Recent Comments

Saturday 9 January 2016

KUHPerdata (BAB VI,BAB VII,BAB VIII,BAB IX)

BAB VI.
HARTA-HARTA BERSAMA MENURUT UNDANG-UNDANG DAN PENGURUSANNYA
(Tidak berlaku untuk golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan Tionghoa.)
Bagian.1.
Harta Bersama Menurut Undang-undang. (Ov. 62.)
(Untuk golonganTimur Asing selain Tionghoa, lihal: Bep. Vr.02; untuk Ind. Kristen: HCI 50.)
Pasal 119.
Sejak saat dilangsukan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta-bersama menyeluruh antara suami-istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.
Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami-istri. (KUHPerd. 126, 139, 149, 153, 180, 186; F. 60, 62.)
Pasal 120.
Berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta-bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-barang tak bergerak suami-istri itu, baik yang ada maupun yang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh cuma-cuma, kecuali bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang memenentukan kebalikannya dengan tegas. (KUHPerd. 158.)
Pasal 121.
Berkenaan dengan beban-beban, maka harta-bersama itu meliputi semua utang yang dibuat oleh masing-masing suami-istri, baik sebelum perkawinan maupun selama perkawinan. (KUHPerd. 130 dst., 163, F. 62.)
Pasal 122.
Semua penghasilan dan pendapatan, begitu pula semua keuntungan dan yang diperoleh selama perkawinan, juga menjadi keuntungan dan kerugian bersama itu. (KUHPerd. 155; Rv. 823j.)
Pasal 123.
Semua utang kematian, yang terjadi setelah seseorang meninggal dunia, hanya menjadi beban para ahli waris dari yang meninggal itu. (KUHPerd. 126- 10, 128.)
Bagian 2.
Pengurusan harta-Bersama.
(Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan Tionghoa.)
Pasal 124.
Hanya suami saja yang boleh mengurus harta-bersama itu.
Dia boleh menjualnya, memindahtangankannya dan membebaninya tanpa bantuan istrinya, kecuali dalam hal yang diatur dalam pasal 140.
Dia tidak boleh memberikan harta bersama sebagai hibah antara mereka yang sama-sama masih hidup, baik barang-barang tak bergerak maupun keseluruhannya atau suatu bagian atau jumlah tertentu dari barang-barang bergerak, bila bukan kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka, untuk memberi suatu kedudukan.
Bahkan dia tidak boleh menetapkan ketentuan dengan cara hibah mengenai suatu barang yang khusus, bila dia memperuntukkan untuk dirinya hak pakai hasil dari barang itu. (KUHPerd. 105, 119, 186, 320, 434, 903; LN 1953-86 pasal 6, bdk. catatan KUHPerd. 105.)
Pasal 125.
Bila si suami tidak ada, atau berada dalam keadaan tidak mungkin untuk menyatakan kehendaknya, sedangkan hal itu dibutuhkan segera, maka si istri boleh mengikatkan atau memindahtangankan barang-barang dari harta-bersama itu, setelah dikuasakan untuk itu oleh pengadilan negeri. (KUHPerd. 108, 112, 114 dst., 496; Rv. 813 dst.)
Bagian 3.
Pembubaran Gabungan Harta Bersama Dan Hak Untuk Melepaskan Diri
Dari Padanya.
(Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan Tionghoa.)
Pasal 126.
Harta-bersama bubar demi hukum :
10. karena kematian;
20. karena perkawinan atas izin hakim setelah suami atau istri tidak ada; (KUHPerd. 493 dst.)
30. karena perceraian; (KUHPerd. 207 dst.)
40. karena pisah meja dan ranjang; (KUHPerd. 233 dst.)
50. karena pemisahan harta. (KUHPerd. 186 dst.)
Akibat-akibat khusus dari pembubaran dalam hal-hal tersebut pada nomor 20, 30, 40 dan 50 pasal ini, diatur dalam bab-bab yang membicarakan soal ini. (KUHPerd. 119, 222 dst.)
Pasal 127.
(s.d.u. dg. S. 1927-31jis. 390, 421.) Setelah salah seorang dari suami istri meninggal, maka bila ada ditinggalkan anak yang masih di bawah umur, pihak yang hidup terlama wajib untuk mengadakan pendaftaran harta-benda yang merupakan harta-bersama dalam waktu empat bulan. Pendaftaran harta bersama itu boleh dilakukan di bawah tangan, tetapi harus dihadiri oleh wali pengawas. Bila pendaftaran harta-bersama itu tidak diadakan, gabungan harta bersama berlangsung terus untuk keuntungan si anak yang masih di bawah umur, dan sekali-kali tidak boleh merugikannya. (KUHPerd. 311, 315, 370, 408, 417; Wsk. 48.)
Pasal 128.
Setelah bubarnya harta-bersama, kekayaan-bersama mereka dibagi dua antara suami dan istri, atau antara Para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.
Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Bab XVII Buku Kedua, mengenai pemisahan harta peninggalan, berlaku terhadap pembagian harta bersama menurut undang-undang. (KUHPerd. 123, 156, 243, 408, 903, 1066 dst., 1071 dst.; Rv. 689 dst.)
Pasal 129.
Pakaian, perhiasan dan perkakas untuk mata-pencaharian salah seorang dari suami-istri itu, beserta buku-buku dan koleksi benda-benda kesenian dan keilmuan, dan akhimya surat atau tanda kenang-kenangan yang bersangkutan dengan asal-usul keturunan salah seorang dari suami-istri itu, boleh dituntut oleh pihak asal benda itu, dengan membayar harga yang ditaksir secara musyawarah atau oleh ahli-ahli. (KUHPerd. 132.)
Pasal 130.
Sang suami, setelah pembubaran harta-bersama, boleh ditagih atas utang dari harta-bersama seluruhnya, tanpa mengurangi haknya untuk minta penggantian setengah dari utang itu kepada istrinya atau kepada para ahli waris si istri. (KUHPerd. 121, 124, 128.)
Pasal 131
Suami atau istri, setelah pemisahan dan pembagian seluruh harta bersama, tidak boleh dituntut oleh para kreditur untuk membayar utang-utang yang dibuat oleh pihak lain dari suami atau istri itu sebelum perkawinan, dan utang-utang itu tetap menjadi tanggungan suami atau istri yang telah membuatnya atau para ahli warisnya; hal ini tidak mengurangi hak pihak yang satu untuk minta ganti rugi kepada pihak yang lain atau ahli warisnya. (KUHPerd. 121, 128, 132.)
Pasal 132.
Istri berhak melepaskan haknya atas harta-bersama; segala perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan ini batal; sekali melepaskan haknya, dia tidak boleh menuntut kembali apa pun dari harta-bersama, kecuali kain seprei dan pakaian pribadinya.
(s.d.u. dg. S. 1938-276.) Dengan pelepasan ini dia dibebaskan dari kewajiban untuk ikut membayar utang-utang harta-bersama.
(s.d.u. dg. S. 1938-276.) Tanpa mengurangi hak Para kreditur atas hartabersama, si istri tetap wajib untuk melunasi utang-utang yang dari pihaknya telah jatuh ke dalam harta-bersama; hal ini tidak mengurangi haknya untuk minta penggantian seluruhnya kepada suaminya atau ahli warisnya. (AB. 23; KUHPerd. 113, 121, 129, 131, 136, 138, 153, 483, 1023, 1045.)
Pasal 133.
Istri yang hendak mempergunakan hak tersebut dalam pasal yang lampau, wajib untuk menyampaikan akta pelepasan, dalam waktu satu bulan setelah pembubaran harta-bersama itu, kepada panitera pengadilan negeri di tempat tinggal bersama yang terakhir, dengan ancaman akan kehilangan hak itu (bila lalai).
Bila gabungan itu bubar akibat kematian suaminya, maka tenggang waktu satu bulan berlaku sejak si istri mengetahui kematian itu. (Ov. 14; KUHPerd. 134, 108, 1023 dst., 1989; Rv. 135, 829.)
Pasal 134.
Bila dalam jangka waktu tersebut di atas istri meninggal dunia, sebelum mendapatkan akta pelepasan, Para ahli warisnya berhak melepaskan hak mereka atas harta bersama itu dalam waktu satu bulan setelah kematian itu, atau setelah mereka mengetahui kematian itu, dan dengan cara seperti yang dimaksud dalam pasal terakhir.
Hak istri untuk menuntut kembali kain seprei dan pakaiannya dari hartabersama itu, tidak dapat diperjuangkan oleh Para ahli-warisnya. (Ov. 14; KUHPerd. 132, 138, 903, 1023 dst).
Pasal 135.
Bila Para ahli waris istri tidak sepakat dalam tindakan, sehingga sebagian menerima yang lain melepaskan diri dari harta-bersama itu, maka yang menerima itu, tidak dapat memperoleh lebih dari bagian warisan yang menjadi atas barang-barang yang sedianya menjadi bagian istri itu seandainya terjadi pemisahan harta.
Sisanya dibiarkan tetap pada si suami, atau pada ahli warisnya, yang sebaliknya berkewajiban terhadap ahli waris yang melakukan pelepasan, untuk memenuhi apa saja yang sedianya akan dituntut oleh si istri dalam hal pelepasan, tetapi hanya sebesar bagian warisan yang menjadi hak ahli waris yang melakukan pelepasan. (KUHPerd. 132, 134, 138, 903, 1048, 1051, 1061.)
Pasal 136.
Istri yang telah menarik pada dirinya barang-barang dari harta-bersama, tidak berhak
melepaskan diri dari harta-bersama itu.
Tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan semata-mata atau penyelamatan tidak membawa akibat seperti itu. (KUHPerd. 137, 483, 1048 dst.)
Pasal 137.
Istri yang telah menghilangkan atau menggelapkan barang-barang dari harta-bersama, tetap berada dalam penggabungan, meskipun telah melepaskan drinya; hal yang sama berlaku bagi para ahli warisnya. (KUHPerd. 136, 1031, 1064.)
Pasal 138.
Dalam hal gabungan harta-bersama berakhir karena kematian si istri, para ahli warisnya dapat melepaskan diri dari harta-bersama itu, dalam waktu dan dengan cara seperti yang diatur mengenai si istri sendiri. (Ov. 14; KUHPerd. 132 dst., 135, 242 dst., 1023.)
BAB VII.
PERJANJIAN KAWIN
(Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan Tionghoa.)
Bagian I
(Ov 62.) Perjanjian Kawin Pada Umumnya.
Pasal 139.
Para calon suami-istri, dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai harta-bersama, asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata-susila yang baik atau dengan tata-tertib umum, dan diindahkan pula ketentuan-keetentuan berikut. (AB. 23; KUHPerd. 119, 132, 153, 180, 888, 1254, 1;3:37.)
Pasal 140.
Perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang bersumber pada kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan sebagai ayah, tidak pula hak-hak yang oleh undang-undang diberikan kepada yang masih hidup paling lama. (KUHPerd. 105 dst., 110, 298 dst., 300, 307 dst., 311, 345 dst., 355.)
Demikian pula perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang diperuntukkan bagi si suami sebagai kepala persatuan suami-istri; namun hal ini tidak mengurangi wewenang istri untuk mempersyaratkan bagi dirinya pengurusan harta kekayaan pribadi, baik barang-barang bergerak maupun barang-barang tak bergerak, di samping penikmatan penghasilannya pribadi secara bebas. (KUHPerd. 105, 115.)
Mereka juga berhak untuk membuat perjanjian, bahwa meskipun ada gabungan harta-bersama, barang-barang tetap, surat-surat pendaftaran dalam buku besar piniaman-pinjaman negara, surat-surat berharga lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh alas nama istri, atau yang selama perkawinan dari pihak istri jatuh ke dalam harta-bersama, tidak boleh dipindahtangankan atau dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan si istri. (KtJHPerd. 124, 132.)
Pasal 141.
Para calon suami-istri, dengan mengadakan perjanjian perkawinan, tidak boleh melepaskan hak yang diberikan oleh undang-undang kepada mereka atas warisan keturunan mereka, pun tidak boleh mengatur warisan itu. (KUHPerd. 852 dst., 1063, 1334.)
Pasal 142.
Mereka tidak boleh membuat perjanjian, bahwa yang satu mempunyai kewajiban lebih besar dalam utang-utang daripada bagiannya dalam keuntungankeuntungan harta-bersama.
Pasal 143.
Mereka tidak boleh membuat perjanjian dengan kata-kata sepintas lain, bahwa ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh undang-undang luar negeri, atau oleh beberapa adat kebiasaan, undang-undang, kitab undang-undang atau peraturan daerah, yang pernah berlaku di Indonesia.
Pasal 144.
Tidak adanya gabungan harta-bersama tidak berarti tidak adanya keuntungan dan kerugian bersama, kecuali jika hal ini secara tegas ditiadakan.
Penggabungan keuntungan dan kerugian diatur dalam Bagian 2 bab ini. (KUHPerd. 155 dst., 164; F. 60 dst.)
Pasal 145.
Juga dalam hal tidak dgunakannya atau dibatasina gabungan hartabersama, boleh ditetapkan jumlah yang harus disumbangkan oleh si istri setiap tahun dari hartanya untuk biaya rumah tangga dan pendidikan anak-anak. (KUHPerd. 104, 193.)
Pasal 146.
Bila tidak ada perjanjian mengenai hal itu, hasil-hasil dan pendapatan dari harta istri masuk dalam penguasaan suami. (KUHPerd. 105, 193; Rv. 823j.)
Pasal 147.
Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung, dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. (KUHPerd. 232a.)
Perjanjian itu akan mulai berlaku pada saat pernikahan dilangsungkan; tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu. (KUHPerd. 119, 149.)
Pasal 148.
Perubahan-perubahan dalam hal itu, yang sedianya boleh diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan, tidak dapat diadakan selain dengan akta, dalam bentuk yang sama seperti akta perjanjian yang dulu dibuat.
Lagipula tiada perubahan yang berlaku jika diadakan tanpa kehadiran dan izin orang-orang yang telah menghadiri dan menyetujui perjanjian kawin itu. (KUHPerd. 1873.)
Pasal 149.
Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian kawin tidak boleh diubah dengan cara apa pun. (KUHPerd. 196 dst., 232a, 237, 1678.)
Pasal 150.
Jika tidak ada gabungan harta-bersama, maka masuknya barang-barang bergerak, terkecuali surat-surat pendaftaran pinjaman-pinjaman negara dan efek-efek dan surat-surat piutang atas nama, tidak dapat dibuktikan dengan cara lain daripada dengan cara mencantumkannya dalam perjanjian kawin, atau dengan pertelaan yang ditandatangani oleh notaris dan pihak-pihak yang bersangkutan, dan dilekatkan pada surat asli perjanjian kawin, yang di dalamnya hal itu harus tercantum, (KUHPerd. 165 dst., 513; F. 60 dst., HCI 50; Bep.Vr.O. 2.)
Pasal 151.
Anak di bawah umur yang memenuhi syarat-syarat untuk melakukan perkawinan, juga cakap untuk memberi persetujuan atas segala perjanjian yang boleh ada dalam perjanjian kawin, asalkan dalam perbuatan perjanjian itu, anak yang masih di bawah umur itu dibantu oleh orang yang persetujuannya untuk melakukan perkawinan itu diperlukan.
Bila perkawinan itu harus berlangsung dengan izin tersebut dalam pasal 38 dan pasal 41, maka rencana perjanjian kawin itu harus dilampirkan pada permohonan izin itu, agar tentang hal itu dapat sekaligus diambil ketetapan. (KUHPerd. 29, 35, 40 dst., 452, 458, 1447, 1677.)
Pasal 152.
Ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kawin, yang menyimpang dari harta-bersama menurut undang-undang, seluruhnya atau sebagian, tidak akan berlaku bagi pihak ketiga sebelum hari pendaftaran ketentuan-ketentuan itu dalam daftar umum, yang harus diselenggarakan di kepaniteraan pada pengadilan negeri, yang di daerah hukumnya perkawinan itu dilangsungkan, atau kepaniteraan di mana akta perkawinan itu didaftarkan, jika perkawinan berlangsung di luar negeri. (KUHPerd. 84, 147, 245, 249; F. 60 dst.)
Pasal 153.
Segala ketentuan mengenai gabungan harta-bersama selalu berlaku, selama tidak ada penyimpangan daripadanya, baik yang dibuat secara tertulis, maupun secara tersirat, dalam perjanjian kawin.
Bagaimanapun sifat dan cara gabungan harta-bersama diperjanjikan, istri atau para ahli warisnya berhak untuk melepaskan diri daripadanya, dengan cara dan dalam hal-hal seperti yang diatur dalam bab yang lalu. (Ov. 14; KUHPerd. 119 dst., 132 dst., 138 dst., 1423.)
Pasal 154.
Perjanjian kawin, demikian pula hibah-hibah yang berkenaan dengan perkawinan, tidak berlaku bila tidak diikuti oleh perkawinan. (KUHPerd. 58, 168 dst., 176 dst., 1258.)
Bagian 2
Gabungan Keuntungan Dan Kerugian Dan Gabungan Hasil Dan Pendapatan.
(Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan Tionghoa; untuk golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, lihal Bep. Vr. 0. ps. 2.)
Pasal 155.
Bila para calon suami-istri hanya memperjanjikan, bahwa harus ada gabungan keuntungan dan kerugian, maka persyaratan ini menutup jalan untuk mengadakan gabungan harta-bersama secara menyeluruh menurut undang-undang, dan segala keuntungan yang diperoleh suami-istri selama perkawinan harus dibagi antara mereka, sedangkan segala kerugian harus dipikul bersama, bila gabungan harta-bersama bubar. (KUHPerd. 144; 165.)
Pasal 156.
Masing-masing dari suami-istri mendapat separuh keuntungan dan memikul separuh kerugian, bila mengenai hal itu dalam perjanjian kawin tidak ada ketentuan-ketentuan lain. (KUHPerd. 128, 142, 185.)
Pasal 157.
yang dianggap sebagai keuntungan pada harta-bersama suami-istri ialah bertambahnya harta-kekayaan mereka berdua, yang selama perkawinan timbul hasil harta-kekayaan mereka dan pendapatan masing-masing, dari usaha dan kerajinan masing-masing dan dari penggabungan pendapatan yang tidak dihabiskan; yang dianggap sebagai kerugian ialah berkurangnya harta-benda itu akibat pengeluaran yang lebih tinggi dari pendapatan. (KUHPerd. 120.)
Pasal 158.
Apa saja yang diperoleh seorang suami atau istri selama perkawinan dari wasiat atau hibah, entah berasal dari keluarga entah dari orang lain, tidak termasuk keuntungan, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 167. (KUHPerd. 120, 166.)
Pasal 159.
Barang-barang tetap dan efek-efek yang dibeli selama perkawinan, atas nama siapa pun juga,
dianggap sebagai keuntungan, kecuali bila terbukti sebaliknya.
Pasal 160.
Naik atau turunnya harga barang salah seorang dari suami-istri itu, tidak dihitung sebagai
keuntungan atau kerugian
bersama .
Pasal 161.
Perbaikan barang-barang tetap, yang terjadi karena pertumbuhan tanah, perdamparan lumpur, penanganan oleh tukang kayu atau karena hal-hal lain, tidak dianggap sebagai keuntuhgan bersama, melainkan hanya menguntungkan pemilik barang-barang itu. (KUHPerd. 596 dst.)
Pasal 162.
Kerusakan atau pengurangan karena kebakaran, kebanjiran, hanyut atau lain sebagainya, tidak termasuk kerugian bersama, tetapi menjadi beban si pemilik barang yang rusak atau berkurang itu.
Pasal 163.
Semua utang kedua suami-istri itu bersama-sama, yang dibuat selama perkawinan, harus
dihitung sebagai kerugian bersama.
Apa yang dirampas akibat kejahatan salah seorang dari suami-istri itu, tidak termasuk kerugian bersama itu. (KUHPerd. 121, 130 dst.)
Pasal 164.
Perjanjian, bahwa antara suami-istri hanya akan ada gabungan penghasilan dan pendapatan saja, mengandung arti secara diam-diam bahwa tiada gabungan harta bersama secara menyeluruh menurut undang-undang dan tiada pula gabungan keuntungan dan kerugian. (KUHPerd. 165.)
Pasal 165.
Barang-barang bergerak kepunyaan masing-masing suami-istri sewaktu melakukan perkawinan, harus dinyatakan dengan tegas dalam akta perjanjian kawin sendiri, atau dalam surat pertelaan yang ditandatangani oleh notaris dan para pihak yang berjanji, dan dilekatkan pada akta asli perjanjian kawin, yang di dalamnya harus tercantum hal itu, baik jika gabungan keuntungan dan kerugian saja yang dipersyaratkan, maupun jika dipersyaratkan gabungan penghasilan dan pendapatan seperti yang diuraikan dalam pasal 155 dan 164; tanpa bukti ini, barang-barang bergerak itu dianggap sebagai keuntungan. (KUHPerd. 150, 513, 1977; F. 60 dst.)
Pasal 166.
Adanya barang-barang bergerak yang diperoleh masing-masing pihak dari suami-istri itu dengan pewarian, hibah wasiat atau hibah biasa selama perkawinan, harus dapat diperlihalkan dengan surat pertelaan.
Bila tidak ada surat pertelaan barang-barang bergerak yang diperoleh si suami selama perkawinan, atau bila tidak ada surat yang dapat memperlihatkan hal itu, maka suami itu tidak berwenang untuk mengambil kembali barang-barang itu sebagai kepunyaannya.
Bila tidak ada surat pertelaan barang-barang bergerak yang diperoleh si istri selama perkawinan, atau bila tidak ada surat yang memperlihatkan apa saja barang-barang itu dan berapa harga masing-masing, istri itu atau para ahli warisnya berwenang untuk membuktikan adanya dan harga barang-barang itu dengan saksi-saksi, dan jika perlu, dengan menunjukkan bahwa umum mengetahuinya. (KUHPerd. 165, 513.)
Pasal 167.
yang termasuk penghasilan dan pendapatan ialah segala hibah wasiat, hibah atau penerimaan uang tahunan, bulanan, mingguan dan sebagainya seperti juga cagak hidup; dan dengan demikian tercakup kedua jenis gabungan yang dibicarakan dalam bagian ini. (KUHPerd. 120, 157 dst.)
Bagian 3.
Hibah-hibah Antara Kedua Calon Suami-Isteri.
(Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan Tionghoa.)
Pasal 168.
Dalam mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami-istri, secara timbal-balik atau secara sepihak, boleh memberikan hibah yang menurut pertimbangan mereka pantas diberikan, tanpa mengurangi kemungkinan pemotongan hibah itu sejauh penghibahan itu kiranya akan merugikan mereka yang berhak atas suatu bagian menurut undang-undang. (KUHPerd. 182, 222, 913 dst., 919 dst., 1666 dst., 1678, 1692.)
Pasal 169.
Hibah-hibah itu dapat berkenaan dengan barang-barang yang telah ada seperti yang diperinci dalam aktanya, dapat pula dengan seluruh atau sebagian harta warisan si penghibah. (KUHPerd. 175, 179, 222, 224, 1334, 1667.)
Pasal 170.
Pemberian hibah-hibah demikian itu berlaku biarpun disambut tanpa pernyataan setuju secara tegas oleh pihak yang diberi hibah. (KUHPerd. 151, 402, 452, 1683, 1685.)
Pasal 171.
Hibah-hibah itu dapat diberikan dengan persyaratan-persyaratan, yang pelaksanaannya tergantung pada kehendak si penghibah. (KUHPerd. 179, 1256, 1668.)
Pasal 172.
Hibah yang terdiri dari barang-barang yang telah ada dan tertentu tidak dapat ditarik kembali, kecuali jika tidak dipenuhi persyaratan-persyaratan hibah itu. (KUHPerd. 179, 1253-1255, 1688.)
Pasal 173.
Hibah yang mencakup seluruh atau sebagian warisan si pengbibah tidak dapat ditarik kembali, dengan pengertian, bahwa dia tidak lagi menguasai barangbarang yang termasuk dalam hibah itu, kecuali uang dalam jumlali-jumlah kecil untuk upah, atau untuk soal-seal lain menurut pertimbangan hakim.
Bila syarat-syarat tidak dipenuhi, hibah-hibah itu dapat ditarik kembali. (KUHPerd. 173, 178 dst.,
1608.)
Pasal 174.
Hibah yang terdiri dari barang-barang yang telah ada dan terperinci secara tertentu, dan diberikan antara suami-istri dalam perjanjian kawin, tak dapat dianggap diberikan dengan syarat, bahwa penerima hibah harus hidup lebih lama daripada pemberinya, kecuali bila syarat dibuat secara tegas dalam perjanjian. (KUHPerd. 1666, 1672.)
Pasal 175.
Tiada hibah seluruh atau sebagian dari warisan si penghibah, yang diberikan dalam perjanjian kawin, baik yang diberikan oleh yang seorang dari suami istri kepada yang lain, maupun yang diberikan secara timbal-balik, akan beralih kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka, bila yang diberi hibah meninggal sebelum si penghibah. (KUHPerd. 174, 178, 231, 899.)
Bagian 4.
Hibah-hibah yang Diberikan Kepada Kedua Calon Suami-Istri Atau Kepada Anak-anak Dari Perkawinan Mereka.
(Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan Tionghoa.)
Pasal 176.
Baik dalam perjanjian kawin, maupun dengan akta notaris tersendiri, yang dibuat sebelum pelaksanaan perkawinan, pihak ketiga boleh memberikan hibah, yang menurut pendapat mereka pantas diberikan kepada kedua calon suami-istri atau kepada salah seorang dari mereka, dengan tidak mengurangi hibah itu, bila dengan hibah itu orang yang mempunyai hak atas suatu bagian menurut undang-undang itu dirugikan. (KUHPerd. 228, 913 dst., 1090, 1334, 1693.)
Pasal 177.
Bila hibah-hibah itu diberikan dalam perjanjian kawin, maka untuk berlakunya secara sah tidak perlu ada persetujuan tegas dari yang diberi hibah; sebaliknya bila hibah itu diberikan dengan akta tersendiri, maka hal itu tidak mempunyai akibat kecuali setelah ada persetujuan tegas untuk menerima.(KUHPerd. 170, 1666, 1683.)
Pasal 178.
Suatu hibah yang terdiri dari seluruh atau sebagian warisan si penghibah, meskipun diberikan hanya untuk kedua suami-istri atau untuk salah seorang dari mereka, selalu dia diberikan untuk anak-anak dan keturunan mereka, bila st penghibah hidup lebih lama daripada yang diberi hibah, dan bila dalam akta tidak ditentukan lain.
Hibah seperti itu hapus, bila si penghibah hidup lebih lama daripada anak-anak dan keturunan mereka selanjutnya yang diberi hibah. (KUHPerd. 173, 175, 231, 1334, 1679.)
Pasal 179.
Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 169, 171, 172, dan 173, berlaku juga pada hibah-hibah
yang dibicarakan dalam bagian ini.
BAB VIII.
GABUNGAN HARTA-BERSAMA ATAU PERJANJIAN KAWIN PADA
PERKAWINAN KEDUA ATAU SELANJUTNYA
(Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan Tionghoa.)
Pasal 180.
Juga dalam perkawinan kedua dan berikutnya, menurut hukum ada harta-benda menyeluruh antara suami-istri, bila dalam perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. (KUHPerd. 119, 139.)
Pasal 181.
Akan tetapi pada perkawinan kedua atau berikutnya, bila ada anak dan keturunan dari perkawinan yang sebelumnya, suami atau istri yang baru, oleh percampuran harta dan utang-utang pada suatu gabungan, tidak boleh memperoleh keuntungan yang lebih besar daripada jumlah bagian terkecil yang diperoleh seorang anak, atau bila anak itu telah meninggal lebih dahulu, oleh keturunannya dalam penggantian ahli waris, dengan ketentuan, bahwa keuntungan ini sekali-kali tidak boleh melebihi seperempat bagian dari harta-benda suami atau istri yang kawin lagi itu.
Anak-anak dari perkawinan terdahulu atau keturunan mereka, pada waktu terbukanya warisan dari suami atau istri yang kawin lagi, berhak menuntut pemotongan atau pengurangan; dan apa yang melebihi bagian yang diperkenankan, masuk ke dalam warisan itu. (KUHPerd. 182, 185, 231, 842, 902, 913 dst., 920, 929, 1060.)
Pasal 182.
Suami atau istri, yang mempunyai anak-anak dari perkawinan yang terdahulu dan melakukan perkawinan berikutnya, tidak boleh menyediakan kepada suami atau istri yang baru, dengan perjanjian kawin pun, keuntungan-keuntungan yang lebih daripada yang tersebut dalam pasal sebelum ini. (KUHPerd. 168, 902.)
Pasal 183.
Suami-istri tidak diperkenankan dengan cara yang berliku-liku saling memberi hibah lebih daripada yang diperkenankan dalam ketentuan-ketentuan di atas.
Semua hibah yang diberikan dengan dalih yang dikarang-karang, atau diberikan kepada orang-orang perantara, adalah batal. (KUHPerd. 911, 1057 dst.)
Pasal 184.
yang dimaksud dengan hibah yang diberikan kepada perantara ialah hibah yang diberikan oleh seorang suami atau istri kepada semua anak atau salah seorang anak dari perkawinan terdahulu istri atau suaminya, demikian pula hibah yang diberikan kepada keluarga sedarah penghibah dan pada waktu penghibahan diperkirakan akan menjadi warisan istri atau suami penghibah itu, meskipun suami atau istri pengbibah ini mungkin tidak hidup lebih lama dari penerima hibah. (KUHPerd. 911, 1916-l’, 1921.)
Pasal 184a.
(s.d.t. dg. S. 1923-31.) Pasal-pasal 181-184, dalam hal suami-istri yang kawin kembali satu sama lain, tidak berlaku bagi anak-anak atau keturunan dari perkawinan mereka yang terdahulu.
Pasal 185.
Juga jika ada anak-anak dari perkawinan yang dulu, maka keuntungan dan kerugian harus dibagi rata antara suami dan istri, kecuali bila peraturan tentang itu ditiadakan atau diubah oleh perjanjian kawin. (KUHPerd. 128, 156, 164.)
BAB IX.
PEMISAHAN HARTA-BENDA
(Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan Tionghoa.)
Pasal 186.
Selama perkawinan, Si istri boleh mengajukan tuntutan akan pemisahan harta-benda kepada hakim, tetapi hanya dalam hal-hal berikut:
1. bila suami, dengan kelakukan buruk yang nyata, memboroskan barangbarang dari gabungan harta-bersama, dan membiarkan rumah-tangga terancam bahaya kehancuran;
2. bila karena kekacau-balauan dan keburukan pengurusan harta kekayaan si suami, jaminan untuk harta perkawinan istri serta untuk apa yang menurut hukum menjadi hak istri akan hilang, atau jika karena kelalaian besar dalam pengurusan harta perkawinan si istri, harta itu berada dalam keadaan bahaya.
Pemisahan harta-benda yang dilakukan hanya atas persetujuan bersama, adalah batal.
(KUHPerd. 105, 119. 124, 126-1 nomor 51, 149; Rv. 819 dst., 825.)
Pasal 187.
Tuntutan akan pemisahan harta-benda harus diumumkan secara terbuka. (Rv. 822.)
Pasal 188.
Orang yang berpiutang kepada Si suami dapat ikut-campur dalam penyidangan perkara untuk menentang tuntutan akan pemisahan harta-benda itu. (KUHPerd. 192; Rv. 279 dst.)
Pasal 189.
Putusan hakim yang mengabulkan tuntutan akan pemisahan harta-benda itu, sebelum pelaksanaannya, harus diumumkan secara terbuka, dengan ancaman menjadi batal pelaksanaannya bila tidak dipenuhi persyaratan pengumuman itu. (Rv. 81 1.)
Putusan tentang dikabulkannya pemisahan harta-benda itu, dalam hal akibat hukumnya, mempunyai kekuatan berlaku surut, terhitung dari hari gugatan diajukan. (KUHPerd. 192.)
Pasal 190.
Selama penyidangan, istri boleh melakukan tindakan-tindakan, dengan seizin hakim, untuk menjaga, agar barang-barangnya tidak hilang atau diboroskan. (Rv. 823 dst.)
Pasal 191.
Keputusan, di mana pemisahan harta-benda diizinkan, hapus menurut hukum, bila hal itu tidak dilaksanakan secara sukarela dengan pembagian barangbarang itu, seperti yang ternyata dari akta otentik tentang itu; atau bila dalam waktu satu bulan setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap, si istri tidak mengajukan tuntutan untuk pelaksanaannya kepada hakim dan tidak melanjutkan penuntutan secara teratur. (KUHPerd. 1066; Rv. 827.)
Pasal 192.
Para kreditur si suami yang tidak campur dalam penyidangan, boleh menentang pemisahan itu, meskipun hal itu telah dilaksanakan, bila hak-hak mereka, dengan pelaksanaan itu, secara sengaja dirugikan. (KUHPerd. 188, 215, 1341; Rv. 828.)
Pasal 193.
Meskipun ada pemisahan harta-benda, si istri wajib memberi sokongan untuk biaya rumah-tangga dan pendidikan anak-anak yang dilahirkan olehnya karena perkawinan dengan si suami itu, menurut perbandingan antara harta si istri dan harta si suami.
Bila si suami itu ada dalam keadaan tidak mampu, biaya-biaya itu menjadi tanggungan si istri saja. (KUHPerd. 104, 145 dst., 298.)
Pasal 194.
Istri yang berpisah harta-benda dengan suaminya, memperoleh kembali kebebasan untuk mengurusnya, dan meskipun ada ketentuan-ketentuan pasal 108, dia dapat memperoleh izin umum dari hakim untuk menguasai barang bergeraknya. (KUHPerd. 105, 110, 115, 124.)
Pasal 195.
Suami tidak bertanggung-jawab kepada istrinya, bila si istri, setelah terpisah harta-bendanya, telah lalai untuk memanfaatkan atau menanamkan kembali uang penjualan barang tetap yang telah dipindahtangankannya atas izin yang diperolehnya dari hakim, kecuali bila si suami telah ikut membantu dalam mengadakan kdntrak, atau bila dapat dibuktikan, bahwa uang itu telah diterima oleh suami, atau telah dipergunakan untuk kepentingan suami.
Pasal 196.
harta-benda yang telah dibubarkan, dapat dipulihkan kembali atas persetujuan kedua suami-istri.
Persetujuan yang demikian tidak boleh diadakan selain dengan akta otentik. (KUHPerd. 149,
232a, 1868; Rv. 826, 830.)
Pasal 197.
Bila gabungan harta-bersama itu telah pulih kembali, barang-barangnya dikembalikan kekeadaan semula, seakan-akan tidak pernah ada pemisahan, tanpa mengurangi kewajiban si istri untuk memenuhi perjanjian, yang dibuatnya selama waktu sejak pemisahan sampai dengan pemulihan kembali gabungan harta-bersama itu.
Segala perjanjian yang oleh suami-istri itu dipergunakan untuk memulihkan kembali gabungan harta-bersama itu dengan syarat-syarat yang lain dari syarat-syarat yang semula, adalah batal. (AB 23; KUHPerd. 119, 149, 232a, 1340.)
Pasal 198.
Suami-istri itu wajib untuk mengumumkan pemulihan kembali gabungan harta bersama itu
secara terbuka.
Selama pengumuman seperti itu belum dilaksanakan, suami-istri itu tidak boleh mempersoalkan akibat-akibat pemulihan gabungan harta-bersama itu dengan pihak-pihak ketiga. (KUHPerd. 232a; Rv. 828, 830.)

0 comments:

Post a Comment