Recent Comments

Friday 8 January 2016

KUH Perdata, BAB X. PISAH MEJA DAN RANJANG, & BAB XI. PISAH MEJA DAN RANJANG


BAB X.
PEMBUBARAN PERKAWINAN
(Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan Tionghoa; untuk Ind.-Kristen, lihat HCI 51. dst.)
Bagian 1.
Pembubaran Perkawinan Pada Umumnya.
Pasal 199.
Perkawinan bubar :
1. oleh kematian; (KUHPerd. 3, 220.)
2. oleh tidak-hadirnya si suami atau si istri selama sepuluh tahun, yang disusul oleh perkawinan baru istrinya atau suaminya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bagian 5 Bab XVIII; (KUHPerd. 493 dst.)
3. (s.d.u. dg. S. 1916-530.) oleh keputusan hakim setelah pisah meja dan ranjang dan pendaftaran pernyataan pemutusan perkawinan itu dalam daftar-daftar catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bagian 2 bab ini; (KUHPerd. 200 dst.)
4. Oleh perceraian, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bagian 3 bab ini. (KUHPerd. 207 dst.)
Bagian 2.
Pembubaran Perkawinan Setelah Pisah Meja Dan Ranjang. (Ov. 64; S. 1927-31.)
(Tidak Berlaku bagi golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, Tetapi berlaku bagi golongan Tionghoa.)
Pasal 200.
Bila suami-istri pisah meja dan ranjang, baik karena salah satu alasan dari alasan-alasan yang tercantum dalam pasal 233, maupun atas permohonan kedua belah pihak, dan perpisahan itu tetap berlangsung selama lima tahun penuh tanpa perdamaian antara kedua belah pihak, maka mereka masing-masing bebas untuk menghadapkan pihak lain ke pengadilan, dan menuntut agar perkawinan mereka dibubarkan. (KUHPerd. 233, 236, 242, 248.)
Pasal 201.
Tuntutan itu hal segera ditolak, bila pihak tergugat, setelah tiga kali dari bulan ke bulan dipangggil ke pengadilan tidak muncul-muncul, atau datang dengan mengadakan perlawanan terhadap tuntutan itu, atau menyatakan bersedia untuk berdamai dengan pihak lawan. (KUHPerd. 248.)
Pasal 202.
Bila pihak tergugat menyetujui tuntutan, pengadilan negeri hal memerintahkan, agar suami-istri itu secara pribadi bersama-sama menghadap seorang atau lebih hakim anggota, yang akan berusaha mendamaikan mereka.
Bila usaha itu tidak berhasil, hakim harus memerintahkan untuk menghadap kembali lagi, paling cepat tiga bulan dan paling lambat enam bulan setelah pertama kali menghadap. (Ov. 46; KUHPerd. 208, 236, 239, 248, 1023; Rv. 31.)
(s.d.t. dg. S. 1923-287jo. 441.) Bila ada alasan sah untuk tidak menghadap, maka anggota atau para anggota yang ditunjuk itu harus pergi ke rumah suami istri itu.
(s.d.t. dg. S. 192,3-287, 441, s.d.u. dg. S. 1,925-497, 678jo. S. 1926-63.) Bila salah seorang dari suami-istri, atau kedua-duanya, bertempat tinggal di luar daerah hukum pengadilan negeri yang kepadanya permohonan itu diajukan, maka pengadilan negeri itu boleh meminta pengadilan negeri yang di daerah hukumnya kedua suami-istri itu bertempat tinggal untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut dalam tiga alinea terdahulu. Pengadilan negeri ini akan membuat berita acara tentang tindakan-tindakan yang dilakukannya dan segera mengirimkannya kepada pengadilan negeri tersebut pertama.
(s.d.t. dg. S. 1923-287jo. 441.) Bila salah seorang dari suami-istri, atau kedua-duanya, bertempat tinggal di luar Indonesia, pengadilan negeri boleh meminta kepada seorang pejabat pengadilan di negara tempat mereka berdiam, untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut dalam alinea satu dan dua, atau memerintahkannya kepada pegawai perwakilan Indonesia di tempat tinggal suami istri itu. Berita acara mengenai hal itu dikirimkan kepada pengadilan negeri itu.
Pasal 203.
(s.d.u. dg. S. 1923-286jo. 441.) Bila pertemuan yang kedua ternyata sia-sia juga, maka setelah mendengar penuntut umum, pengadilan negeri harus mengambil keputusan dan menerima tuntutan itu, jika segala persyaratan acara telah dipenuhi seperti yang dikemukakan di atas.
Namun demikian, setelah mengadakan pemeriksaan, pengadilan negeri bebas untuk menangguhkan putusan selama enam bulan, bila ternyata baginya masih ada kemungkinan untuk berdamai. (KUHPerd. 240.)
Pasal 204.
Terhadap putusan pengadilan negeri ini boleh dimintakan banding kepada hakim yang lebih tinggi selambat-lambamya dalam waktu satu bulan. (Ov. 45; KUHPerd. 241, 1023.)
Pasal 205.
(s.d.u. dg. S. 1916-530.) Perkawinan itu dibubarkan oleh putusan tersebut dan pendaftarannya dalam daftar-daftar catatan sipil.
Pendaftarannya hal dilakukan dengan cara, dalam jangka waktu dan dengan ancaman hukuman seperti yang ditentukan dalam pasal 221 tentang perceraian. (KUHPerd. 245; BS. 64; bdgk. S. 1945-14, S. 1946-24.)
Pasal 206.
(s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Pembubaran perkawinan tidak mengurangi akibat-akibat yang diatur dalam pasal-pasal 222 sampai dengan 228 dan pasal 231 yang berdasarkan pasal 246 juga berlaku terhadap pisah meja dan ranjang, dan juga tidak mengurangi syarat-syarat, yang berdasarkan permufakatan berkenaan dengan pasal 237, telah ditetapkan oleh suami-istri itu, baik terhadap diri mereka maupun terhadap pemeliharaan dan pendidikan anak-anak.
Pada waktu memutuskan pisah meja dan ranjang itu, hakim mengangkat salah seorang dari antara orang tua yang telah melakukan kekuasaan orang tua sebagai wali.
Atas permohonan kedua orang tua atau salah seorang dari mereka, pengadilan negeri, berdasarkan keadaan yang timbul setelah putusan pembubaran perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang pasti, boleh mengubah penetapan yang telah diberikan berdasarkan alinea yang lalu, dan persyaratan-prsyaratan terhadap anak-anak seperti yang termaksud dalam alinea pertama, setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua, wali pengawasnya dan keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak yang masih di bawah umur. Boleh dinyatakan, bahwa penetapan ini dapat segera dilaksanakan, meskipun ada perlawanan atau banding, dengan atau tanpa jaminan. (KUHPerd. 230, 246a; Rv. 54 dst.)
(s.d.u. dg. S. 1.927-456.) Pemeriksaan terhadap orang tua dan wali pengawas, yang bertempat tinggal di luar daerah hukum pengadilan negeri itu, boleh dilimpahkan kepada pengadilan negeri di tempat tinggat atau tempat kediaman mereka, yang akan menyampaikan berita acara tentang hal itu kepada pengadilan negeri tersebut pertama. Pemanggilan para orang tua dan wali pengawas dilakukakan dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 333 terhadap keluarga sedarah, dan semenda. Mereka dapat mewakilkan diri dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 334.;
Salah satu dari kedua orang tua yang tidak mengajukan permohonan dan yang tidak menghadap atas panggilan, boleh mengadakan perlawanan dalam waktu tiga puluh hari setelah suatu penetapan atau suatu akta yang dibuat berdasarkan hal itu atau untuk pelaksanaan penetapan itu, disampaikan kepada orang tua itu sendiri. Atau setelah dia melakukan suatu perbuatan yang tak dapat tidak memberi kesimpulan, bahwa dia telah maklum tentang penetapan itu atau tentang pe laksanaannya yang dimulai. Orang tua yang permohonannya telah ditolak, dan orang tua yang kendati mengadakan perlawanan telah dinyatakan salah, demikian pula yang perlawanannya telah ditolak, boleh mohon banding dalam waktu tiga puluh hari setelah keputusan itu diucapkan. (Rv. 83, 341.)
Bila anak yang belum dewasa belum benar-benar berada dalam kekuasaan orang yang berdasarkan salah satu ketentuan pasal ini ditugaskan menjadi wali, maka dalam putusan atau dalam penetapan harus diperintahkan juga penyerahan anak-anak itu. Ketentuan-ketentuan alinea kedua, ketiga, keempat dan kelima pasal 319h berlaku terhadap hal ini.
Pasal 206a.
(s.d.t. dg. S. 1927-31 jis 390, 421; s.d.u. dg. S. 1938-622.) Dalam menyatakan, pemutusan atau pada pengubahan seperti yang dimaksud dalam alinea ketiga pasal 206, bila ada ketakutan yang beralasan, jangan-jangan orang tua yang tidak diserahi tugas perwalian tidak akan memberi cukup bantuan untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang belum dewasa, pengadilan negeri dapat pula memberi perintah tersebut dalam pasal 230b, dengan cara dan akibat-akibat seperti yang ditentukan dalam pasal itu.
Dalam hal tidak ada perintah ini, dewan perwalian boleh menuntut pembayaran itu pada pengadilan, setelah penetapan pembubaran perkawinan itu didaftarkan dalam daftar-daftar catatan sipil. (KUHPerd. 2982.)
Pasal 206b.
(s.d.t. dg. S. 1923-31.) Ketentuan pasal 232a berlaku juga bagi orang-orang yang kawin kembali satu sama lain, setelah perkawinan mereka yang dahulu dibubarkan sesuai dengan pasal-pasal sebelum ini.
Bagian 3.
Perceraian Perkawinan.
(Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan
Tionghoa.)
Pasal 207.
(s.d u. dg. S.1925-199 jo. 273.) Gugatan perceraian perkawinan harus diajukan kepada pengadilan negeri yang di daerah hukumnya si suami mempunyai tempat tinggal pokok, pada waktu memajukan permohonan termaksud dalam pasal 831 Reglemen Acara Perdata, atau tempat tinggal yang sebenarnya bila tidak mempunyai tempat tinggal pokok.
Jika pada waktu mengajukan surat permohonan tersebut di atas si suami tidak mempunyai tempat tinggal pokok atau tempat tinggal yang sesungguhnya di Indonesia, maka gugatan itu harus diajukan kepada pengadilan negeri tempat kediaman si istri yang sebenarnya. (KUHPerd. 17, 20 dst., 33; Rv. 831 dst.)
Pasal 208.
Perceraian perkawinan sekali-kali tidak dapat terjadi hanya dengan persetujuan bersama.
(KUHPerd. 200 dst., 236; Rv. 78.)
Pasal 209.
Dasar-dasar yang dapat berakibat perceraian perkawinan hanya sebagai berikut:
1. zinah; (KUHPerd. 32, 310, 909.)
2 . meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk; (KUHPerd. 211, 218.)
3. (s.d.u. dg. S. 1917-497io. 645.) dikenakan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi, setelah dilangsungkan perkawinan; (KUHPerd. 210.)
4. pencederaan berat atau penganiayaan, yang dilakukan oleh salah seorang dari suami-istri itu terhadap yang lainnya sedemikian rupa, sehingga membahayakan keselamatan jiwa, atau mendatangkan luka-luka yang berbahaya. (Ov. 63; KUHPerd. 233.)
Pasal 210.
Bila salah seorang dari suami-istri itu dengan keputusan hakim dikenakan hukuman, karena telah berzinah, maka untuk mendapatkan perceraian perkawinan, cukuplah salinan surat putusan itu disampaikan kepada pengadilan negeri, dengan surat keterangan, bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
(s.d. u. dg. S. 1917-497jo. 645.) Ketentuan ini berlaku juga, bila perceraian perkawinan ini dituntut karena si suami atau si istri dikenakan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat. (KUHPerd. 219, 233 dst., 909.,1918; Sv. 189, 314.)
Pasal 211.
(s.d.u. dg. S. 1925-199jo. 273.) Dalam hal perbuatan meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk, demikian pula dalam hal perubahan tempat tinggal pokok atau tempat tinggal sebenarnya, yang terjadi setelah timbulnya sebab perceraian perkawinan, tuntutan perceraian perkawinan itu boleh juga diajukan kepada pengadilan di tempat tinggal bersama yang terakhir.
Tuntutan akan perceraian perkawinan atas dasar meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk hanya dapat dikabulkan, bila yang meninggalkan tempat tinggat bersama tanpa alasan sah, tetap menolak untuk kembali kepada suami atau istrinya.
Tuntutan itu tidak boleh dimulai sebelum lampau lima tahun, terhitung sejak suami atau istri itu meninggalkan tempat tinggal bersama mereka.
Bila kepergian itu mempunyai alasan yang sah, jangka waktu lima tahun itu akan dihitung sejak berakhimya alasan itu. (KUHPerd. 21, 106 dst., 199, 218, 233 dst., 463, 493.)
Pasal 212.
Isteri itu, baik sebagai penggugat untuk perceraian maupun sebagai tergugat, dengan izin hakim boleh meninggalkan rumah suaminya selama berlangsungnya persidangan.
Pengadilan negeri akan menunjuk rumah di mana istri itu harus tinggal. (KUHPerd. 21, 106, 214, 216; Rv. 835.)
Pasal 213.
Isteri itu berhak untuk menuntut tunjangan nafkah, yang setelah ditentukan hakim harus dibayar oleh si suami kepada istrinya selama berlangsungnya perkara itu.
Bila istri itu, tanpa izin hakim, meninggalkan tempat tinggal yang ditunjuk baginya, maka tergantung pada keadaan, dia boleh tidak diberi hak lagi untuk menuntut tunjangan, bahkan bila dia adalah penggugat, dia dapat dinyatakan tidak dapat diterima untuk melanjutkan tuntutan hukumnya. (KUHPerd. 105, 107, 212, 217, 226, 324 dst.; Rv. 839.)
Pasal 214.
(s.d.u. dg. S. 1927-31jis. 390,421.) Pengadilan negeri, selama persidangan masih berjalan, bebas untuk mencabut pelaksanaan kekuasaan orang tua untuk sementara, seluruhnya atau sebagian, dan sejauh dianggap perlu, memberi wewenang-wewenang yang demikian atas diri dan barang-barang anak-anak kepada pihak lain dari antara orang tua itu, atau kepada orang yang ditunjuk oleh pengadilan negeri, atau kepada dewan perwalian.
Terhadap penetapan-penetapan ini tidak diperkenankan memohon banding. Penetapan-penetapan itu tetap berlaku sampai putusan yang menolak gugatan Perceraian memperoleh kekuatan hukum yang pasti; dalam hal gugatan diterima, penetapan-penetapan itu tetap berlaku sampai satu bulan berlalu, setelah penetapan yang diberikan berkenaan dengan itu untuk mengatur soal perwalian memperoleh kekuatan hukum yang pasti. (Rv. 835, 839.)
Mengenai biaya-biaya yang dikeluarkan sesuai dengan alinea pertama, berlaku alinea ketujuh
dan kedelapan pasal 319f.
Pasal 215.
Hak-hak si suami mengenai pengurusan harta si istri tidak terhenti selama perkara berjalan; hal ini tidak mengurangi wewenang si istri untuk melindungi haknya, dengan melakukan tindakan-tindakan pencegahan yang ditunjukkan dalam ketentuan-ketentuan Reglemen Acara Perdata.
Semua akta Si suami yang sengaja mengurangi hak-hak si istri adalah batal. (KUHPerd. 105, 124,
192, 1341; Rv. 840.)
Pasal 216.
Hak untuk menuntut perceraian perkawinan gugur jika terjadi perdamaian suami-istri, entah perdamaian itu terjadi sesudah si suami atau si istri mengetahui perbuatan-perbuatan yang sedianya boleh dipakai sebagai alasan untuk menggugat, entah setelah gugatan untuk perceraian dilakukan.
Undang-undang menganggap telah ada perdamaian, bila si suami dan si istri tinggal bersama lagi setelah si istri dengan izin hakim meninggalkan rumah mereka bersama. (KUHPerd. 212 dst., 217, 220, 235, 1921; Rv. 831 dst.)
Pasal 217.
Suami atau istri, yang mengajukan gugatan baru atas dasar suatu sebab baru yang timbul setelah perdamaian, boleh mempergunakan alasan-alasan yang lama untuk mendukung gugatannya. (KUHPerd. 209, 213, 219.)
Pasal 218.
Gugatan untuk perceraian perkawinan atas dasar meninggalkan tempat itikad buruk, gugur bila suami atau istri, sebelum diputuskan perceraian kembali ke rumah kediaman bersama. Namun bila setelah kembali, suami atau istri itu meninggalkan lagi rumah tinggal bersama tanpa sebab yang sah, pihak lain boleh memulai gugatan baru untuk perceraian perkawinan enam bulan setelah kepergian itu, dan boleh menggunakan alasan-alasan lama untuk mendukung gugatannya.
Dalam hal itu, gugatan perceraian perkawinan tidak akan gugur bila pihak yang kan tempat tinggal bersama itu kembali sekali lagi. (KUHPerd. 21 1, 216 dst.)
Pasal 219.
Dalam kedua hal yang diatur dalam pasal 210, suami atau istri yang membiarkan lampau waktu enam bulan terhitung dari hari putusan hakim mendapat kekuatan hukum yang pasti, tidak dapat diterima lagi untuk memulai gugatan perceraian perkawinan.,
Bila salah seorang dari suami-istri itu berada di luar negeri pada waktu pihak yang lain mendapat putusan hukuman, maka jangka waktu yang ditetapkan adalah enam bulan dihitung mulai dari hari kembalinya ke Indonesia.
Pasal 220.
Gugatan untuk perceraian gugur, bila salah seorang dari kedua suami-istri meninggal sebelum
ada putusan. (KUHPerd. 199-1 1.)
Pasal 221.
(s.d.u. dg. S.1916-530.) Perkawinan dibubarkan oleh keputusan hakim dan pendaftaran perceraian yang ditetapkan dengan putusan itu dalam daftar catatan sipil.
Pendaftaran itu harus dilakukan atas permohonan kedua suami-istri atau salah dari mereka di tempat pendaftaran perkawinan itu.
Jika perkawinan itu dilaksanakan di luar Indonesia, maka pendaftaran harus dilakukan dalam daftar-daftar catatan sipil di Jakana.
Pendaftaran itu harus dilakukan dalam jangka waktu enam bulan, terhitung dari hari putusan itu memperoleh kekuatan hukum yang pasti.
Bila pendaftaran itu tidak dilakukan dalam jangka waktu itu, kekuatan putusan perceraian itu hapus, dan perceraian tidak dapat dituntut sekali lagi atas dasar dan alasan yang sama. (KUHPerd. 245, 254; BS. 64; Rv. 843; untuk ketentuanketentuan sementara yang menyimpang dan pengaturan-pengaturan tentang pendaftaran, lihal S. 1945-14, S. 1946-24.)
Pasal 222.
Suami atau istri yang gugatannya untuk perceraian perkawinan dikabulkan, boleh menikmati keuntungan-keuntungan yang dijadikan kepadanya oleh pihak lain berkenaan dengan perkawinan mereka, sekalipun keuntungankeuntungan itu dikan secara timbal-balik. (KUHPerd. 139, 168 dst., 228, 327.)
Pasal 223.
Sebaliknya, suami atau istri yang dinyatakan kalah dalam putusan perceraian itu, kehilangan semua keuntungan yang dijanjikan oleh pihak lain kepadanya berkenaan dengan perkawinan mereka. (KUHPerd. 139, 168 dst., 228, 317.)
Pasal 224.
Dengan berlakunya perceraian perkawinan, keuntungan-keuntungan, yang dijanjikan akan keluar setelah kematian salah seorang dari suami-istri itu, tidak segera dapat dituntut; pihak yang gugatannya untuk perceraian perkawinan dikabulkan, baru boleh mempergunakan haknya akan keuntungan-keuntungan itu setelah pihak lawannya meninggal. (KUHPerd. 168 dst., 173, 175, 317.)
Pasal 225.
Bila suami atau istri, yang atas permohonannya dinyatakan perceraian, tidak mempunyai penghasilan yang mencukupi untuk biaya penghidupan, maka pengadilan negeri akan menetapkan pembayaran tunjangan hidup baginya dari harta pihak yang lain. (KUHPerd. 103, 227.)
226. Dihapus dg. S, 1938-622.
Pasal 227.
Kewajiban untuk memberi tunjangan hidup terhenti dengan kematian si suami atau si istri.
Pasal 228.
Tunjangan-tunjangan yang dijanjikan oleh pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan, tetap harus dibayar kepada si suami atau si istri yang mendapat janji untuk kepentingannya. (KUHPerd. 176 dst., 222.)
Pasal 229.
(s. d. u. dg. S. 1927-31 jis@ 390, 421.) Setelah memutuskan perceraian, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua atau keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak yang di bawah umur, pengadilan negeri akan menetapkan siapa dari kedua orang tua akan melakukan perwalian atas tiap-tiap anak, kecuali jika kedua orang tua itu telah dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua, dengan mengindahkan putusan-putusan hakim terdahulu yang mungkin memecat atau melepaskan mereka dari kekuasaan orang tua. (KUHPerd. 230a, b, 319a.)
Penetapan ini tidak berlaku sebelum hari putusan perceraian perkawinan itu memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Sebelum itu tidak usah dilakukan pemberitahuan, dan tidak boleh dilakukan perlawanan atau banding.
Terhadap penetapan ini, si ayah atau si ibu yang tidak diangkat menjadi wali boleh melakukan perlawanan, bila dia tidak hadir atas panggilan yang dimaksud dalam alinea pertama. Perlawanan ini hal dilakukan dalam waktu tiga puluh hari setelah penetapan itu diberitahukan kepadanya. (Rv. 83.)
Si ayah atau si ibu yang setelah hadir atas panggilan tidak diangkat menjadi wali, atau yang perlawanannya ditolak dalam tiga puluh hari setelah hari termaksud dalam alinea kedua, dapat naik banding mengenai penetapan itu. (Rv.341.)
Alinea keempat pasal 206 berlaku terhadap pemeriksaan para orang tua.
Pasal 230.
(s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Pengadilan negeri, atas dasar hal-hal yang terjadi setelah putusan perceraian perkawinan memperoleh kekuatan hukum yang pasti, berkuasa untuk mengubah penetapan-penetapan yang telah diberikan menurut alinea pertama pasal yang lalu atas permohonan kedua orang tua atau salah seorang setelah mendengar atau memanggil dengan sah kedua orang tua, para wali pengawas dan keluarga sedarah atau semenda anak-anak yang di bawah umur. Penetapan-penetapan ini boleh dinyatakan dapat dilaksanakan segera meskipun ada perlawanan atau banding, dengan atau tanpa jaminan.
Ketentuan alinea keempat dan kelima pasal 206 berlaku terhadap hal ini.
Pasal 230a.
(s.d.t. dg. S. 1927-31 jis. 390.) Bila anak-anak yang di bawah umur belum berada dalam kekuasaan nyata orang yang berdasarkan pasal 229 atau pasal 230 ditugaskan menjadi wali, atau dalam kekuasaan si ayah, si ibu, atau dewan perwalian yang mungkin diserahi anak-anak itu berdasarkan pasal 214 alinea pertama, maka dalam penetapan itu juga hal diperintahkan penyerahan anak-anak itu.
Ketentuan-ketentuan alinea kedua, ketiga, keempat dan kelima pasal 319h dalam hal ini berlaku.
Pasal 230b.
(s.d. t. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Pada penetapan termaksud dalam alinea pertama pasal 229, setelah mendengar atau memanggil dengan sah seperti yang dimaksud dalam alinea itu dan setelah mendengar dewan perwalian, bila ada kekhawatiran yang beralasan, bahwa orang tua yang tidak diserahi tugas Perwalian, tidak akan memberikan tunjangan secukupnya untuk biaya hidup dan pendidikan anak-anak yang masih di bawah umur, pengadilan negeri boleh memerintahkan juga, bahwa orang tua itu untuk biaya hidup dan pendidikan angk tiap-tiap minggu atau tiap-tiap bulan atau tiap-tiap tiga bulan akan membayarkan kepada dewan perwalian suatu jumlah yang dalam pada itu ditentukan.
Ketentuan-ketentuan alinea kedua, ketiga dan keempat pasal 229 berlaku juga terhadap perintah
ini.
Pasal 230c.
(s.d.t. sdg. S. 192 7-31 jis. 390, 421; s. d. u. dg. S. 1938-622.) Bila tidak ada, perintah seperti yang dimaksud dalam alinea pertama pasal sebelum ini, dewan perwalian boleh menuntut pembayaran tunjangan itu lewat pengadilan, setelah, putusan tentang perceraian perkawinan itu didaftarkan dalam daftar-daftar catatan sipil.
Pasal 230d.
s.d.t. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421;, hapus dg. S. 1938-622.
Pasal 231.
Bubarnya perkawinan karena perceraian tidak akan menyebabkan anak-anak dari perkawinan itu kehilangan keuntungan-keuntungan yang telahdijaminkan bagi mereka oleh undang-undang, atau oleh perjanjian perkawinan orang tua mereka.
Akan tetapi anak-anak itu tidak boleh menuntutnya, selain dengan cara yang sama dan dalam keadaan yang sama seakan-akan tidak pernah terjadi perceraian perkawinan. (KUHPerd. 175, 178, 181 dst., 311, 317, 852 dst.)
Pasal 232.
Bila suami-istri yang bercerai itu dahulu kawin dengan gabungan harta-bersama, pembagian harta harus dilakukan berdasarkan dan dengan cara seperti yang ditentukan dalam Bab VI. (KUHPerd. 126, 128, 1066 dst.)
Pasal 232a.
(s.d.t. dg. S. 1923-31, s.d.u. dg. S. 1928-546.) Bila suami-istri itu kawin kembali satu sama lain, semua akibat perkawinan itu menurut hukum timbul kemball, seakan-akan tidak pernah terjadi perceraian. Namun. hal ini tidak mengurangi kelanjutan berlakunya perbuatan-perbuatan yang sekiranya telah dilakukan terhadap pihak-pihak ketiga selama waktu antara perceraian itu dan perkawinan baru, dan tidak mengurangi kelanjutan berlakunya penetapan-penetapan hakim, yang sekiranya telah memecat atau melepaskan suami-istri itu dari perwalian atas anak-anak mereka sendiri, penetapan-penetapan hakim dipandang sebagai pemecatan atau pelepasan dari kekuasaan orang-tua.
Segala persetujuan antara suami-istri yang bertentangan dengan ini adalah Batal. (KUHPerd. 33,
149, 196-198.)
BAB XI.
PISAH MEJA DAN RANJANG
(berlaku bagi golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, tetapi berlaku bagi Tionghoa; untuk Ind.
Kristen, lihal HCI 68 dst.)
Pasal 233.
Jika ada hal-hal yang dapat menjadi dasar untuk menuntut perceraian perkawinan, si suami atau si istri berhak untuk menuntut pisah meja dan ranjang.
Gugatan untuk itu dapat juga diajukan atas dasar perbuatan-perbuatan yang melampaui batas kewajaran, penganiayaan dan penghinaan kasar yang dilakukan dari suami-istri itu terhadap yang lainnya. (Ov. 63; KUHPerd. 126; 200, 209; Rv. 941.)
Pasal 234.
Gugatan itu diajukan, diperiksa dan diselesaikan dengan cara yang sama untuk perceraian perkawinan. (KUHPerd. 207 dst., 216 dst.; Rv. 831 dot.)
Pasal 235.
Suami atau istri yang telah mengajukan gugatan untuk pisah meja dan ranjang, tidak dapat diterima untuk menuntut perceraian perkawinan atas dasar yang sama. (KUHPerd. 209.)
Pasal 236.
Pisah meja dan ranjang juga boleh ditetapkan oleh hakim atas permohonan kedua suami-istri bersama-sama, yang boleh diajukan tanpa kewajiban untuk mengemukakan alasan tertentu.
Pisah meja dan ranjang tidak boleh diizinkan, kecuali bila suami-istri itu telah kawin selama dua tahun. (KUHPerd. 200, 202, 208.)
Pasal 237.
(s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Sebelum meminta pisah meja dan ranjang, suami-istri itu wajib mengatur dengan akta otentik semua persyaratan untuk itu, baik yang mengenai diri mereka maupun yang mengenai pelaksanaan kekuasaan orang tua dan urusan pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka.
Tindakan-tindakan yang telah mereka rancang untuk dilaksanakan selama pemeriksaan pengadilan, hal dikemukakan supaya dikuatkan oleh pengadilan negeri, dan jika perlu, supaya diatur olehnya. (KUHPerd. 104 dst., 124 dst., 149, 206, 212 dst., 229, 247, 298 dst.)
Pasal 238.
Permintaan kedua suami-istri hal diajukan dengan surat permohonan kepada pengadilan negeri tempat tinggal mereka; dan dalam surat itu harus dilampirkan baik salinan akta perkawinan maupun salinan perjanjian yang dibicarakan dalam alinea pertama pasal yang lampau. (Rv. 831 dst.)
Pasal 239.
Berkenaan dengan itu pengadilan negeri akan memerintahkan kedua suami-istri untuk bersama-sama secara pribadi menghadap seorang atau lebih hakim anggota yang akan memberi wejangan-wejangan seperlunya kepada mereka.
Bila suami-istri itu bertahan dengan niat mereka, hakim akan memerintahkan mereka untuk menghadap lagi setelah lewat enam bulan. (Rv. 832, 834.)
(s.d.t. dg. S. 1923-287jo. 441.) Bila ternyata ada alasan sah yang menghalangi mereka untuk menghadap, maka hakim yang ditunjuk harus pergi ke rumah suami-istri itu,
(s.d.t. dg. S. 1923-287jo. 441; s.d.u. dg. S. 1925-497, 678jo. 1926-63.) Bila suami-istri itu bertempat tinggal di luar daerah di mana pengadilan negeri itu bertempat kedudukan, pengadilan negeri dapat menunjuk kepala daerah setempat untuk melakukan tindakan-tindakan yang dimaksud dalam tiga alinea yang lampau. Pejabat yang telah ditunjuk itu akan membuat berita acara tentang apa yang telah dilakukannya dan segera mengirimkan kepada pengadilan negeri.
(s.d.t. dg. S. 1923-287jo. 441.) Bila seorang dari suami-istri itu atau kedua-duanya bertempat tinggal di luar Indonesia, pengadilan negeri itu boleh memohon kepada seorang hakim di negara tempat suami-istri itu berdiam, untuk memanggil kedua suami-istri atau salah seorang menghadap kepadanya dengan tujuan melakukan ikhtiar perdamaian, atau menugaskan hal ini kepada pejabat perwakilan Indonesia di wilayah tempat suami-istri itu berdiam. Berita acara yang dibuat mengenai hal itu harus dikirimkan kepada pengadilan negeri itu.
Pasal 240.
(s.d.u. dg. S. 1927-31jis390,421.) Pengadilan negeri hal mengambil keputusan enam bulan setelah berlangsung pertemuan kedua. (KUHPerd. 202.)
(s.d.u.dg. S. 1938-622.) Ketentuan-ketentuan pasal-pasal 230b dan 230c berlaku sama terhadap ibu dan bapak, yang tidak ditugaskan untuk melakukan kekuasaan orang tua.
Pasal 241.
Bila permohonan yang diajukan ditolak, paling lambat satu bulan setelah diberikan keputusan, suami-istri itu bersama-sama boleh mengajukan permohonan banding dengan surat permohonan. (Ov. 45; KUHPerd. 204, 236 dst., 247, 1023.)
Pasal 242.
Dengan pisah meja dan ranjang, perkawinan tidak dibubarkan, tetapi dengan itu suami-istri tidak lagi wajib untuk tinggal bersama. (KUHPerd. 21, 106 dst., 200.)
Pasal 243.
Pisah meja dan ranjang selalu berakibat perpisahan harta, dan akan menimbulkan dasar untuk pembagian harta bersama, seakan-akan perkawinan itu dibubarkan. (KUHPerd. 128, 186, 232, 1066 dst.)
Pasal 244.
Karena pisah meja dan ranjang, pengurusan suami atas harta istrinya ditangguhkan.
Si istri mendapat kembali keleluasaan untuk mengurus hartanya, dan dapat memperoleh kuasa umum dari hakim untuk menggunakan barang-barangnya yang bergerak. (KUHPerd. 105, 124, 194.)
Pasal 245.
Putusan-putusan mengenai pisah meja dan ranjang harus diumumkan terang-terangan.
Selama pengumuman terang-terangan ini belum berlangsung, putusan tentang pisah meja dan ranjang tidak berlaku bagi pihak ketiga. (KUHPerd. 152, 205, 221, 249; Rv. 826, 843.)
Pasal 246.
(s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Ketentuan-ketentuan pasal 210 sampai dengan 220, pasal 222 sampai dengan 228, dan pasal 231, berlaku juga terhadap pisah meja dan ranjang yang diminta oleh salah seorang dari suami istri terhadap yang lain.
Setelah mengucapkan putusan tentang pisah meja dan ranjang, pengadilan negeri, setelah mendengar dan memanggil dengan sah kedua orang tua dan keluarga sedarah dan semenda anak-anak yang masih di bawah umur, harus menetapkan siapa dari kedua orang tua itu yang akan melakukan kekuasaan orang tua atas diri tiap-tiap anak, kecuali bila kedua orang tua itu telah dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua, dengan mengindahkan putusan-putusan hakim yang terdahulu yang mungkin telah memecat atau melepaskan mereka dari kekuasaann orang tua. (KUHPerd. 319a.)
Ketetapan ini berlaku setelah hari putusan tentang pisah meja dan ranjang memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Sebelum hari itu tidak usah dilakukan pemberitahuan, dan perlawanan serta banding pun tidak diperbolehkan.
Terhadap penetapan ini, pihak orang tua yang tidak ditugaskan untuk mekekuasaan orang tua, boleh melakukan perlawanan, bila atas panggilan termaksud dalam alinea kedua dia tidak menghadap. Perlawanan ini harus dilakukan dalam waktu tiga puluh hari setelah penetapan itu diberitahukan kepadanya. (Rv. 83.)
Pihak orang tua yang telah menghadap atas pemanggilan dan tidak ditugaskan untuk menjalankan kekuasaan orang tua, atau yang perlawanannya ditolak, boleh mohon banding terhadap penetapan itu dalam waktu tiga puluh hari setelah hari termaksud dalam alinea ketiga. (Rv. 341.)
(s.d.u. dg. S. 1938-622.) Ketentuan pasal 230b dan pasal 230c berlaku sama terhadap orang-tua yang tidak diserahi tugas melakukan kekuasaan orang tua.
Terhadap pemeriksaan para orang tua itu berlaku alinea keempat pasal 206.
Pasal 246a.
(s.d.t. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Berdasarkan keadaan yang timbul setelah putusan pisah meja dan ranjang mendapat kekuatan hukum yang pasti; perubahan pada penetapan-penetapan kedua pasal yang lampau, atas perang dari mereka, setelah mendengar me dengan sah kedua orang tua dan para keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak yang masih di bawah umur. Penetapan ini boleh dinyatakan segera meskipun ada perlawanan atau banding, dengan atau tanpa jaminan. (Rv. 54 dst4)
Ketentuan alinea keempat dan kelima pasal 206 dalam hal ini berlaku.
Pasal 246b.
(s.d.t. dg. S. 1927-31 jis 390, 421.) Bila anak-anak yang masih di bawah umur itu belum berada dalam kekuasaan nyata orang yang berdasarkan pasal 246 dan pasal 246a diserahi tugas melakukan kekuasaan orang tua, atau dalam kekuasaan siayah, si ibu atau dewan perwalian yang mungkin diserahi anak-anak itu berdasarkan alinea pertama pasal 246 dan sesuai dengan pasal 214, maka dalam penetapan itu juga hal diperintahkan penyerahan anak-anak itu.
Ketentuan-ketentuan alinea kedua, ketiga, keempat dan kelima pasal 319h dalam hal ini berlaku.
Pasal 247.
Bila setelah mempertimbangkan perjanjian yang dibicarakan dalam alinea pertama pasal 237, hakim mengabulkan permintaan pisah meja dan atas permohonan kedua suami-istri, maka pisah meja dan ranjang itu memperoleh segala akibat yang dijanjikan dalam perjanjian itu. (KUHPerd. 206.)
Pasal 248.
Pisah meja dan ranjang menurut hukum dengan sendirinya batal karena dan perdamaian itu menghidupkan kembali segala akibat dari perkawinan mereka, tanpa mengurangi berlangsungnya terus kekuatan perbuatan-perbuatan terhadap pihak-pihak ketiga, yang sekiranya telah dilakukan dalam tenggang waktu antara perpisahan itu dan perdamaiannya.
Semua persetujuan suami-istri yang bertentangan dengan ini adalah batal. (AB. 23; KUHPerd. 149, 196 dst., 200, 216, 244.)
Pasal 249.
Bila putuan yang menyatakan suami-istri pisah meja dan ranjg sudah diumumkan secara jelas, suami-istri itu tidak boleh menerapkan berlakunya akibat-akibat perdamaian mereka terhadap pihak ketiga, bila mereka tidak mengumumkan secara jelas, bahwa pisah meja dan ranjang itu telah tiadakan(KUHPerd. 152, 245.)

0 comments:

Post a Comment