yang menyuruh membayar suatu jumlah yang tidak lebih dam tiga ratus gulden, di luar biaya perkara, atau kalau menurut pertimbangan ketua boleh disangka, bahwa barang yang disita itu tidak akan lebih dari tiga ratus gulden, maka penjualan itu sekali-kali tidak boleh dilakukan dengan perantaraan kantor lelang.
(3)     Dalam hal itu penjualan itu akan dilakukan oleh juru sita itu atau oleh orang-orang yang cakap dan dapat dipercaya, seperti yang disebut pada ayat (1). Orang yang diperintahkan untuk menjual hendaklah memberi laporan dengan surat kepada ketua tentang hasil penjualan itu.
(4)     Orang yang dikalahkan, berwenang untuk menentukan urutan penjualan barang yang disita itu.
(5)     Segera setelah hasil penjualan itu mencapai jumlah tersebut dalam keputusan ditambah dengan biaya pelaksanaan keputusan itu, penualan itu akan dihentikan; barang selebihnya, harus dikembahkan pada saat itu kepada orang yang kalah itu.
(6)     Penjualan barang bergerak dilakukan sesudah rencana penjualan diumumkan pada waktu yang tepat dan menurut kebiasaan setempat; penjualan itu tidak boleh dilakukan sebelum hari kedelapan sesudah barang-barang itu disita.
(7)     Jika bersama-sama dengan barang bergerak itu juga disita barang tetap, dan barang bergerak itu tak satu pun yang akan lekas rusak, maka penjualan itu harus dilakukan serentak, dengan memperhatikan aturan tentang urutan penjualan barang, tetapi hanya sesudah diumumkan dua kali, dengan selang waktu lima belas hari.
(8)     Jika yang disita itu semata-mata barang tetap, maka aturan tersebut pada ayat di atas ini, dipakai untuk penjualan barang itu.
(9)     Penjualan barang tetap yang kiranya berharga lebih dari seribu gulden harus diumumkan satu kali dalam surat kabar setempat, selambat-lambatnya empat belas hari sebelum hari penjualan itu; jika tidak ada surat kabar setempat, maka hal itu diumumkan dalam surat kabar daerah terdekat. (Rv. 516.)
(10)   Hak seseorang atas barang tetapnya yang dijual, dengan diterimanya tawaran pembeli, pindah kepada si pembeli segera setelah ia memenuhi syaratsyarat pembelian. Jika ia telah memenuhi syarat-syarat itu, maka kepadanya harus diberikan surat keterangan tentang hal itu oleh kantor lelang atau oleh orang yang ditugaskan menjual barang itu. (Rv. 526, 532.)
(11)   Jika seseorang enggan meninggalkan barang tetapnya yang dijual, maka ketua pengadilan negeri akan membuat surat perintah kepada orang yang berwenang, untuk menjalankan surat juru sita dengan bantuan panitera pengadilan negeri atau seorang pegawai bangsa Eropa yang ditunjuk oleh ketua, dan jika perlu dengan bantuan polisi, supaya barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya serta oleh sanak saudaranya. (Rv. 526, 1033.)

Pasal 201.
Jika pada suatu waktu bersama-sama diajukan dua permintaan atau lebih untuk pelaksanaan keputusan hakim yang dijatuhkan kepada seorang debitur, maka dengan satu berita acara disitalah sekian banyak barangnya, sehingga hakimnya cukup untuk mengganti jumlah uang dari semua keputusan biaya pelaksanaan keputusan itu.

Pasal 202.
Jika sesudah dilakukan suatu penyitaan, tetapi sebelum dijual barang yang disita itu, diterima lagi permintaan lain untuk melaksanakan keputusan yang dijatuhkan pada debitur itu, maka hasil penyitaan itu dapat dipergunakan juga untuk mengganti uang yang mesti dibayar menurut keputusan yang dimaksud dengan permintaan itu; jika perlu, ketua dapat memberi perintah untuk melanjutkan penyitaan atas sekian banyak barang yang belum disita, sampai cukup untuk mengganti jumlah uang yang harus dibayar menurut keputusan itu serta biaya untuk penyitaan lanjutan itu.

Pasal 203.
Dalam waktu tersebut pada pasal 202, keputusan yang dijatuhkan kepada debitur oleh hakim lain dari hakim tersebut pada pasal 195 ayat (1), boleh juga dikirimkan kepada ketua yang memerintahkan penyitaan itu, supaya juga dijalankan. Peraturan pasal 202 juga berlaku bagi permintaan itu.

Pasal 204.
(1)     Dalam hal tersebut pada ketiga pasal di alas, ketua menentukan cara membagi pendapatan penjualan itu di antara para kreditur sesudah mendengar atau memanggil dengan sah debitur yang bersangkutan dan kreditur yang meminta supaya dijalan keputusan itu.
(2)     Kreditur yang datang menurut panggilan tersebut pada ayat di atas, boleh minta banding kepada pengadilan tinggi (raad van jusititie) tentang pembagian itu; ketentuan-ketentuan pasal 188 sampai dengan pasal 194 berlaku bagi permintaan itu.

Pasal 205.
Segera setelah keputusan ketua pengadilan negeri tentang pembagian itu berkekuatan pasti, ketua akan mengirimkan suatu daftar pembagian kepada juru lelang atau kepada orang yang ditugaskan untuk menjual, supaya dipakainya sebagai dasar pembagian uang pendapatan lelang itu.

Pasal 206.
(1)     (s.d.u.t. dg. S. 1933-124.) Keputusan yang mewajibkan pembayaran uang, yang banyaknya tidak lebih dari seratus lima puluh gulden di luar biaya perkara, dijalankan tanpa memberi peringatan lebih dulu. Penyitaan dan penjualan barang bergerak dilakukan dalam hal itu menurut cara tersebut pada pasal 93 sampai dengan pasal 97, tetapi dengan perbedaan, bahwa tugas itu diperintahkan oleh ketua pengadilan kepada kepala distrik atau seorang pejabat Indonesia yang sama kedudukan pangkatnya dengan kepala distrik, yang boleh menugaskan hal itu kepada seorang kepala onderdistrik, mantri-polisi atau juru tulis yang berada di bawah perintahnya, tetapi la sendiri wajib memberi laporan hasil pekerjaan itu secara tertulis atau secara lisan kepada ketua pengadilan itu.
Kepala onderdistrik boleh pula melimpahkan tugas itu kepada mantri- polisi atau juru tulis yang di bawah perintahnya.
Juru tulis hanya boleh ditugaskan untuk menjalankan keputusan itu, kalau umumya dan masa kerjanya sudah sampai pada batas masa kerja yang ditetapkan oleh pemerintah. Atas pekerjaan juru tulis yang di bawah perintahnya itu, kepala distrik, atau dalam hal ini kepala onderdistrik, tetap bertanggung jawab.
(2)     Jika tidak cukup barang bergerak, maka atas perintah tertulis yang dibuat oleh ketua karena jabatannya, harus disita pula barang tetap debitur itu sebanyak yang diperlukan dengan cara tersebut pada pasal 197 dan dengan memperhatikan peraturan pasal 198; barang itu dijual dengan memperhatikan peraturan pasal 200.

Anotasi :
Pasal-pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

Pasal 93.
Pelaksanaan keputusan pengadilan disirik dalam perkara perdata yang dibanding atau dalam banding ditetapkan seluruhnya atau sebagian oleh hakim yang lebih tinggi, harus diperintahkan oleh kepala distrik kepada kepala desa atau bawahannya yang lain.

Pasal 94.
(1)     Kepala desa atau tiap-tiap orang lain yang disuruh melaksanakan keputusan demikian, harus lebih dulu memperingatkan orang yang kalah perkara untuk memenuhi keputusan hukuman yang dijatuhkan kepadanya dalam delapan hari berikutnya.
(2)     Jika keputusan itu tidak dipenuhi sesudah lewat delapan hari, maka kepala distrik harus memerintahkan supaya disita sekian banyak barang tidak tetap milik orang yang kalah perkara itu, sampai boleh dianggap cukup untuk melaksanakan keputusan hakim itu, kecuali kalau kepala disrik mendapat alasan untuk memberi waktu lagi kepada orang itu.

Pasal 95.
Penyitaan itu dilakukan oleh orang yang disuruh melakuakan keputusan itu di hadapan dua orang saksi, dan sedapat mungkin di hadapan orang yang kalah perkara; harga barang yang disita harus ditaksir satu per satu oleh orang yang disuruh melaksanakan keputusan itu.

Pasal 96.
(1)     Jika dua hari sesudah barang-barang yang disita, orang yang kalah perkara belum juga memenuhi keputusan itu, maka barang-barang yang disita itu harus dijual oleh orang yang disuruh melaksanakan keputusan itu di hadapan umum dengan dua orang saksi, dengan bayaran tunai, sampai diperoleh jumlah uang tersebut dalam keputusan, kepada penawar tertinggi, kecuali kalau tawarannya kurang dari harga taksiran; dalam hal demikian, barangbarang itu diserahkan dengan harga yang ditaksir kepada kreditur untuk siapa diadakan penjualan itu.
(2)     Orang yang kalah perkara berhak untuk menunjukkan tertib penjualan barang-barang yang disita itu.
(3)     Barang yang tidak perlu dijual, harus dikembalikan kepada orang yang kalah perkara.

Pasal 97.
Hewan dan perkakas yang sangat diperlukan oleh yang kalah perkara itu untuk menjalankan mata pencariannya sendiri, tidak boleh disita.

Pasal 207.
(1)     Perlawanan debitur terhadap pelaksanaan keputusan, baik dalam hal disitanya barang tak bergerak maupun dalam hal disitanya barang bergerak, harus diberitahukan oleh orang itu dengan surat atau dengan lisa kepada ketua pengadilan negeri tersebut pada pasal 195 ayat (6); jika perlawanan itu diberitahukan dengan lisan, maka ketua wajib mencatatnya atau menyuruh mencatatnya. (IR. 120, 197, 206.)
(2)     Kemudian perkara itu oleh ketua pada persidangan yang pertama sesudah itu, supaya diputuskan sesudah kedua belah pihak diperiksa atau dipanggil dengan sah. (IR. 124 dst.)
(3)     Perlawanan itu tidak dapat menahan orang memulai atau meneruskan pelaksanaan keputusan itu, kecuali jika ketua memberi perintah, supaya hal itu ditangguhkan sampai pengadilan negeri mengambil keputusan. (Rv. 422; IR. 208, 224.)

Pasal 208.
(1)     Pengaturan pasal di atas berlaku juga jika orang lain melawan keputusan itu dengan mengatakan, bahwa barang yang disita itu miliknya. (Rv. 477 dst.)
(2)     Untuk keputusan yang dijatuhkan menurut pasal ini dan pasal di atas, berlaku semua peraturan umum tentang hal meminta banding. (IR 188 dst.)

Pasal 209.
(1)     Jika tidak ada atau tidak cukup barang untuk memenuhi keputusan, maka atas permintaan pihak yang menang perkara, entah permintaan lisan entah permintaai tertulis, ketua akan memberi perintah tertulis kepada orang yang berkuasa untuk menalankan surat sita, supaya debitur itu disandera. (Rv. 583 dst.; IR. 338 dst.)
(2)     Lamanya penyanderaan debitur ditentukan menurut pasal di bawah ini dan harus disebut dalam surat perintah itu. (Rv. 580, 586; Sv. 347; IR. 98, 180, 197, 206, 211 dst., 213, 215, 217, 220 dst.; 222, 224, 331 dst.; S. 1894-244.)

Pasal 210.
(1)     Penyanderaan itu diperintahkan untuk enam. bulan lamanya, jika orang itu dihukum membayar sampai seratus gulden; (T. XIII-37 1; IR. 203, 219, 221, 223 dst.)
Untuk setahun lamanya, jika orang itu dihukum membayar lebih dari seratus sampai tiga ratus gulden;
Untuk dua tahun lamanya, jika orang itu dihukum membayar lebih dari tiga ratus sampai lima ratus gulden;
Untuk tiga tahun lamanya, jika orang itu dihukum membayar lebih dari lima ratus gulden.
(2)     Biaya perkara tidak termasuk pada jumlah tersebut di atas ini.

Pasal 211.
Anak dan keturunannya sekali-kali tidak boleh menyuruh menyanderakan keluarga sedarah dan semendanya dalam garis ke atas. (KUHPerd. 298; Rv. 582; IR. 209, 218, 331.)

Pasal 212.
Debitur tidak boleh disandera:
1.      di dalam rumah ibadat yang sedang dipergunakan untuk kebaktian;
2.      dalam ruang sidang lembaga pemerintah selama ada persidangan. (Rv. 22, 595; IR. 218.)

Pasal 213.
(1)     Jika debitur itu melawan penyanderaan itu dengan menyatakan perbuatan itu tidak sah, dan ia menghendaki supaya segera diambil keputusan tentang perlawanan itu, maka ia harus mengajukan surat kepada ketua pengadilan negeri yang memerintahkan penyanderaan itu, atau jika debitur itu lebih suka, ia harus dibawa menghadap pejabat itu. Dalam kedua hal itu, ketua akan memutuskan dengan segera patut tidaknya debitur itu disandera dahulu sementara menunggu keputusan pengadilan negeri.
(2)     Pasal 218 ayat (4), (6) dan (7) berlaku dalam hal itu.
(3)     Jika debitur itu mengajukan perlawanan dengan surat, maka sementara menunggu keputusan ketua, hendaklah ia dijaga, supaya jangan lari. (Rv. 599; BL 180, 209, 224.)

Pasal 214.
Debitur yang tidak melawan atau yang ditolak perlawanannya, harus segera dimasukkan ke dalam penjara yang ditentukan sebagai tempat penyanderaan. (Rv. 600.)

Pasal 215.
Penjaga penjara harus memberitahukan penyanderaan itu kepada panitera pengadilan negeri dalam dua puluh empat jam. (KUHP 333, 555; IR. 209, 212, 222 dst.)

Pasal 216.
(1)     Segala biaya pemeliharaan debitur yang disandera itu ditanggung oleh kreditur, dan dibayar lebih dulu kepada penjaga penjara, tiap-tiap kali untuk tiga puluh hari lamanya, menurut peraturan tentang hal itu, yang sudah atau akan diadakan oleh pemerintah (Gubernur Jenderal). (IR. 214-21.)
(2)     Jika kreditur itu tidak memenuhi kewajibannya sebelum hari yang ketiga puluh satu, maka atas permintaan debitur itu atau atas permintaan penjaga penjara, ketua pengadilan negeri dengan segera memberi perintah, supaya debitur itu dilepaskan dari penjara. (Rv. 587; IR. 217, 219.)
(3)     Pelaksanaan perintah itu, dalam hal ini dan dalam hal-hal yang lain, harus diberitahukan oleh penjaga penjara dalam dua puluh empat jam kepada panitera pengadilan negeri. (TR. 222; S. 1935-305.)

Pasal 217.
Debitur yang disandera dengan sah, memperoleh kebebasan yang tidak dapat ditarik kembali: (TR. 216.)
1.      jika kebebasan itu diperolehnya karena kreditur memberikan izin untuk itu, entah dengan akta otentik, entah dengan pernyataan lisan, kepada panitera pengadilan negeri, yang wajib mencatat pernyataan itu dalam daftar tersebut pada pasal 222;
2.      jika kebebasan itu diperolehnya karena membayar atau menyimpan dengan sah pada kantor panitera pengadilan negeri sejumlah uang yang harus dibayar kepada orang yang menyunih melaksanakan paksaan badan itu serta bunganya, biaya perkara yang telah diselesaikan, biaya penyanderaan dan persekot biaya pemeliharaan. (KUHPerd. 1382 dst., 1404; Rv. 591, 809 dst.; Sv. 352; IR. 209, 216.)

Pasal 218.
(1)     Debitur yang tidak mengajukan perlawanan menurut cara tersebut dalam pasal 213, tidak kehilangan hak untuk meminta pengadilan negen membatalkaxi pengurungannya, jika menurut keterangannya penyanderaan itu berlawanan dengan peraturan pasal 211 atau 212 atau dengan hukum karena sebab lain.
(2)     Untuk mencapai maksud itu ia harus mengajukan surat permintaan kepada ketua pengadilan negeri dengan perantaraan juru penjara.
(3)     Jika debitur itu tidak pandai menulis, maka hendaklah ia diberi kesempatan untuk mengajukan keberatannya itu dengan lisan kepada ketua, yang akan mencatat atau menyuruh mencatat hal itu. (TR. 118 dst.)
(4)     Perkara itu dikemukakan oleh ketua dalam persidangan pengadilan negeri berikutnya, dan diputuskan oleh pengadilan negeri itu dengan sepatutnya menurut pendapatnya, jika perlu, sesudah memeriksa debitur itu dan kreditur yang mendapat izin untuk menyuruh menyanderakan itu. (Rv. 606.)
(5)     Demikian pula diperbuat, jika debitur itu beranggapan bahwa ia dapat mengemukakan alasan yang sah untuk melepaskan dirinya dari penyanderaan, kecuali alasan tersebut pada pasal 216, yang diputuskan oleh ketua sendiri.
(6)     Dalam semua hal ini, boleh diminta banding atas keputusan pengadilan negeri, tetapi dalam pada itu keputusan hakim itu boleh juga dilaksanakan lebih dulu. (TR. 180.)
(7)    Peraturan pasal 188 sampai dengan pasal 194 beriaku dalam hal meminta banding itu. (TR. 213.)

Pasal 219.
(1)     Debitur yang penyanderaannya dibatalkan atau debitur yang dilepaskan karena persekot biaya untuk pemeliharaannya tidak dibayar, tidak boleh disandera lagi karena utang itu, jika belum lewat sekurang-kurangnya delapan hari sesudah ia dilepaskan. (Rv. 582; IR. 216.)
(2)     Jika pembebasan itu diperintahkan karena persekot belanja untuk pemeliharaannya tidak dibayar, maka kreditur tidak boleh meminta supaya debitur itu disandera lagi, jika ia tidak membayar persekot belanja pemeliharaan untuk tiga bulan lamanya. (Rv. 605.)
(3)     Waktu selama debitur itu menjalani penyanderaan, bagaimanapun juga, harus dikurangkan dari jangka waktu yang diizinkan untuk menyandera orang dalam beberapa hal. (TR. 210.)

Pasal 220.
Orang yang lari dari penyanderaan, boleh disandera lagi berdasarkan perintah yang dulu, tanpa mengurangi kewajibannya untuk mengganti setiap kerugian dan biaya yang terjadi akibat pelarian. (TR. 209.)

Pasal 221.
Walaupun telah menjalani paksaan badan, debitur itu tetap harus menanggung utangnya dengan barang-barang kepunyaannya. (TR. 210.)

Pasal 222.
Panitera pengadilan negeri harus memegang daftar tersendiri tentang penyanderaan, yang memuat: (Rv. 593, 601 dst.; IR. 217, 223.)
1.      perintah untuk menyandera, yang diberikan oleh ketua pengadilan negeri, tanggainya, nama, pekerjaan dan tempat kediaman orang yang akan disandera dan lamanya orang itu boleh disandera; (TR. 209 dst.)
2.      tanggal pengurungan;
3.      tanggal pembebasan dari penyanderaan.

Pasal 223.
Sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan wajiblah ketua pengadilan negeri menyuruh supaya daftar itu diperlihatkan kepadanya dan mengawas-awasi betul, supaya tiap-tiap sandera yang sudah lewat waktunya segera dilepaskan. (TR. 210.)

Pasal 224.
Grosse dari akta hipotek dan surat utang yang dibuat di hadapan notaris di hidonesia dan yang kepalanya berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” berkekuatan sama dengan keputusan hakim. Jika tidak dengan jalan damai, maka surat demikian dijalankan dengan perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya tempat diam atau tempat tinggal debitur itu atau tempat kedudukan yang dipilihnya, yaitu menurut cara yang dinyatakan pada pasal-pasal yang lalu dalam bagian ini, tetapi dengan pengertian, bahwa paksaan badan hanya boleh dilakukan, jika sudah dengan keputusan hakim. Jika keputusan hakim itu harus dilaksanakan seluruhnya atau sebagian di luar daerah hukum pengadilan negeri yang memerintahkan pelaksanaan keputusan itu, maka haruslah dituruti peraturan pasal 195 ayat (2) dan seterusnya. (Ov. 91; Rv. 440, 584; Not. 41; T. XIII-372.)

Bagian 6
Hal Mengadili Perkara Istimewa.

Pasal 225
(1)     Jika seseorang yang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan tidak melakukan perbuatan itu dalam waktu yang ditentukan hakim, maka pihak yang menang perkara boleh meminta kepada pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya, entah dengan syarat, entah dengan lisan, supaya keuntungan yang sedianya akan didapatnya jika keputusan itu dilaksanakan, dinilai dengan uang yang banyaknya harus diberitahukannya dengan pasti; permintaan itu harus dicatat jika diajukan dengan lisan. (TR. 118 dst.)
(2)     Ketua mengajukan perkara itu dalam persidangan pengadilan negeri; sesudah debitur diperiksa atau dipanggil dengan sah, maka pengadilan negeri akan menentukan, apakah permintaan itu akan ditolak, atau perbuatan yang diperintahkan tetapi tidak dilakukan itu akan dinilai sebesar jumlah yang dikehendaki oleh peminta atau kurang dari jumlah itu; dalam hal terakhir ini, debitur itu dihukum membayar jumlah itu. (KUHPerd. 1239; IR. 228.)

Pasal 226.
(1)     Pemilik barang bergerak, boleh meminta dengan surat atau dengan ban kepada ketua pengadilan negeri yang berkuasa di tempat diam atau tempat tinggal orang yang memegang barang itu supaya barang itu disita.
(2)     Barang yang hendak disita itu harus diterangkan dengan jelas dalam permintaan itu.
(3)     Jika permintaan itu diluluskan, maka penyitaan akan dilakukan menurut surat perintah ketua. Tentang orang yang harus melakukan penyitaan itu dan tentarkg persyaratan yang harus dipenuhi, berlaku juga pasal 197.
(4)     Panitera pengadilan harus segera memberitahukan penyitaan itu kepada orang yang mengajukan permintaan, dan menerangkan kepadanya, bahwa ia harus menghadap persidangan pengadilan negeri berikutnya untuk mengajukan dan meneguhkan gugatannya.
(5)     Orang yang memegang barang yang disita itu harus dipanggil atas perintah ketua untuk menghadap persidangan itu.
(6)     Pada hari yang ditentukan, pemeriksaan perkara dan pengambilan keputusan dijalankan dengan cara biasa. (TR. 130 dst., 139 dst., 155 dst., 163 dst., 178 dst.)
(7)     Jika gugatan itu diterima, maka penyitaan itu disahkan, lalu diperintahkan supaya barang yang disita itu diserahkan kepada si penggugat; sedang kalau gugatan itu ditolak, harus diperintahkan supaya dicabut penyitaan itu.

Pasal 227.
(1)     Jika ada dugaan yang beralasan, bahwa seorang debitur, sebelum keputusan hakim yang mengalahkannya dijatuhkan atau boleh dijalankan, mencari akal untuk menggelapkan atau melarikan barangnya, baik yang tak bergerak maupun yang bergerak; dengan maksud untuk menjauhkan barang itu dari kreditur atas surat permintaan orang yang berkepentingan, ketua pengadilan boleh memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang memerlukan permintaan itu; kepada si peminta harus diberitahukan bahwa ia harus menghadap persidangan pengadilan negeri berikutnya untuk mengajukan dan menguatkan gugatannya. (Rv. 720 dst.; IR. 124 dst., 1 163 dst.)
(2)     Debitur harus dipanggil atas perintah ketua untuk menghadap persidangan itu.
(3)     Tentang orang yang harus menjalankan penyitaan itu dan tentang peraturan yang harus dituruti serta akibat yang berhubungan dengan hal itu, berlaku 197, 198 dan 199.
(4)     Pada hari yang ditentukan, pemeriksaan perkara dijalankan dengan cara biasa. Jika gugatan itu diterima, maka penyitaan itu disahkan; jika ditolak, maka diperintahkan supaya dicabut penyitaan itu.
(5)     Permintaan tentang pencabutan penyitaan selalu boleh diajukan, jika diadakan jaminan atau tanggungan lain yang cukup. (Rv. 725; IR. 228.)

Pasal 228.
(1)     Tentang keputusan hakim yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri menurut ketiga pasal di atas ini, berlaku peraturan umum bagi permintaan banding. (IR. 188 dst.)
(2)     Keputusan hakim tersebut pada ketiga pasal itu dilaksanakan dengan cara biasa. (IR. 196 dst., 209.)

Pasal 229.
Jika seseorang yang sudah akil-baliq tidak bisa memelihara dirinya dan mengurus barangnya karena kurang akal, maka tiap-tiap sanak saudaranya, atau magistraat pada pengadilan negeri jika tidak ada sanak saudaranya, berkuasa untuk meminta, supaya diangkat seorang pengampu untuk memelihara orang itu dan mengurus barangnya. (KUHPerd. 434 dst.)

Pasal 230.
Permintaan seperti itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri, yang akan memanggil orang yang mengajukan permintaan itu, saksi-saksi yang ditunjuknya dan orang yang akan diberi pengainpu, supaya mereka datang menghadap pengadilan negeri pada hari persidangan yang ditentukan. (KUHPerd. 438 dst.)

Pasal 231.
(1)     Pada hari yang ditentukan itu diperiksa semua orang yang dipanggil itu; pemeriksaan saksi-saksi dilakukan sesudah mereka disumpah.
(2)     Jika permintaan itu dikabulkan, maka pengadilan negeri mengangkat seorang pengampu, yaitu orang yang dapat diharapkan akan memelihara orang yang bersangkutan dan barangnya dengan sebaik-baiknya. (KUHPerd. 441, 449; IR. 236.)

Pasal 232.
(1)     Jika sudah tidak ada lagi alasan pengampuan itu, maka pengadilan negeri boleh menghentikan pengampuan itu.
(2)     Permintaan akan penghentian pengampu itu, pemeriksaan dan keputusan tentang hal itu dibuat menurut cara tersebut di atas. (KUHPerd. 460; IR. 229 dst., 236.)

Pasal 233.
Jika pengampuan itu berakhir karena dicabut atau karena sebab maka pengampuan itu wajib memberi perhitungan dan pertanggung-jawaban tentang pengurusannya kepada yang berhak. (KUHPerd. 409, 452.)

Pasal 234.
(1)     Mengenai orang yang kelakuannya selalu tidak baik dan melewati batas, atau orang yang sekali-kali tidak bisa dibiarkan sendirian, atau orang yang berbahaya bagi keamanan orang lain, pengadilan negeri, atas permintaan sanak saudaranya atau atas permintaan magistraat pengadilan negeri, sesudah memeriksanya dengan patut, berkuasa untuk memerintahkan demi keamanan dan ketertiban, supaya orang itu dimasukkan ke rumah kurungan yang tersedia untuk itu, rumah sakit atau tempat lain yang layak untuk itu, dan supaya la ditahan di situ selama belum tampak jelas tanda-tanda bahwa ia sudah baik. (RO. 134 dst., 138; Krankz. 48; S. 1868-72.)
(2)     Permintaan tersebut tidak tergantung pada pengampuan, yang, jika belum dikenakan, dan jika ada cukup sebabnya, boleh diniinta pada waktu itu juga atau kemudian, menurut peraturan di atas. (KUHPerd. 456; IR. 236.)
(3)     Ketentuan ayat (1) pasal ini berlaku juga bagi orang yang berpenyakit mengerikan, minta-minta di hadapan umum atau mengembara tanpa mata pencaharian, atau mempergunakan nasibnya untuk mengganggu orang lain, tetapi dengan pengertian bahwa:
a.      orang itu hanya boleh dimasukkan ke rumah kurungan atau rumah yang dinyatakan baik untuk itu oleh kepala daerah sesudah bermupakat dengan kepala dinas kesehatan rakyat; jika perlu, kepala daerah boleh memberikan beberapa syarat untuk pernyataan baik itu, sesudah bermupakat dengan kepala dinas kesehatan tersebut;
b.      orang yang dikenakan keputusan hakim seperti yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini, tidak boleh dimasukkan ke rumah kurungan atau rumah sakit yang diperuntukkan bagi orang yang menderita penyakit menular tertentu, jika belum dinyatakan dengan surat oleh dokter, – sedapat mungkin seorang ahli yang mendiagnosa penyakit itu – bahwa orang itu menderita penyakit menular itu atau diperkirakan benar-benar menderita penyakit itu; dokter itu haruslah dokter yang ditunjuk oleh kepala daerah sesudah bermupakat dengan inspektur atau wakil inspektur dinas kesehatan rakyat yang bersangkutan;
c.       atas permintaan orang yang berkepentingan atau sanak saudaranya atau magistraat, pengadilan negeri hendaklah melepaskan orang yang ditahan sementara menurut peraturan tersebut, jika ia dianggap tak perlu lagi ditahan berhubung dengan semua hal yang menyebabkan ia ditahan.

Pasal 234a.
(s.d.t. dg. S. 1936-81, 159; 1948-322.)
(1)     Atas tuntutan magistraat, pengadilan negeri, dengan penetapan sederhana, berhak juga memerintahkan orang dewasa dimasukkan ke suatu tempat bekerja yang tersedia untuk itu, yakni orang yang dinyatakan oleh kepala departemen sosial sebagai pengatur yang malas bekerja serta yang tidak mempunyai cukup nafkah hidup, jika ia melanggar ketertiban umum karena minta-minta, karena merisaukan atau karena kelakuannya bertentangan dengan keadaan masyarakat yang baik.
(2)     Tuntutan termaksud dalam ayat (1) itu tidak dikabulkan, sebelum orang yang dituntut itu didengar atau setidak-tidaknya dipanggil dengan sah. Pengadilan negeri mengambil keputusan berdasarkan pemberitahuan dan laporan yang dia, tetapi berhak mendengar saksi-saksi yang dapat memberi keterangan lebih lanjut tentang kejadian itu.
(3)     Penetapan tersebut dalam kedua ayat di atas berkekuatan satu tahun lamanya; jangka waktu itu selalu dapat ditambah dengan satu tahun lagi kalau ada tuntutan seperti itu; dalam semua hal itu, kepala departemen sosial berhak melepaskan orang yang bersangkutan dari tempat itu setiap waktu, bila keadaannya yang menyebabkan ia dimasukkan itu tidak ada lagi atau bila keadaan badannya atau pikirannya tidak mengizinkan ia tinggal lebih lama di tempat itu.
(4)     (a.d.t. dg. S. 1939-715.) Barang siapa dituntut supaya ditambah waktunya, di tempat itu selama pemeriksaan pengadilan negeri. Kalau tuntutan itu ditolak pengadilan negeri, maka jika magistraat pada pengadilan negeri menyatakan akan minta banding tentang penetapan itu, orang yang bersangkutan tetap tinggal di tempat itu selama pemeriksaan pengadilan tinggi (raad van justitie).
(5).   Penetapan yang dijatuhkan pengadilan negeri menurut pasal ini boleh dijalankan seketika itu juga.
(6).   Surat-surat yang perlu untuk menuntut memasukkan orang ke tempat bekerja dan penetapan-penetapan hakim, bebas dari meterai.
(7)     Hal menunjuk tempat bekerja termaksud dalam ayat (1) itu dan hal-hal lain yang perlu untuk penerapan pasal ini, diatur dengan peraturan pemerintah. (RO. 137a; S. 1936-160.)

Pasal 235.
(1)     Jika ada orang hilang atau meninggalkan tempat diamnya tanpa mengurus pemeliharaan harta bendanya, maka setiap bawahan polisi wajib, setiap orang yang berkepentingan berhak untuk memberitahukan hal itu kepada pengadilan negeri, ketua itu wajib pergi dengan segera bersama-sama dengan orang yang memberitahukan itu ke rumah orang yang hilang atau tidak ada itu, dan menjaga dengan penyegelan atau dengan cara lain yang patut, supaya jangan satu pun dari budel yang tidak dipelihara itu diambil orang. (K.UHPerd. 463 dst.)
(2)     Berita acara tentang tindakan itu hendaklah dikemukakan oleh ketua pada pengadilan negeri berikutnya; jika temyata perlu, pengadilan negeri akan melimpahkan pemeliharaan budel itu buat sementara kepada pengurus budel (boedelmeester) atau badan seperti itu, yang telah atau akan dikuasakan untuk itu. (IR. 236; S. 1832-7.)
(3)     Jika harta budel itu, menurut undang-undang yang berlaku tentang itu, tidak boleh diurus oleh badan-badan termaksud di atas, maka hendaklah diusahakan supaya harta budel itu diurus dengan cara lain yang sedemikian rupa, sehingga boleh dianggap akan mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi orang yang berkepentingan.
(4)     Dengan alasan bahwa harta budel itu hanya sedikit, pengadilan negeri juga berwenang untuk menyerahkan pemeliharaannya kepada orang yang ditunjuknya dari keluarga sedarah atau keluarga semenda orang yang hilang atau tidak ada itu, atau kepada suami atau istrinya, dengan satu kewajiban saja, yaitu akan mengembalikan barang itu atau harganya sesudah dipotong segala utang yang sudah dibayar sementara itu, tanpa memberikan suatu hasil atau pendapatan kepada orang yang hilang atau tidak ada itu, kalau ia kembali.
(5)     Jika ketua berhalangan, maka segala tindakan tersebut pada ayat (1) pasal ini, boleh dilakukan oleh panitera pengadilan negeri atau oleh pegawai lain yang dikuasakan oleh ketua; dalam dua puluh empat jam sesudah tugas itu dilakukan, panitera atau pejabat itu harus menyampaikan berita acaranya kepada ketua itu.

Pasal 236.
(1)     Terhadap penetapan pengadilan negeri yang diambil menurut pasal 231, 232, 234, 234a dan 235, boleh dimintakan banding kepada pengadilan tinggi. Permintaan akan banding itu boleh diajukan dalam waktu tiga puluh hari sesudah tanggal penetapan itu, dan dicatat menurut cara yang ditentukan untuk keputusan pengadilan negeri. Pengadilan tinggi memutuskan tanpa mendengar orang yang bersangkutan.
(2)     Penetapan yang diambil menurut pasal 234 dan 234a, dijalankan oleh atau atas perintah pegawai termaksud dalam pasal 325 ayat (1).

Pasal 236a.
Atas permintaan semua ahli waris atau bekas istri orang yang meninggal, pengadilan negeri akan memberi bantuan untuk mengadakan pemisahan budel di antara orang-orang Indonesia yang beragama apa pun, serta membuat aktanya, walaupun tidak ada perselisihan.

BAB XV.
BERBAGAI PERATURAN

Anotasi :
Dalam Bab XV ini, hal-hal yang menyangkut perkara pidana hendak. nya dianggap tidak tertulis.

Pasal 372.
(1)     Ketua majelis pengadilan wajib memimpin pemeriksaan dalam persidangan dan permusyawaratan.
(2)     Ia wajib juga memelihara tata tertib dalam persidangan; segala perintahnya untuk keperluan itu harus dilakukan dengan segera dan cermat. (RO. 46; Rv. 29; Sv. 126, 161, 254; TR. 268, 373; RBg. 700.)

Pasal 373.
Barang siapa mengganggu keamanan persidangan itu, atau memberi tanda setuju atau tidak, atau dengan jalan apa juga membuat gempar atau rusuh, dan dengan teguran pertama tidak segera diam, harus dikeluarkan dengan perintah ketua; hal itu tidak mengurangi tuntutan hakim, jika pada waktu itu ia melakukan suatu tindak pidana. (Rv. 22; Sv. 255 dst.; KUHP 217; RBg. 701.)

Pasal 374.
(1)     Pada seorang hakim pun boleh memeriksa perkara yang menyangkut kepentingannya sendiri, baik secara langsung maupun secara tidak langsung atau memeriksa perkara yang melibatkan istrinya atau salah seorang keluargs sedarah atau keluarga semendanya dalam garis lurus tanpa kecuali, dan dalam garis ke samping sampai dengan derajat keempat.
(2)     Hakim yang berada dalam keadaan demikian, atas kehendak sendiri, wajib menarik diri dari pemeriksaan perkara itu, tanpa harus diminta untuk itu oleh orang yang berkepentingan.
(3)     Jika ada keragu-raguan atau perselisihan paham dalam hat itu, maka keputusan diambil majelis. Keputusan majelis itu tidak boleh dibanding. (RO. 35 dst., 40, 44; Sv. 127, 268, 281; RBg. 702.)

Pasal 375.
Segala perintah untuk melepaskan si tertuduh atau pesakitan yang berada dalam tahanan harus diberitahukan segera-jika perlu dengan kawat pegawai kekuasaan umum, sama-sama berhak dan wajib untuk menjalankan perintah itu, dan pejabat yang disebut terakhir ini, segera sesudah menerima pemberitahuan itu harus melepaskan atau menyuruh melepaskan orang itu, kecuali jika orang itu harus tetap ditahan karena alasan lain. (RBg. 703.)

Pasal 376.
Kuasa termaksud dalam pasal 82 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, diberikan oleh pegawai termaksud dalam pasal 325 ayat (1) kitab tersebut; surat tanda terima bayaran, yang diberikan oleh pegawai yang berhak menerima pembayaran, harus dlgampaikan oleh pesakitan kepada pegawai itu dalam masa yang ditentukan dalam surat kuasa itu.

Pasal 377.
Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa. (Rv. 615 dst.; RB9. 705.)

Pasal 378.
Tiap orang yang dikenakan hukuman, harus pula dihukum membayar biaya perkara. Hanya jika dibebaskan sama sekali atau dibebaskan dari segala hukuman, maka biaya perkara itu ditanggung oleh Negara. (Sv. 411; IR. 181, 237 dst., 319-5-, 333; RBg. 706.)

Pasal 379.
Upah dan ganti rugi bagi pokrol, penasihat atau pembela dan wakil tidak boleh dalam hukuman membayar biaya perkara, tetapi harus ditanggung oleh pihak yang dibantu atau diwakili orang-orang itu. (Rv. 59, 788; Sv. 412; IR. 123, 182;, 254, 346; RBg. 707.)

380.Tidak dimuat karena tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang.

Pasal 381.
(1)     Jika hakim memerintahkan orang Indonesia atau orang Timur Asing untuk mengangkat sumpah di kuil atau kelenteng atau suatu tempat lain yang dipandang keramat, maka hakim itu harus menangguhkan pemeriksaan perkara itu sainpai pada hari persidangan lain yang ditentukannya.
(2)     Dalam hal yang demikian, ketua akan mengangkat seorang anggota majelis komisaris, yang bersama dengan panitera akan menghadiri pengangkatan sumpah itu dan membuat berita acara tentang hat itu. (Rv. 2 10; Sv. 415; IR. 155 dst., 158.; RBg. 709.)

Pasal 382.
Semua surat keputusan mahkamah tinggi, surat keputusan hakim dan surat perintah hakim dalam perkara pidana harus berkepala “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. (ISR. 130; RO. 27; Sv. 416; RBg. 710; S. 1891-188.)

Pasal 383.
Semua surat keputusan hakim harus tetap tersimpan dalam arsip majelis dan hanya boleh dipindahkan dalam hal dan menurut cara yang ditentukan peraturan undang-undang. (RO. 67, 69; Sv. 417; IR. 112; RBg. 711.)

Pasal 384.
(1)     Panitera wajib memegang suatu daftar umum untuk segala perkara pidana yang diperiksa oleh majelis di tempat tugasnya.
(2)     Dalam daftar itu harus dituliskan nama pesakitan, kejahatan atau pelanggaran yang dituduhkan kepadanya, hari perkara itu dimasukkan, hari keputusan hakim diucapkan, dan ringkasan keputusan hakim itu.
(3)     Panitera pengadilan negeri wajib memegang daftar serupa untuk perkara perdata.
(4)     Dalam daftar untuk perkara pidana harus disebutkan pemberian grasi atau pidana. (RO. 65; Sv. 418; RBg. 712.)

Pasal 385.
Salinan atau petikan keputusan hakim dalam perkara pidana tidak boleh diberikan kepada orang yang bukan pihak yang berperkara, kecuali jika ada izin ketua majelis yang menjatuhkan putusan hakim itu; permintaan untuk itu hanya boleh dikabulkan, jika ternyata, bahwa yang meminta itu berkepentingan dalam hal itu. (RO. 67; Rv. 65, 853, 856, 858; Sv. 419; IR. 386 dst.; RBg. 713.)

Pasal 386.
Pesakitan dalam perkara kejahatan atau pelanggaran, atas biaya sendiri boleh membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan dari semua surat perkaranya, yang dipandangnya perlu untuk pembelaannya. (IR. 385; RBg. 714.)

Pasal 387.
Panitera yang lalai untuk memenuhi dengan cermat semua peraturan yang tercantum dalam ayat (1) pasal 192, ayat (3) pasal 324 dan pasal 352 reglemen ini, dan dalam pasal 290 Peraturan Hukum Acara Pidana, didenda untuk tiap-tiap kelalaian dengan denda sebanyak-banyak sepuluh gulden. (Sv. 42 1; RBg. 715,)

Pasal 388.
(1)     Semuajuru sita, pesuruh yang bertugas pada majelis pengadilan, dan pegawai kekuasaan umum sama-sama berhak dan wajib untuk menjalankan , pemberitahuan dan semua surat juru sita yang lain dan untuk melaksanakan perintah dan keputusan hakim.
(2)     Jika tidak ada orang-orang tersebut, maka ketua majelis pengadilan yang dalam daerah hukumnya akan dijalankan surat juru sita itu harus menunjuk seorang yang patut dan dapat dipercaya untuk itu. (RO. 193 edst., 205; Rv. 1; Sv. 422; IR. 165-31, 389; RBg. 716; S. 1895-204.)

Pasal 389.
Juru sita pengadilan negeri di Jakarta, Semarang dan Surabaya harus menyatakan surat juru sita yang telah dijalankannya dengan laporan tertulis. Juru sita pengadilan negeri yang lain dan semua orang lain, yang pada pengadilan negeri ditugaskan menjalankan surat juru sita, kalau perlu, cukuplah memberikan laporan lisan kepada hakim atau pegawai lain yang berwenang tentang segala pemberitahuan, panggilan dan surat juru sita lain yang mereka jalankan; hakim atau pegawai itu mencatat atau menyuruh mencatat itu. (RO. 198, 204; Sv. 423; IR. 388; RBg. 717.)

Pasal 390.
(1)     Tiap-tiap surat juru sita, kecuali yang disebut di bawah ini, harus disampaikan kepada orang yang bersangkutan sendiri di tempat diam atau tempat tinggalnya, dan jika tidak bertemu dengan orang itu di situ, kepada kepala desanya atau beknya, yang wajib dengan segera memberitahukan surat juru sita itu kepada orang itu sendiri, tetapi hal itu tak perlu dinyatakan dalam hukum.
(2)     Dalam hal orang yang bersangkutan sudah meninggal, surat juru sita itu disampaikan kepada ahli warisnya; jika ahli waris itu tidak diketahui, maka disampaikan kepada kepala desa atau bek di tempat tinggal terakhir orang yang meninggal itu di Indonesia; kepala desa atau bek itu harus berbuat menurut ketentuan ayat di atas ini. Jika orang yang meninggal itu termasuk golongan Timur Asing, maka suratjuru sita itu diberitahukan dengan surat tercatat kepada balai harta peninggalan.
(3)     (s. d. u. dg. S. 1939- 715.) Tentang orang yang tidak diketahui tempat diam atau tempat tinggalnya dan tentang orang yang tidak dikenal, maka surat juru sita itu disampaikan kepada bupati, yang dalam daerahnya terletak tempat tinggal orang yang mendakwa, dan dalam perkara pidana, yang dalam daerahnya berkedudukan hakim yang berhak; bupati itu memaklumkan surat juru sita itu dengan menempelkannya pada pintu utama di tempat persidangan hakim yang berhak itu. (RBg. 718.)

Pasal 391.
Untuk menghitung waktu yang ditentukan dalam reglemen ini, hari mulainya waktu itu tidak turut dihitung. (Rv. 15; Sv. 424; RBg. 719.)

Pasal 392.
(1)     Para saksi yang dipanggil, baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara perdata, dan datang menghadap, baik pada persidangan maupun di luar itu, berhak mendapat ganti rugi atas biaya perjalanan dan penginapan, menurut tarif yang telah ada atau yang akan ditentukan.
(2)     Hakim dan pegawai polisi pengadilan harus memberitahukan kepada para saksi yang menghadap, berapa besarnya ganti rugi yang patut mereka terima. (IR. 62, 105, 139, 258, 265, 287; RBg. 720.)

Pasal 393.
(1)     Dalam mengadili perkara di hadapan pengadilan negeri tidak boleh digunakan acara yang lain atau yang lebih daripada yang ditentukan dalam reglemen ini.
(2)    Tidak berlaku lagi karena tidak sesuai dengan keadaan sekarang.

Pasal 294.
Jika Mahkamah Agung Indonesia menimbang baik diadakan pemeriksaan setempat, supaya semua peraturan dalam reglemen ini berlaku dengan tertib dan dituruti dengan patut, maka Mahkamah Agung itu akan mengajukan surat yang berisi usul tentang hal itu kepada pemerintah (Gubemur Jenderal). (RO. 157.)

0 comments:

Post a Comment