Recent Comments

Sunday, 10 January 2016

BAB IV. PERKAWINAN.& BAB V. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTRI


BAB IV.
PERKAWINAN.
(Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan Tionghoa.)
Catatan :
Ketentuan-ketentuan perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan dalam peraturan-peraturan lain, oleh Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan tidak berlaku lagi, sejauh telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974.
Ketentuan Umum.
Pasal 26.
Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
(KUHPerd. 81.)
Bagian 1.
Syarat-syarat Dan Segala Sesuatu yang Harus Dipenuhi Untuk Dapat Melakukan Perkawinan.
(Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan
Tionghoa.)
Lihal Peraturan Peralihan mengenai diberlakukannya perundang-undangan anak-anak S. 1927-31
jis. 390, 421 sebelum Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Pasal 27.
Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat oleh perkawinan dengan satu orang perempuan saja; seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja. (KUHPerd. 60-4′, 62, 63-21, 65, 70-4-, 83, 86, 93, 95 dst., 493 dst.; KUHP 279 dst.)
Pasal 28.
Asas perkawinan menghendaki adanya persetujuan bebas dari calon suami dan calon istri. (KUHPerd. 61-3′, 4′, 62, 63_21, 65, 83, 87 dst., 95 dst. 901.)
Pasal 29.
Laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, pemerintah berkuasa menghapuskan larangan ini dengan memberikan dispensasi. (ISR. 43; KUHPerd. 61-41, 62, 63-21, 65, 83, 89; BS. 55, 61; W & B II-283.)
Pasal 30.
Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak-beradik laki-perempuan, sah atau tidak sah. (KUHPerd. 61-41, 62, 63-2′, 65, 83, 90, 93, 95 dst., 98, 290, 295, 297.)
Pasal 31.
Juga dilarang perkawinan :
1. (s.d. u. dg. S. 1941-370.) antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah diberikan izin oleh hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk melakukan perkawinan lain;
2. antara paman atau paman orang tua dan kemenakan perempuan atau anak perempuan kemenakan, demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dan kemenakan laki-laki atau anak laki-laki kemenakan, yang sah atau tidak sah.
Jika ada alasan-alasan penting, pemerintah dengan memberi dispensasi, berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini. (ISR. 43; KLTHPerd. 29, 61-4-, 62, 63-2′, 65, 83, 90, 93, 95 dst., 98, 295, 297.)
Pasal 32.
Seseorang yang dengan keputusan pengadilan telah dinyatakan melakukan zinah, sekali-kali tidak diperkenankan kawin dengan pasangan zinahnya itu. (KUHPerd. 61-4′, 62, 63- 2′, 65, 83, 90, 93, 95 dst., 98, 209.)
Pasal 33.
(s.d.u. dg. S. 1923-31.) Antara orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan pasal 199 nomor 31 atau 4′, tidak boleh untuk kedua kalinya dilaksanakan perkawinan kecuali setelah lampau satu tahun sejak pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam daftar catatan sipil.
Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang. (KUHPerd. 61-40, 62, 63-20, 65, 83, 90, 93, 199, 207 dst., 232a, 268, 493.)
Pasal 34.
Seorang wanita tidak boleh melakukan perkawinan baru, kecuali setelah lampau jangka waktu tiga ratus hari sejak pembubaran perkawinan yang terakhir. (KUHPerd. 61-41, 62, 63-21, 64 dst., 71-4-, 83, 99, 252, 494 dst.)
Pasal 35.
(s.d. u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Untuk melaksanakan perkawinan, anak sah di bawah umur memerlukan izin kedua orang tuanya.
Akan tetapi bila hanya salah seorang dari mereka memberi izin dan yang lainnya telah dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian atas anak itu, maka pengadilan negeri di daerah tempat tinggal anak itu, atas permohonannya, berwenang memberi izin melakukan perkawinan itu, setelah mendengar atau memanggil dengan sah mereka yang izinnya menjadi syarat beserta keluarga keluarga sedarah atau keluarga-keluarga semenda.
Bila salah satu orang tua telah meninggal atau berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang lain. (KUHPerd, 37, 40 dst., 49, 61-10, 71-20, 50, 83, 91, 151, 299 dst., 330, 424, 458, 901; BS. 61-40.)
Pasal 36.
(s.d.u. dg. S. 1927 31 jis. 390, 421.) Selain izin yang diharuskan dalam pasal yang lalu, anak-anak sah yang belum dewasa memerlukan juga izin dari wajib mereka, bila yang melakukan perwalian adalah orang lain daripada ayah atau ibu mereka; bila izin itu diperlukan untuk kawin dengan wali itu atau dengan salah satu dari keluarga sedarahnya dalam garis lurus, diperlukan izin dari wali pengawas.
Bila wali atau wali pengawas atau ayah atau ibu yang telah dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwaliannya, menolak memberi izin atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka berlakulah alinea kedua pasal yang lain, asal orang tua yang tidak dipecat dari kekuasaan orang tua atau dari perwaliannya atas anaknya telah memberikan izin itu. (KUHPerd. 42, 49, 62, 71-20, 51, 83 dst., 91, 151, 424, 901; BS. 61-40.)
Pasal 37.
(s.d. u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Bila ayah dan ibu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak mereka, maka mereka masing-masing hal dgantikan oleh orang tua mereka, sejauh mereka masih hidup dan tidak dalam keadaan yang sama.
Bila orang lain daripada orang-orang tersebut di atas melakukan perwalian atas anak-anak di bawah umur itu, maka dalam hal seperti yang dimaksud dalam alinea yang lain, si anak memerlukan lagi izin dari wali atau wali pengawas, sesuai dengan perbedaan kedudukan yang dibuat dalam pasal yang lalu.
Alinea kedua pasal 35 berlaku, bila antara mereka yang izinnya diperlukan menurut alinea satu atau alinea dua pasal ini ada perbedaan pendapat atau bila salah satu atau lebih tidak menyatakan pendiriannya. (KUHPerd. 49, 62, 71-20, 50, 83 dst., 91, 151, 424, 497, 901; BS. 61-40.)
Pasal 38.
(s. d. u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Bila ayah dan ibu serta kakek dan nenek si anak tidak ada, atau bila mereka semua berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka, anak sah yang masih di bawah umur tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin wali dan wali pengawasnya.
Bila baik wali maupun wali pengawas, atau salah seorang dari mereka, menolak untuk memberi izin atau tidak menyatakan pendirian, maka pengadilan negeri di daerah tempat tinggal anak yang masih di bawah umur, atas permohonannya berwenang memberi izin untuk melakukan perkawinan, setelah mendengar dan memanggil dengan sah wali, wali pengawas, dan keluarga sedarah atau keluarga semenda. (KUHPerd. 39, 49, 61-20, 63 dst; KUHP 524.)
Pasal 39.
(s.d. u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Anak luar kawin yang diakui sah, selama masih di bawah umur, tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin ayah dan ibu yang mengakuinya, sejauh kedua-duanya atau salah seorang masih hidup dan tidak berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka.
Bila semasa hidup ayah atau ibu yang mengakuinya, orang lain yang melakukan perwalian atas anak itu, maka hal pula diperoleh izin dari wali itu atau dari wali pengawas bila izin itu diperlukan untuk perkawinan dengan wali itu, sendiri atau dengan salah seorang dari keluarga sedarah dalam garis lurus.
Bila terjadi perselisihan pendapat antara mereka yang izinnya diperlukan menurut alinea pertama dan kedua, dan salah seorang atau lebih menolak memberikan izin itu, maka pengadilan negeri di daerah hukum tempat tinggal anak yang di bawah umur itu, atas permohonan si anak, berkuasa memberi izin untuk melakukan perkawinan, setelah mendengar atau memanggil dengan sah mereka yang izinnya diperlukan.
Bila baik ayah maupun ibu yang mengakui anak di bawah umur itu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak mereka, diperlukan izin dari wali dan wali pengawas.
Bila kedua-duanya atau salah seorang menolak untuk memberi izin, atau tidak menyatakan pendirian, maka berlaku pasal 38 alinea kedua, kecuali apa yang ditentukan di situ mengenai keluarga sedarah atau keluarga semenda.
Pasal 40.
(s.d. u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Anak tidak sah yang tidak diakui, tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin wali atau wali pengawas, selama ia masih di bawah umur.
Bila kedua-duanya, atau salah seorang, menolak untuk memberikan izin atau untuk menyatakan pendirian, pengadilan negeri di daerah hukum tempat tinggal anak yang masih di bawah umur itu, atas permohonannya, berkuasa memberikan izin untuk itu, setelah mendengar atau memanggil dengan sah wali atau wali pengawas si anak. (KUHP 524.)
Pasal 41.
(s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Penetapan-penetapan pengadilan negeri dalam hal-hal yang termaksud dalam enam pasal yang lalu, diberikan tanpa bentuk hukum acara. Penetapan-penetapan itu, baik yang mengabulkan permohonan izin, maupun yang menolak, tidak dapat dimohonkan banding,
(s.d.u. dg, S. 1927-456.) Mendengar mereka yang izinnya diperlukan seperti yang termaksud dalam enam pasal yang lain, bila mereka bertempat tinggal di luar kabupaten tempat kedudukan pengadilan negeri itu, boleh dilimpahkan kepada pengadilan negeri di tempat tinggal atau tempat kedudukan mereka, dan pengadilan negeri ini akan menyampaikan berita acaranya kepada pengadilan negeri. yang disebut pertama. Pemanggilan mereka yang izinnya diperlukan, dilakukan dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 333 terhadap keluarga sedarah dan keluarga semenda. Mereka yang disebut pertama, atau pun mereka yang disebut terakhir, boleh mewakilkan diri dengan cara seperti yang tercantum dalam pasal 334.
Pasal 42.
(s.d.u.dg.S.1927-31jis.390,421.)Anak sah, yang telah dewasa, tetapi belum genap tiga puluh tahun, juga wajib untuk mohon izin ayah dan ibunya untuk melakukan perkawinan.
Bila ia tidak memperoleh izin itu, ia boleh memohon perantaraan pengadilan negeri tempat tinggalnya, dan dalam hal itu harus diindahkan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut.
Pasal 43.
(s.d. u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Dalam waktu tiga minggu, atau dalam jangka waktu yang lain jika dianggap perlu oleh pengadilan negeri, terhitung dari hari pengajuan surat permohonan itu, pengadilan harus berusaha menghadapkan si ayah dan si ibu, beserta anak itu, agar dalam suatu sidang tertutup kepada mereka diberi penjelasan-penjelasan yang dianggap berguna oleh pengadilan demi kepentingan mereka masing-masing. Mengenai pertemuan pihak-pihak tersebut hal dibuat berita acara tanpa mencantumkan alasan-alasan yang mereka kemukakan.
Pasal 44.
(s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Bila baik ayahnya maupun ibunya tidak hadir, perkawinan dapat dilangsungkan dengan penunjukan akta yang memperlihatkan ketidak hadiran itu.
Pasal 45.
Bila anak itu tidak hadir, maka perkawinannya tidak dapat dilaksanakan, kecuali sesudah permohonan diajukan sekali lagi untuk perantaraan pengadilan. (KUHPerd. 47, 48.)
Pasal 46.
(s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Bila, setelah anak itu dan kedua orang tua atau salah satu orang tua hadir, kedua orang tua itu atau salah seorang tetap menolak, maka perkawinan tidak boleh dilaksanakan bila belum lampau tiga bulan, terhitung dari hari pertemuan.
Pasal 47.
(sd.u. dg, S. 1927-31 jis. 390, 421.) Ketentuan-ketentuan dalam lima pasal terakhir ini juga berlaku untuk anak tak sah terhadap ayah dan ibu yang mengakuinya.
Pasal 48.
(s.d.u. dg. S. 1,928-546.) Sekiranya kedua orangtua atau salah satu tidak berada di Indonesia, pemerintah berkuasa memberi dispensasi dari kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam pasal 42 sampai dengan Pasal 47.
Pasal 49.
(s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Dalam pengertian ketidak mampuan orang tua atau para kakek-nenek untuk memberi izin kepada anak di bawah umur untuk melakukan perkawinan, dalam hal-hal yang diatur dalam pasal 35, 37, 38 dan 39, sekali-kali tidak termasuk ketidakhadiran terus menerus atau sementara di Indonesia. (S. 1927-31, peraturan peralihan.)
Bagian 2.
Acara yang Harus Mendahului Perkawinan.
(berlaku bagi golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, dan bagi golongan Tionghoa.)
Pasal 50.
Semua orang yang hendak melangsungkan perkawinan, hal memberitahukan hal itu kepada pegawai catatan sipil di tempat tinggal salah satu pihak. (KUHPerd. 17; BS. 54 dst.)
Pasal 51.
Pemberitahuan ini hal dilakukan, baik secara langsung, maupun dengan surat yang dengan cukup jelas memperlihatkan niat kedua calon suami-istri, dan tentang pemberitahuan itu hal dibuat sebuah akta oleh pegawai catatan sipil. (BS. 54 dst.)
Pasal 52.
(s.d.u. dg. S. 1916-338jo. S. 1917-18.) Sebelum pelaksanaan perkawinan itu, pegawai catatan sipil harus mengumumkan hal itu dan menempel surat pengumuman pada pintu utama gedung tempat penyimpanan daftar-daftar catatan sipil itu. Surat itu hal tetap tertempel selama sepuluh hari.
Pengumuman itu tidak boleh dilangsungkan pada hari Minggu; yang disamakan dengan hari Minggu dalam hal ini ialah hari Tahun Baru, hari Paskah kedua dan Pantekosta, hari Natal, hari Kenaikan Isa Almasih, dan hari Mikraj Nabi. (s.d.u. dg. S. 1937-595.) Surat pengumuman ini harus memuat:
1. nama, nama depan, umur, pekerjaan dan tempat tinggal calon suami-istri dan, bila mereka sebelumnya pernah kawin, nama suami atau istri mereka yang dulu;
2. hari, tempat dan jam terjadinya pengumuman. (KUHPerd. 53, 61-60, 63-20, 75, 82 dst., 99; BS. 54 dst.)
(s.d.u. dg. S. 1937-595.) Surat itu ditandatangani oleh pegawai catatan sipil itu.
Pasal 53.
(s.d.u. dg. S. 1916-338jo. S. 1917-18.) Bila kedua calon suami-istri tidak bertempat tinggal dalam wilayah catatan sipil yang sama, maka pengumuman itu akan dilakukan oleh pegawai catatan sipil di tempat tinggal masing-masing pihak. (KUHPerd. 17, 76, 83; BS. 56 dst.)
Pasal 54.
(s.d.u. dg. S. 1916-338 jo. S. 191 7-18.) Bila calon suami-istri belum sampai enam bulan penuh bertempat tinggal dalam daerah suatu catatan sipil, pengumumannya harus juga dilakukan oleh pegawai catatan sipil di tempat tinggal mereka yang terakhir.
(s.d.u.- dg. S. 193 7-5 72, S. 1939-288.) Bila ada alasan-alasan yang penting, dari kewajiban membuat pengumuman tersebut di atas boleh diberikan dispensasi oleh kepala Pemerintahan Daerah yang di daerahnya telah dilakukan pemberitahuan kawin. (BS. 56 dst.)
55, 56. Dihapus S. 1916-338 jo. 1917-18.
Pasal 57.
(s.d.u. dg.S. 1916-338jo. S. 1917-18.) Bila perkawinan itu belum dilangsungkan dalam waktu satu tahun, terhitung dari waktu pengumuman, perkawinan itu tidak boleh dilangsungkan, kecuali bila sebelumnya diadakan pengumuman lagi. (KUHPerd. 75.)
Pasal 58.
(s.d.u. dg. S. 1916-338jo. S. 1917-18.) Jadi kawin tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka hakim berlangsungnya perkawinan, juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, akibat tidak dipenuhinya jadi itu; semua persetujuan untuk ganti rugi dalam hal ini adalah batal.
Akan tetapi, jika pemberitahuan kawin itu telah diikuti oleh suatu pengumuman, maka hal itu dapat menjadi dasar untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga berdasarkan kerugian-kerugian yang nyata diderita oleh satu pihak atas barang-barangnya sebagai akibat dari penolakan pihak yang lain; dalam pada itu tak boleh diperhitungkan soal kehilangan keuntungan.
Tuntutan ini kedaluwarsa dengan lampaunya waktu delapan belas bulan, terhitung dari pengumuman perkawinan itu. (AB 23; KUHPerd. 154, 1243 dst., 1305, 1320, 1335, 1337.)
Bagian 3.
Pencegahan Perkawinan.
(Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, dan bagi golongan Tionghoa.)
Pasal 59.
Hak untuk mencegah berlangsungnya perkawinan hanya ada pada orang-orang dan dalam hal-hal yang disebut dalam pasal-pasal berikut. (Rv. 816 dst.)
Pasal 60.
Barangsiapa masih terikat oleh perkawinan dengan salah satu pihak, termasuk juga anak-anak yang lahir dari perkawinan itu, berhak mencegah perkawinan baru yang dilaksanakan, tetapi hanya berdasarkan perkawinan yang masih ada. (KUHPerd. 27, 61-41, 62 dst., 68, 86.)
Pasal 61.
(s.d.u. dg. S. 1916-338jo. S. 1917-18; S. 1917-497; S. 27-31jis. 390, 421.) Ayah atau ibu boleh mencegah perkawinan dalam hal-hal berikut :
1. bila anak mereka yang masih di bawah umur, belum mendapat izin yang menjadi syarat;
2. bila anak mereka, yang sudah dewasa tetapi belum genap tiga puluh tahun, lalai meminta izin mereka, dan dalam hal permohonan izin itu ditolak, lalai untuk meminta perantaraan pengadilan negeri seperti yang diwajibkan menurut pasal 42;
3. bila salah satu pihak, yang karena cacat mental berada dalam pengampuan, atau dengan alasan yang sama telah dimohonkan pengampuan, tetapi atas permohonan itu belum diambil keputusan; (KUHPerd. 434.)
4. bila salah satu pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk mengadakan perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian pertama bab ini; (KUHPerd. 27 dst., 60, 62 dst.)
5. bila pengumuman perkawinan yang menjadi syarat tidak diadakan; (KUHPerd. 52 dst.)
6. bila salah satu pihak, karena sifat pemboros ditaruh di bawah pengampuan, dan perkawinan yang hendak dilangsungkan tampaknya akan membawa ketidak-bahagiaan bagi anak mereka. (KUHPerd. 434.)
Bila yang menjalankan perwalian atas anak itu orang lain daripada ayah atau ibunya, maka wali atau wali pengawasnya, bila yang disebut terakhir ini harus mengganti si wali, mempunyai hak yang sama dalam hal-hal seperti yang tercantum dalam nomor-nomor 10, 30, 40, 50 dan 60.
Pasal 62.
(s.d.u. dg. S. 1917-497; S. 1927-31jis. 390, 421.) Dalam hal kedua orang tua tidak ada, maka kakek-nenek dan wali atau wali pengawas, bila yang disebut terakhir ini harus mengganti si wali, berhak untuk mencegah perkawinan dalam hal-hal seperti yang tercantum dalam nomor 30, 40, 50 dan 60, pasal yang lain.
Kakek-nenek dan wali atau wali pengawas, bila yang disebut terakhir ini menggantikan si wali, berhak untuk mencegah perkawinan dalam hal-hal yang tercantum pada nomor 11, jika izin mereka menjadi syarat.
Pasal 63.
(s.d.u. dg. S. 1917-497; S. 1927-31jis. 390, 421.) Dalam hal kakek-nenek tidak ada, maka saudara laki-laki dan perempuan, paman dan bibi, demikian pula wali, dan wali pengawas, pengampu dan pengampu pengawas, berhak mencegah perkawinan :
1. bila ketentuan-ketentuan pasal 38 dan pasal 40 mengenai memperoleh izin kawin tidak diindahkan;
2. karena alasan-alasan seperti yang tercantum datam nomor 3, 4, 5 dan 6 pasal 61. (KUHPerd. 58.)
Pasal 64.
Suami yang perkawinannya telah bubar karena perceraian, boleh mencegah perkawinan bekas istrinya, bila dia hendak kawin lagi sebelum lampau tiga ratus hari sejak pembubaran perkawinan yang dulu. (KUHPerd. 34, 6, 61-4, 62, 20, 65.)
Pasal 65.
Jawatan kejaksaan wajib mencegah perkawinan yang hendak dilangsungkan didar6 hal-hal yang tercantum dalam pasal 27 sampai dengan 34. (RO. 55; KUHPerd. 94; RV. 323.)
Pasal 66.
Pencegahan perkawinan ditangani oleh pengadilan negeri, yang di daerah hukumnya terletak tempat kedudukan pegawai Catatan sipil yang harus melangsungkan perkawinan itu. (Rv. 817.)
Pasal 67.
Dalam akta pencegahan harus disebutkan segala alasan yang dijadikan dasar pencegahan , dan tidak diperkenankan mengajukan alasan baru, sejauh hal itu tidak timbul setelah pencegahan. (BS. 59; Rv. 816.)
68. Dihapus dg. S. 1937-595, berlaku terhitung; 1 Januari 1939.
Pasal 69.
Bila pencegahan itu ditolak, para penentang boleh dikenakan kewajiban mengganti biaya, kerugian dan bunga, kecuali jika penentang itu adalah keluarga dalam garis ke atas dan garis ke bawah atau jawatan kejaksaan. (KUHPerd. 62 dst.; Rv. 58.)
Pasal 70.
Bila terjadi pencegahan perkawinan, pegawai Catatan sipil tidak diperkenankan untuk melaksanakan perkawinan itu, kecuali setelah kepadanya disampaikan-suatu putusan pengadilan yang telah mendapat kekuatan hukum tetap atau suatu akta otentik dengan mana pencegahan itu ditiadakan; pelanggaran atas ketentuan ini kena ancaman hukuman penggantian biaya, kerugian dan bunga.
Bila perkawinan itu dilaksanakan sebelum pencegahan itu ditiadakan, maka perkara mengenai pencegahan itu boleh dilanjutkan, dan perkawinan boleh dinyatakan batal sekimnya gugatan penentang dikabulkan. (KUHPerd. 71-60, 82; BS. 59.)
Bagian 4.
Pelaksanaan Perkawinan
Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan
Tionghoa,kecuali KUHPerd. 71-60, 74, 75.)
Pasal 71.
Sebelum melangsungkan perkawinan, pegawai catatan sipil harus meminta agar kepadanya
disampaikan :
1. akta kelahiran masing-masing calon suami-istri; (KUHPerd. 29, 35 dst.; Chin. 16.)
2. (s.d. u. dg. S. 191(3-338 jo. S. 191 7-18; S. 1927–31 jis. 390, 421.) akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil dan didaftarkan dalam daftar izin kawin, atau akta otentik lain yang berisi izin ayah, ibu, kakek, nenek, wali, atau wali Pengawas, ataupun izin yang diperoleh dari hakim, dalam hal-hal di mana izin itu diperlukan; (KUHPerd. 35 dst., 42 dst., 452.) lzin itu dapat juga diberikan pada akta perkawinan sendiri;
3. akta yang menunukkan adanya perantaraan pengadilan negeri; (KUHPerd. 38 dst., 41 dst.)
4. dalam hal perkawinan kedua atau perkawinan berikutnya: akta kematian suami atau istri yang dulu, atau akta perceraian, atau salinan surat izin dari hakim yang diberikan dalam hal pihak lain dari suami atau istri tidak ada; (KUHPerd. 27, 32, 44, 493; Chin. 16.)
5. akta kematian dari mercka yang seharusnya memberikan izin kawin; (KUHPerd. 71-2; Chin. 16.)
6. (s.d.u. dg. S. 1916-338 jo. S. 1917-18.) bukti, bahwa pengumuman perkawinan itu telah berlangsung tanpa pencegahan di tempat yang disyaratkan menurut pasal 52 dan berikutnya, ataupun bukti bahwa pencegahan yang dilakukan telah dihentikan; (KUHPerd. 70; BS. 59.)
7. dispensasi yang telah diberikan; (KUHPerd. 29, 31, 48, 54, 56.) 8. izin untuk Para perwira dan tentara bawahan yang menjadi syarat untuk melakukan perkawinan.
Pasal 72.
Jika di antara calon suami-istri ada yang tidak dapat memperlihatkan akta kelahiran seperti yang disyaratkan pada nomor 11 pasal yang lampau, maka hal itu dapat dganti dengan akta tanda kenal yang dikeluarkan oleh kepala Pemerintahan Daerah tempat lahir atau tempat tinggal calon suami atau istri atas keterangan dua saksi laki-laki atau perempuan, keluarga atau bukan keluarga.
Keterangan ini harus menyebutkan tempat dan waktu kelahirannya secermat-cermatnya, serta sebab-sebab yang menghalanginya untuk menunjukkan akta kelahiran.
Tidak adanya akta kelahiran dapatjuga dganti dengan keterangan semacam itu di bawah sumpah yang diberikan oleh saksi-saksi yang harus hadir pada pelaksanaan perkawinan itu, ataupun dengan keterangan yang diberikan di bawah sumpah di hadapan pegawai catatan sipil oleh calon suami atau istri, dan sumpah itu berisi, bahwa dia tidak dapat memperoleh akta kelahiran atau akta tanda kenal.
Dalam akta perkawinannya, keterangan yang satu dan yang lain harus dicantumkan. (KUHPerd.
13, 76 dst.; BS. 27, 61; Chin. 16.)
Pasal 73.
Bila para pihak tidak dapat memperlihatkan akta kematian yang disebut dalam pasal 71 nomor 50, maka kekurangan itu dapat diperbaiki dengan cara yang sama seperti yang tercantum dalam pasal yang lain. (KUHPerd. 13, 82; BS. 27.)
Pasal 74.
Bila pegawai catatan sipil menolak untuk melangsungkan perkawinan atas dasar tidak lengkapnya surat surat dan keterangan-keterangan yang diharuskan oleh pasal-pasal yang lain, maka pihak-pihak yang berkepentingan berhak mengajukan surat permohonan kepada pengadilan negeri; setelah mendengar jawatan kejaksaan, bila ada alasan untuk itu, dan mendengar pegawai catatan sipil, pengadilan negeri itu secara singkat dan tanpa kemungkinan banding, akan mengambil keputusan tentang lengkap atau tidak lengkapnya surat-surat.
Pasal 75.
(s.d u. dg. S. 1916-338 jo. S. 191 7-18.) Perkawinan tidak boleh dilangsungkan, sebelum hari kesepuluh setelah hari pengumuman, di mana hari itu sendiri tidak termasuk. (KUHPerd. 52, 57, 71-60, 99.)
Jika ada alasan penting, kepala Pemerintahan Daerah, yang di daerahnya telah dilakukan pemberitahuan kawin, berkuasa memberikan dispensasi dari pengumuman dan waktu tunggu yang diharuskan.
Jika dispensasi telah diberikan, berita tentang hal itu hal ditempel secepat-cepatnya pada pintu utama gedung yang dimaksud pada alinea pertama pasal 52.
Dalam berita tempel itu harus disebutkan kapan perkawinan itu akan atau telah dilaksanakan.
Pasal 76.
(s.d.u. dg. S. 1901-353jo. S. 1905-552; S. 1932-42.) Perkawinan harus dilaksanakan di muka umum, dalam gedung tempat membuat akta catatan sipil, dihadapan pegawai catatan sipil tempat tinggal salah satu pihak, dan di hadapan dua orang saksi, baik keluarga maupun bukan keluarga, yang telah mencapai umur dua puluh satu tahun dan berdiam di Indonesia. (KUHPerd. 17 dst., 53, 83, 92 dst., 99; BS. 13, 61 dst.)
Pasal 77.
Bila salah satu pihak karena halangan yang terbukti cukup sah, tidak dapat pergi ke gedung tersebut, perkawinan boleh dilangsungkan dalam sebuah ruangan khusus di daerah pegawai catatan sipil yang bersangkutan.
Jika terjadi demikian, dalam akta perkawinan hal dicantumkan sebab-sebab terjadinya. tentang sah tidaknya halangan tersebut dalam pasal ini, diserahkan kepada pegawai catatan sipil itu. (KUHPerd. 99; BS. 62.)
Pasal 78.
Kedua calon suami-istri harus datang secara pribadi menghadap pegawai catatan sipil pada waktu pelaksanaan perkawinan itu. (S. 1947-137.)
Pasal 79.
Jika ada alasan-alasan penting, pemerintah berkuasa untuk mengizinkan pihak-pihak yang bersangkutan melangsungkan perkawinan mereka dengan menggunakan seorang wakil yang khusus diberi kuasa penuh dengan akta otentik.
Bila pemberi kuasa itu, sebelum perkawinan itu dilaksanakan, telah kawin orang lain secara sah, maka perkawinan yang telah berlangsung dengan wakil khusus dianggap tidak pernah terjadi. (KUHPerd. 27, 29, 31, 48, 58, 1792 dst., 1815, 1818; BS. 12, 62.)
Pasal 80.
Kedua calon suami-istri, di hadapan pegawai catatan sipil dan dengan kehadiran para saksi harus menerangkan bahwa yang satu menerima yang lain suami atau istrinya, dan bahwa dengan ketulusan hati mereka akan memenuhi kewajiban mereka, yang oleh undang-undang ditugaskan kepada mereka sebagai suami-istri. (BS. 13, 60 dst.)
Pasal 81.
Tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan di hadapan pegawai catatan sipil telah berlangsung. (KUHPerd. 26; KUHP 530.)
Pasal 82.
Jika terjadi pelanggaran oleh pegawai catatan sipil atas ketentuan-ketentuan dalam bab ini, maka selama hal itu tidak diatur dalam aturan undang-undang hukum pidana para pegawai itu boleh dihukum oleh pengadilan negeri dengan denda-denda yang tidak melebihi seratus gulden, tanpa mengurangi hak pihak-pihak yang berkepentingan untuk menuntut ganti rugi, bila ada alasan untuk itu. (KUHPerd. 99; BS. 28; KUHP 530; ketentuan hukum yang terkandung dalam KUHPer. 82 telah dihapus dengan Inv. Sv. 3.)
Bagian 5.
Perkawinan-perkawinan yang Dilaksanakan Di Luar Negeri.
(Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan Tionghoa.)
Pasal 83.
(s.d.u. dg. S. 1915-299jo. 642.) Perkawinan yang dilangsungkan di luar baik antara sesama warganegara Indonesia, maupun antara warganegara Indonesia dan warganegara lain, adalah sah bila perkawinan itu dilangsungkan menurut hukum yang biasa di negara tempat berlangsungnya perkawinan itu, dan sang istri yang warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dalam Bagian I bab ini. (AB 3, 16, 18; KUHPerd. 27 dst., 52 dst.; BS. 63.)
Pasal 84.
Dalam waktu satu tahun setelah kembalinya suami-istri ke wilayah Indonesia, akta tentang perkawinan mereka di luar negeri harus didaftarkan dalam daftar umum perkawinan di tempat tinggal mereka. (KUHPerd. 4 dst., 91, 152; BS. 1 dst., 63.)
Bagian 6.
Batalnya Perkawinan.
(Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan Tionghoa; lihat KUHPerd. 99.)
Pasal 85.
Batalnya suatu perkawinan dapat dinyatakan hanya oleh hakim. (KUHPerd. 70.)
Pasal 86.
Batalnya suatu perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan pasal 27, dapat dituntut oleh orang yang karena perkawinan sebelumnya terikat dengan salah seorang dari suami-istri itu, oleh suami-istri itu sendiri, keluarga sedarah dalam garis ke atas, oleh siapa pun yang mempunyai kepentingan dengan batalnya perkawinan itu, dan oleh jawatan kejaksaan.
Bila batalnya perkawinan yang terdahulu dipertahankan, maka terlebih dahulu harus diputuskan ada tidaknya perkawinan terdahulu itu. (KUHPerd. 60-65, 83, 93 dst., 493 dst.)
Pasal 87.
Keabsahan suatu perkawinan, yang berlangsung tanpa persetujuan bekas kedua suami-istri atau salah seorang dari mereka, hanya dapat dibantah oleh suami-istri itu, atau oleh salah seorang dari mereka yang memberikan persetujuan secara tidak bebas.
Bila telah terjadi kekhilafan tentang diri orang yang dikawini, keabsahan perkawinan itu hanya dapat dibantah oleh suami atau istri yang telah khilaf itu.
Dalam hal-hal tersebut dalam pasal ini, tuntutan akan pembatalan suatu perkawinan tidak boleh diterima, bila telah terjadi tinggal serumah terus-menerus selama tiga bulan sejak si suami atau istri mendapat kebebasan, atau sejak mengetahui kekeliruannya. (KUHPerd. 28, 58, 61-30 dan 41, 62, 63-20, 65, 83, 901.) 88. Bila perkawinan dilakukan oleh orang yang karena cacat mental ditaruh di bawah pengampuan, keabsahan perkawinan itu hanya boleh dibantah oleh ayahnya, ibunya dan keluarga sedarah dalam garis ke atas, saudara laki-laki dan perempuan, paman dan bibinya, demikian pula oleh pengampunya, dan akhimya oleh jawatan kejaksaan.
Setelah pengampuan itu dicabut, pembatalan perkawinannya hanya boleh dituntut oleh suami atau istri yang telah ditaruh di bawah pengampuan itu, tetapi tuntutan ini pun tidak dapat diterima bila kedua suami-istri telah tinggal bersama selama enam bulan, terhitung dari pencabulan pengampuan itu. (KUHPerd. 28, 61-30, 62, 63-20, 65, 83, 433 dst., 447, 460.)
Pasal 89.
Bila perkawinan dilakukan oleh orang yang belum mencapai umur yang disyaratkan dalam pasal 29, maka pembatalan perkawinan itu boleh dituntut, baik oleh orang yang belum cukup umur itu, maupun oleh jawatan kejaksaan.
Namun keabsahan perkawinan itu tidak dapat dibantah:
10. bila pada hari tuntutan akan pembatalan itu diajukan, salah seorang atau kedua suami-istri telah mencapai umur yang disyaratkan;
20. bila si istri, kendati belum mencapai umur yang disyaratkan, telah hamil sebelum tuntutan diajukan. (KUHPerd. 61-40, 62, 63-20, 65, 83.)
Pasal 90.
Semua perkawinan yang dilakukan dengan melanggar ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 30, 31, 32, dan 33, boleh dimintakan pembatalan, baik oleh suami-istri itu sendiri, maupun oleh orang tua mereka atau keluarga sedarah mereka dalam garis ke atas, atau oleh siapa pun yang mempunyai kepentingan dengan pembatalan itu, ataupun oleh-jawatan kejaksaan. (KUHPerd. 61-40, 62, 63-20, 65, 83, 93.)
Pasal 91
(s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421,456.) Bila suatu perkawinan dilaksanakan tanpa izin ayah, ibu, kakek, nenek, wali atau wali pengawas, maka dalam hal izin harus diperoleh ataupun wali harus didengar menurut pasal-pasal 35, 36, 37, 38, 39, dan 40, pembatalan perkawinan hanya boleh dituntut oleh orang yang harus diperoleh izinnya atau harus didengar menurut undang-undang.
Para keluarga sedarah yang izinnya disyaratkan tidak lagi boleh menuntut pembatalan perkawinan, bila perkawinan itu telah mereka setujui secara tegas atau secara diam-diam, atau perkawinan itu telah berlangsung enam bulan tanpa bantahan apa pun dari mereka terhitung sejak saat mereka mengetahui perkawinan itu.
Mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, pengetahuan tentang berlangsungnya perkawinan itu tidak boleh dianggap ada, selama suami-istri itu tetap lalai untuk mendaftarkan akta pelaksanaan perkawinan mereka dalam daftar umum perkawinan sesuai dengan ketentuan pasal 84. (KUHPerd. 35 dst., 61-l0, 62, 63-l0, 83 dst, 95 dst, 901; S. 1927-31 ketentuan peralihan 1.)
Pasal 92.
(s.d. u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Perkawinan yang dilangsungkan tidak di hadapan pegawai catatan sipil yang berwenang dan tanpa kehadiran sejumlah saksi yang disyaratkan, dapat dimintakan pembatalannya oleh suami-istri itu, oleh ayah, ibu dan keluarga sedarah lainnya dalam garis ke atas, dan pula oleh wali, wali pengawas, dan oleh siapa pun yang mempunyai kepentingan dalam hal itu, dan akhimya oleh jawatan kejaksaan.
Jika terjadi pelanggaran terhadap pasal 76, sejauh mengenai keadaan saksi-saksi, maka perkawinan itu tidak mutlak harus batal; hakimlah yang akan mengambil keputusan menurut keadaan.
Bila tampak jelas adanya hubungan selaku suami-istri, dan dapat pula diperlihatkan akta perkawinan yang dibuat di hadapan pegawai catatan sipil, maka suami-istri itu tidak dapat diterima untuk minta pembatalan perkawinan mereka menurut pasal ini. (KUHPerd. 76 dst., 83, 99 dst. -1 BS. 13; S. 1927-31 ketentuan perauhan 1.)
Pasal 93.
Dalam segala hal di mana sesuai dengan pasal-pasal 86, 90, dan 92 suatu tuntutan hukum pernyataan batal dapat dimulai oleh orang yang mempunyai kepentingan dalam hal itu, yang demikian tidak dapat dilakukan oleh kerabat dalam garis ke samping, oleh anak dari perkawinan lain, atau oleh orang-orang luar, selama suami-istri itu kedua-duanya masih hidup, dan tuntutan boleh diajukan hanya bila mereka dalam hal itu telah memperoleh atau akan segera memperoleh kepentingan.
Pasal 94.
Setelah perkawinan dibubarkan, jawatan kejaksaan tidak boleh menuntut pembatalannya.
Pasal 95.
Suatu perkawinan, walaupun telah dinyatakan batal, mempunyai segala akibat perdatanya, baik terhadap suami-istri, maupun terhadap anak-anak mereka bila perkawinan itu dilangsungkan dengan itikad baik oleh kedua suami-istri itu. (KUHPerd. 27 dst., 86 dst., 97.)
Pasal 96.
Bila itikad baik hanya ada pada salah seorang dari suami-istri, maka perkawinan itu mempunyai akibat-akibat perdata yang menguntungkan pihak yang beritikad baik itu dan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu.
Suami istri yang beritikad buruk boleh dijatuhi hukuman mengganti biaya, kerugian dan bunga terhadap pihak yang lain. (KUHPerd. 97.)
Pasal 97.
Dalam hal-hal tersebut dalam dua pasal yang lalu, perkawinan itu berhenti mempunyai akibat-akibat perdata, terhitung sejak hari perkawinan itu dinyatakan batal.
Pasal 98.
Batalnya suatu perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga, bila dia telah berbuat dengan
itikad baik dengan suami-istri itu.
Pasal 99.
Tiada satu perkawinan pun yang harus batal bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pasal-pasal 34, 42, 46, 52, dan 75, atau, kecuali apa yang diatur dalam pasal 77, bila perkawinan itu dilangsungkan tidak di muka tempat akta-akta catatan sipil dibuat.
Dalam hal-hal itu berlakulah ketentuan pasal 82 bagi pegawai-pegawai catatan sipil.
Pasal 99.
(sd.u. dg. S. 1937-59,5, mb. 1 Januari 1939) Pembatalan suatu perkawinan oleh pengadilan negeri atas tuntutan jawatan kejaksaan di pengadilan didaftar dalam daftar perkawinan yang sedang berjalan oleh catatan sipil tempat perkawinan itu dilangsungkan, dengan cara yang yang sesuai dengan alinea pertama pasal 64 Reglemen tentang Catatan Sipil untuk golongan Eropa atau alinea pertama pasal 72 Reglemen yang sama untuk golongan Tionghoa. Tentang pendaftaran itu harus dibuat catatan pada margin akta perkawinan.
Bila perkawinan itu berlangsung di luar Indonesia, maka pendaftarannya dilakukan di Jakana.
Bagian 7.
Bukti Adanya Suatu Perkawinan.
(Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan Tionghoa.)
Pasal 100.
Adanya suatu perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan cara lain daripada dengan akta pelaksanaan perkawinan itu yang didaftarkan dalam catatan sipil, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam pasal-pasal (KUHPerd. 4, 92; BS. 1, 7, 61; S. 1847-64 pasal 5.)
Pasal 101.
Bila ternyata, bahwa daftar-daftar itu tidak pernah ada, atau telah hilang, atau akta perkawinan itu tidak terdapat di dalamnya, maka penilaian tentang cukup tidaknya bukti-bukti tentang adanya perkawinan diserahkan kepada hakim, asalkan kelihatan jelas adanya hubungan selaku suami-istri. (KUHPerd. 13; BS. 27; S. 1847-64 pas. 5.)
Pasal 102.
Keabsahan seorang anak yang tidak dapat memperlihatkan akta perkawinan orang tuanya yang sudah meninggal, tidak dapat dibantah, bila dia telah memperlihatkan kedudukannya sebagai anak sesuai dengan akta kelahirannya, dan orang tuanya telah hidup secara jelas sebagai suami-istri. (KUHPerd. 250, 261 dst.)
BAB V.
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTRI
(Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, tetapi berlaku bagi olongan Tionghoa.)
Pasal 103.
Suami-istri wajib setia satu sama lain, saling menolong dan saling membantu. (KUHPerd. 140, 145 dst., 193, 225, 227, 237; KUHP 304.)
Pasal 104.
Suami-istri, dengan hanya melakukan perkawinan, telah saling mengikat diri untuk memelihara dan mendidik anak mereka. (KUHPerd. 109, 145 dst., 193, 214, 230, 293, 318, 320 dst., 1097, 1601i; KUHP 304.)
Pasal 105.
Sang suami menjadi kepala persatuan perkawinan. (KUHPerd. 124, 140.)
Sebagai kepala, ia wajib memberi bantuan kepada istrinya atau tampil untuknya di muka hakim, dengan mengingat pengecualian-pengecualian yang diatur di bawah ini. (KUHPerd. 110 dst.)
Dia harus mengurus harta kekayaan pribadi si istri, kecuali bila disyaratkan yang sebaliknya. (KUHPerd. 140, 194, 215, 244; LN. 1953-86 pasal 6.)
Dia harus mengurus harta kekayaan itu sebagai seorang kepala keluarga yang baik, dan karenanya bertanggungjawab atas segala ketalaian dalam pengurusan itu. (KUHPerd. 195.)
Dia tidak diperkenankan memindahtangankan atau membebankan harta kekayaan tak bergerak istrinya tanpa persetujuan si istri.
Pasal 106.
Sang istri harus patuh kepada suaminya. (KUHPerd. 140.)
Dia wajib tinggal serumah dengan suaminya dan mengikuti dia di mana pun dianggapnya perlu untuk bertempat tinggal. (KUHPerd. 21, 140, 211 dst., 242.)
Pasal 107.
Sang suami wajib menerima istrinya di rumah yang ditempatinya. (KUHPerd. 21.)
Dia wajib melindungi istrinya, dan memberinya apa saja yang perlu, sesuai dengan kedudukan dan kemampuannya. (KUHPerd. 193, 213, 225 dst., 237.)
Pasal 108.
Sang istri, sekalipun dia kawin di luar harta bersama, atau dengan harta benda terpisah, tidak dapat menghibahkan, memindahtangankan, menggadaikan, memperoleh apa pun, baik secara cuma-cuma maupun dengan beban, tanpa bantuan suami dalam akta atau izin tertulis.
Sekalipun suami telah memberi kuasa kepada istrinya untuk membuat akta atau perjanjian tertentu, si istri tidaklah berwenang untuk menerima pembayaran apa pun, atau memberi pembebasan untuk itu tanpa izin tegas dari suami. (KUHPerd. 109, 112 dst., 115 dst., 118, 125, 194, 896, 1006, 1046, 1171, 1330 dst., 1446, 1454, 1601f, 1676, 1678, 1684, 1702, 1722m, 1798.)
Pasal 109.
(s.d. u. dg. S. 1926-333jis. 458, 565, S. 1927-108.) Mengenai perbuatan atau perjanjian, yang dibuat oleh seorang istri karena apa saja yang menyangkut perbelanjaan rumah tangga biasa dan sehari-hari, juga mengenai perjanjian perburuhan yang diadakan olehnya sebagai majikan untuk keperluan rumah tangga, undang-undang menganggap bahwa ia telah mendapat persetujuan dari suaminya. (KUHPerd. 1601a, 1601c, 1601f, 1916.)
Pasal 110.
(s.d.u. dg. S. 1938-276.) Istri tidak boleh tampil dalam pengadilan tanpa bantuan suaminya, meskipun dia kawin tidak dengan harta bersama, atau dengan harta terpisah, atau meskipun dia secara mandiri menjalankan pekerjaan bebas. (KUHPerd. 105, 113 dst., 139, 194, 1171; Rv. 815.)
Pasal 111.
Bantuan suami tidak diperlukan: (LN. 1953-86 pasal 6; KUHPerd. 1601f.)
1. bila si istri dituntut dalam perkara pidana;
2. dalam perkara perceraian, pisah meja dan ranjang, atau pemisahan harta. (Rv. 819 dst., 831 dst., 841.)
Pasal 112.
Bila suami menolak memberi kuasa kepada istrinya untuk membuat akta, atau menolak tampil di pengadilan, maka si istri boleh memohon kepada pengadilan negeri di tempat mereka tinggal bersama supaya dikuasakan untuk itu. (KUHPerd. 114; Rv. 813 dst.)
Pasal 113.
(s.d.u. dg. S. 1938-276.) Seorang istri yang atas usaha sendiri melakukan suatu pekerjaan dengan izin suaminya, secara tegas atau secara diam-diam, boleh mengadakan perjanjian apa pun yang berkenaan dengan usaha itu tanpa bantuan suaminya.
Bila dia kawin dengan suaminya dengan penggabungan harta, maka si suami juga terikat pada perjanjian itu.
Bila si suami menarik kembali izinnya, dia wajib mengumumkan penarikan kembali itu. (KUHPerd. 108, 110, 121, 130, 132, 1330 dst., 1916; Rv. 581.)
Pasal 114.
Bila si suami, karena sedang tidak ada atau karena alasan-alasan lain, terhalang untuk membantu istrinya atau memberinya kuasa, atau bila ia mempunyai kepentingan yang berlawanan, maka pengadilan negeri di tempat tinggal suanti-istri itu boleh memberikan wewenang kepada si istri untuk tampil di pengadilan mengadakan perjanjian, melakukan pengurusan, dan membuat akta-akta lain. (KUHPerd. 112, 125, 496; Rv. 813.)
Pasal 115.
Pemberian kuasa umum, pun jika dicantumkan pada perjanjian perkawinan, berlaku tidak lebih daripada yang berkenaan dengan pengurusan harta kekayaan si istri itu sendiri. (KUHPerd. 108, 125, 140, 194, 1387, 1798.)
Pasal 116.
Batalnya suatu perbuatan berdasarkan tidak adanya kuasa, hanya dapat dituntut si istri, suaminya, atau oleh para ahli waris mereka. (KUHPerd. 108, 1046. 1331, 1387. 1446, 1451, 1454, 1821.)
Pasal 117.
Bila seorang istri, setelah pembubaran perkawinan, melaksanakan suatu perjanjian atau akta, seluruhnya atau sebagian, yang telah dia adakan tanpa kuasa yang disyaratkan, maka dia tidak berwenang untuk minta pembatalan perjanjian atau akta itu. (KUHPerd. 1456.)
Pasal 118.
Istri dapat membuat wasiat tanpa izin suami. (KUHPerd. 895.)

0 comments:

Post a Comment